Wednesday 17 December 2008

Mam, aku takkan bisa sepertimu


Tanya itu masih bertalu direlung hatiku

Bergulirnya waktu pun tak muarakan kelegaan

Dalam kelu

Kumendamba ada jawaban

Keriput itu, tubuh mengurus itu, batuk menahun itu, darah segar itu

Karibmukah luapkan luka?

Atau ketidakmampuan melawan luapan rasa

Sebentuk pengabdian keabadian cintakah?

Senyum itu, belaian itu, raut wajah cantik itu, laku bijak itu

Terbuat dari apakah hatimu?

Tak terjangkau nalarku

Replika mawar putih bersayap malaikatkah?

Kelak, aku akan lakoni hidup sepertimu

Punya suami, anak, rumah kecil, dan impian

Tapi takkan kubiarkan setiaku diterlantarkan, ragaku diabaikan

Sebab kutak punya hati seputihmu

Mam, aku takkan bisa sepertimu

Sebab kaulah satu-satunya, teristimewa

Nyenyaklah dalam tidur panjangmu

Kau akan tetap hidup dihatiku, selamanya


Tuesday 16 December 2008

Bapak

kerut wajah itu, gurat duka itu
masih sama...
tak mampu kutatapnya
air mataku pun tak sanggup kupasung
sedikit enggan mengenalmu dalam perih
sesal tak kuturutkan ingin dia dulu
rengkuhan tanganmu melemah
ceritamu yang terpatah
tak terjemahkan sakitmu
pun olehku yang menjadi sahabatnya
bapak... tabahlah
kuhibur diriku pula dengan raga lunglai
dia bahagia... semoga

Sunday 14 December 2008

-miss-

Kampus merah ini masih tetap sama. danaunya, workshopnya, kanalnya, Ki Hujannya, saga merahnya, gedung2 gelap menjulang saat malam, OL gratisnya. MIPA kita juga masih sama. suara tak kompak maba berteriak2 "mipa...mipa" menimpali pinta "perhatian" dari senior, kader kita. KSGF, sapaan dan senyuman ade2, harapan dan mimpi yang bersemayam; mungkin seperti mimpi dan harapan kita dulu. Biologi juga masih sama. Lantai tiga yang mirip warnet, Lab.mikro, dosen-dosen, pa Mencong. yang berbeda hanyalah rasa sepi dan air mataku yang seringkali saling berlomba ingin berloncatan keluar. aku sendirian. kurasakan dua sayapku patah. tak ada yang mengusap sedihku, tak ada yang siap membagikan tawanya, cengirannya agar kumerasa tak sendirian. tak ada yang memaksaku menemaninya makan agar kumerasa berarti. tak ada yang mejadi sabuk pengaman saat aku butuh teman. mereka pergi. tak ada yang salah. sama sekali tak ada. termasuk kepergianmu. tak ada yang salah dengan jalan yang dipilih anak arkeologi itu, anak teknik itu, teman-teman kita. mereka punya mimpi masing2 yang harus dikejar tanpa perlu khawatirkanku. ah, mungkin tak akan ada lagi teman sepertimu. kuusap air mataku yang bercampur air hujan. aku betul2 butuh dekapan, butuh rasa aman. tapi kudongakkan kepala. kutelan ludahku yang memahit. aku kembali begini, sendiri, seperti dulu, sebelum kalian datang di hari2ku. Toga itu akan kukejar, setertatih apapun aku... untukmu, untuk kita!!!

Wednesday 3 December 2008

???

kusembunyikan laraku dalam bahak tawa
kuendapkan tangisku dalam untaian cerita
kehilangan...
ditinggalkan...
tak ada yang abadi di dunia
termasuk kuatnya inginku tetap bersama
andai saja...
jika...
hanya mampu kuadu pada gelap langit dan sepi malam
kubiasakan bertahan dalam kesendirian
tawa itu...
mencari itu...
kurindu dalam tiap hela nafas
merasakan yang pernah ada saat tiada
... maaf kembali kuberduka...

Monday 1 December 2008

arti kesetiaan?

jujur, gue bingung plus sedikit pusing. gue sama sekali gak ngerti apa itu setia bagi kaca mata cowok. sejak partner diskusi gue tentang seluk beluk cowok tiada, otak gue kering dengan info update tentang mereka. kasus pasha ungu yang digugat cerai sang istri jadi study kasus gue. besar ngga` besar, pengaruh "pemberian-hanya-tas" oleh pasha ke acha menjadi salah satu dasar pemikiran menilai kesetian pasangan.kok bisa, kok picik banget. emang salah ya ngasih tas ke orang. emang gak boleh ya bergaul sama cewek laen. padahal kan acha dan pasha gak ada apa-apa. cewek kok posesif banget.... blablabla, deelel. mungkin komen kayak gitu ada yang muncul. memberikan tas pada seorang cewek yang sodara bukan, teman gaul bukan, seseorang yang "penting" juga bukan perlu pertanyaan kenapa. kenapa ngasih dan kenapa harus cewek itu?. eh, tapi kategori terakhir bisa jadi seperti itu. acha penting bagi pasha makanya di kasih perhatian "lebih", gue berspekulasi. kalo teman biasa apalagi kenalan doang gak mungkinlah seperhatian itu. enak banget jadi kenalannya pasha. pentingnya acha bagi pasha masalah buat oki. kenapa suaminya mesti perhatian sama perempuan lain.

Saturday 29 November 2008

Serenade Airmata Untukmu (Mansur Semma)

Aku menangis untukmu
Bukan tak rela atas pergimu
Bukan paksa kehendak untuk adamu
Tapi belum terkuras sepenuhnya cintamu

Ada berjuta getaran dalam hatiku akan hadirmu yang tak begitu sering
Bangga dan haru berpijar-pijar ronai syarafku
Semangat, kesederhanaan, pengabdian, senyuman
Kontras dengan tongkat dan cahaya yang tak kompromi dengan matamu

Kanda...
Ceceran nilai belum juga kurangkai
Tinta ini belum juga menjadi puisi
Suaraku masih tertelan ombak
Karyaku masih sebatas inspirasi yang mengendap

Pikiran naifku, ranah ilmu ini masih membutuhkanmu
Masih butuh loncatan-loncatan fikiranmu
Tapi aku sadar, tempat indahmu telah tersedia
Kudoa semoga itu jannahNya

tak berwarna

jika airmata pun tak mampu redakan amarah

juga suara yang tak temukan muara

salahkah jika kuredam

hingga kakiku tak sanggup topang beban

aku hanya inginkan kebenaran

juga terlepas dari pasungan arogansi

aku hanya ingin rasakan tidur tenang

tanpa khawatirkan esok mentari menyinarkan warna temaran

aku hanya ingin di dekap

agar lukaku luruh

agar nodaku terbasuh

agar kupunya daya tuk dongakkan kepala

aku lelah..........

Keberartian

Rinduku berpendar-pendar

membumbung tak terpasung

tubuhku gemetar

aku tersujud linglung

muaraku diriMU Rabb...

kugenggam dhaifku

kutelikung noda dosaku

aku ingin kembali padaMu utuh

maluku harapkan jannahMu

metamorfosisku belun juga menyeluruh

dengan tubuh berlumuran penyesalan

terseok kutelusuri jalan

hiperbola jika kuyakin fitrah

hanya dengan sisa cinta yang kupunya

untukMu, tiada terjamah

aku berprasangka engkau akan Ridha...

Friday 21 November 2008

Dia Telah Pergi


AKU dan AYYU`
(memoar tentang sahabat yang tiba-tiba pergi)

Lagumu mengalun, iringiku menulis tentangmu, tentang kita, tentang hari-hari yang terhenti sejenak melepas kepergianmu dari dunia yang fana ini untuk selamanya… Maaf dan terima kasih untuk semuanya, ayyuku.

#####

Kukumpulkan kekuatan untuk mampu tuturkan kisah yang masih sempat terekam di memoriku yang payah. Dua pekan sejak kepergianmu belum juga kumampu tegak berdiri. Tapi aku harus lakukan itu sebab kau percaya padaku. Aku gadismu, sahabatmu, mampu kuat hadapi apapun. “Jangan sampai kekagumanku padamu memudar” ucapmu suatu ketika. Dan aku tidak ingin merusak apapun yang telah menjadi sejarah kita.

Menganggapmu penting, apalagi menjadikanmu seseorang yang dekat di hari-hariku tidak pernah sedikitpun terlintas di benakku. Sebagai orang yang “males” dengan cowok, kucoba untuk beri batasan jelas pada interaksiku pada mereka termasuk dirimu dalam konteks personal. Meskipun memang kita sering dipertemukan dalam aktifitas organisasi kemahasiswaan, entah sebagai peserta atau menjadi panitia. Diskusi-diskusi kita pun akhirnya berlangsung. Problematika bangsa, kondisi lembaga dan pergerakan kemahasiswaan, realita mahasiswa dikekinian, mars vs venus, cinta, persahabatan, sering menjadi topik pembicaraan hingga perdebatan. Kita bergantian bercerita bahkan kadang berebutan ingin didengarkan. Darimu kepelajari psikologis kaum adam serta karakter dan kebejatan mereka. Padamu tak sungkan kutanyakan hal-hal yang pada orang lain enggan kulakukan sebab dianggap tabu. Lab biodas, depan lab. herba, PB, kebun canopy, menjadi tempat tongkrongan berjam-jam. Pun, intensnya diskusi kita belum jua menjadikanmu penting. Sekedar teman angkatan yang seru dan nyambung di ajak diskusi. Just it.

Selentingan kudengar kabarmu memacari noni sementara ada teman angkatan kita yang lagi dekat denganmu. Yah, meski kutau sepak terjangmu dari dulu hingga sekarang yang kadang kau selipkan dalam cerita tentang petualangan cintamu, aku penasaran juga. Apa landasan berfikirmu. Bukankah di balik kebejatan (yang kau akui sendiri) kau tau hukum, kau lumayan religius dengan shalat yang terjaga. Aku menginterogasi, kau menuturkan semuanya. Aku paham, tapi tetap mengingatkan. Termasuk saat kau jelaskan mengapa memilih praktikan yang noni itu dibanding teman kita. “Aku tidak pantas untuknya” ujarmu nyengir. Aku sepakat…

Kau ingin ikut denganku ke kampung halamanku. Aku kaget tapi di sisi lain terharu. Selama ini jarang orang yang berminat mendatangi tempatku dibesarkan. Jauh dan butuh biaya yang lumayan bagi kantong mahasiswa menjadi alasan logis. Apalagi desaku tidak memiliki daya tarik bahkan tidak tercantum di peta (gurauku). Kau satu-satunya teman yang menawarkan diri untuk ke sana. Saat itu aku bingung. Tidak mungkn hanya kita berdua yang pergi. Apa kata dunia. Meski kita hanya teman, orang-orang akan geger kalau tau mantan bunga desanya membawa pulang seorang lelaki. Akhirnya kita berangkat setelah mengajak dua orang teman kita. Mudah-mudah orang-orang tidak geger saat aku membawa tiga orang lelaki.

Kenapa kau hanya jadikanka alternatif?” kalimat spontan yang kau ucapkan buatku tidak enak. Begitu personal dan dalam. Ternyata selama ini kau merasa aku tidak memberimu tempat yang layak. Sebagai teman diskusi, yang menawarkan diri, menemaniku kerjakan tugas dan laporan, menamaiku x-girl, mengajakku makan ke tempat2 baru, hanya kujadikan alternatif. Jujur, memang iya dan kusadari aku agak kurang ajar. Kau hanya ingin diperlakukan selayaknya. Sejak itu, aku bersedia menjadi sahabatmu meski tak pernah kulafazkan. Aku tidak mau membuatmu GR. Kita semakin akrab dan kusadari kau memang baik, terlepas dari sikap kontraku terhadap petualangan cintamu. Kau tau aku tidak suka caramu memperlakukan kaumku. Kau tau aku trauma cinta dan benci sikap arogansi lelaki. Terlepas dari itu, aku merasa aman dan nyaman denganmu. Aku istimewa dan tidak bodoh, makanya kau menghargai dan menjagaku. Tersirat kau yakinkan aku.

Diskusi kita berlanjut, begitu juga dengan persahabatan kita. Kau yang cenderung introvert mempercayaiku tahu hidupmu. Saling curhat hingga ke persoalan masa lalu dan keluarga juga tentang impian tapi tetap saling menghargai privacy masing-masing. Bergantian mengeluh, bergantian mengingatkan. Nyaris tak ada rahasia, kau percayaku penuh makanya aku juga meski tidak utuh. Kadang mengagetkanku dengan permintaan tiba-tiba ingin ditemani nongkrong di kanal, minta di temani makan, pinjam uang, ke losari, ke rumah kakak-kakakmu, mengenalkanku pada teman wajomu. Kesamaan kita adalah suka berorganisasi dan mementingkan persahabatan dibanding cinta. Aku memanggilmu Ayyu, panggilan keluargamu. Kau memanggilku Maryah (hanya kau yang memanggilku begitu), sering `gendut` atau `bonding` yang buatku manyun dan ngomel. Menyuruhku diet, sit up. Mengenalkanku pada kedua orang tuamu yang hebat dan merasa dekat dengan mereka meski hanya lewat ceritamu. Menjadi kamus hidup saat aku butuh literatur tentang lelaki yang mendekatiku. “Kau hanya boleh menikah dengan orang yang lebih baik dariku” ujarmu serius saat aku curhat. Begitu membela kepentinganku. “Lebih baik mundurka` jadi koster SPL kalo isma tidak masuk jadi steering” berapi-api kau protes pengurus himpunan saat mereka mencekal keberadaanku di kepanitiaan SPL.

Kepengurusan BEM menempatkan kita berdua mewakili Himbio di bidang pengkaderan. Kaupun jadi ketua progresip, aku di SC. Kerja keras dan dedikasi terlihat, tapi siri` dan komitmenmu kukagumi (tentu dalam hati). Saat kau mundur dari kepengurusan karena kecewa atas pelanggaran komitmen, banyak yang menyayangkan. Tapi sebagai orang yang mengenalmu, aku tau kau pasti punya alasan kuat. Tidak kuganggu gugat keputusanmu meski sedikit mengacukan formasi di bidang kita yang awalnya solid. Kutunggu waktu agar kau bisa bercerita. Kau ungkap semuanya dan aku salut. Tidak banyak orang yang mampu lakukan itu. Nada miring tentangmu masih terdengar tapi kau melakukan hal yang benar menurutku. Karena itulah kau yang kukenal dan kuyakin kau akan kembali lagi. Dugaanku benar, Maperwa terisi olehmu.

Kau dan aku KKTS di tempat yang sama. Kedekatan kita menuai gosip juga ketidaknyamanan orang yang menyukaimu juga orang yang mendekatiku. Apalagi saat itu kau jomblo. Kita pernah membahasnya dan hanya terbahak. We are just bestfren, dan ini tulus . “Aku tidak berminat”, celaku. “Langsingko dulu” balasmu. “Mending gendut selamanya deh,” jawabku judes. Saling tau isi dompet, isi sms, isi hati tapi saling menjaga. Kadang jalan backstreet untuk menjaga perasaan mereka. Aku sering mengomeli kesewenang-wenanganmu pada wanita yang mendekatimu dan kau lagi-lagi hanya nyengir dan berjanji mau berusaha untuk berubah. Sering kau ungkapkan keinginan itu dan berniat insaf. Merindukan kedamaian di mesjid, dalam tadarrus. “Tapi belumpa bisa maryah, baru shalatku yang bisa kujaga”.

Kau sering mencariku begitupula aku. Tapi kau sering mencariku karena mau merepotkanku. Minta ditraktirlah, menggantikan ngawas praktikumlah, ditemani kemanalah. Menungguimu main futsal, bersih-bersih, nyuci di bangker, main pingpong. Mengantarku ambil mangga di Salam, menjenguk tanteku, menjaga ale semalaman di Wahidin, menemaniku angkat piring saat aqiqahannya Keyscha, memperlihatkan sekeliling UNHAS di malam hari. Kau juga sabar menghadapiku saat ngambek tidak di ajak ke acara diksar Canopy. Juga saat marahku meledak ketika kasus Stulab KMKM. Juga saat kujauhimu ketika orang yang menyukaimu meminta itu padaku. Kasus terakhir kutau buatmu agak terluka. Aku mencari alasan untuk tidak berinteraksi meski aku juga tersiksa. Kita jadi canggung saat bertemu. Aku sedih tapi juga geli. Kita jadi aneh. Tapi Kita tak sanggup berlama-lama untuk menjauh. Semuanya melebur dan kita kembali dekat.

Kau mengenalkanku pada ade` lolipopmu. Kau menyuruhku untuk menjaganya. Aku tau ada yang tidak senang akan kedekatanmu dengannya. Akupun sebenarnya tidak setuju jika nantinya dia yang kau pilih. Tapi aku menghargaimu. Lagipula kalian hanya dekat sebagai adik kakak. Aku berinteraksi dengannya. Dia baik tapi manja. Mungkin laki-laki memang suka cewek manja. Dia bertanya kenapa kau tidak memacaraiku. “Ih, gak akan!!!” ujarku sambil menggidikkan bahu. Kau tertawa. “Dia saudaraku”ucapmu padanya.

Lalu perang dunia ketiga itupun pecah. Pacaran dengan ade-ademu lalu kau bermasalah dengan salah seorang teman kita dan aku yang harus ada di antara kalian. Jika bukan kau yang berinisiatif untuk menyelesaikan semuanya dan berniat baik menyelamatkannya, aku salah seorang yang akan membencimu seumur hidup. Atas nama perempuan dan hukum, perbuatanmu kurang ajar. Tapi aku mencoba memahamimu. Aku menghargai kebesaran hatimu untuk membicarakannya padaku dan ingin mencari solusinya. Kau mengakui salah dan tidak ingin terjebak lagi. Masa depan seseorang terancam dan kau minta bantuanku. Kau memintaku untuk menjaganya sampai dia sarjana. Aku bersedia sebab aku mengenal kalian berdua sama dekatnya. Aku pusing tapi aku harus realistis dan rasional. Buahnya adalah kau dimusuhi bahkan dibenci hampir seluruh teman angkatan. Aku kasihan, tapi aku juga tidak bisa membelamu seutuhnya. Kau juga salah meski bukan sepenuhnya tanggungjawabmu. Kau melewati masa yang sulit. Aku ada bukan untuk membersihkan namamu tapi untuk menguatkan jika aku tidak akan membencimu. “tidak masalahji na bencika ana-ana maryah, tapi saya tidak akan tinggalkan mereka karena mereka saudaraku , orang-orang yang paling dekat denganku setelah keluargaku” ujarmu tabah setelah dijuteki teman-teman. Aku tau kau sakit dan terluka tapi kau pendam. Tapi kau tidak bisa menyembunyikannya dariku sebesar apapun kau berusaha lakukan itu. Pil pahit itu harus kau telan karena berasal dari teman angkatanmu yang kau anggap saudaramu.

Hari-hari beratmu kau lalui, termasuk saat kau memulai penelitian untuk TAmu. Waktu sedikit meluluhkan hati mereka meski tidak bisa seperti dulu. Aku pun memulai penelitianku. Aku tidak meminta bantuanmu sebab aku berfikir kau tidak mungkin meninggalkan penelitianmu hanya untukku. Selain itu Mubes BEM yang mengharuskan kehadiran anggota Maperwa juga akan berlangsung. Tapi kau bersedia membantuku meski bukan aku yang meminta untuk itu. Seminggu di pulau Batanglampe Sinjai torehkan cerita asam manis perjalanan. Kau bercerita di sana kau bermimpi di bawa ke kuburan hingga membangunkanmu tahajjud. Itu membuatmu lebih diam. Kau merasa dekat dengan kematian tapi belum cukup bekal. Mau tobat dan tidak pacaran. Mengakui kesalahan terhadap perempuan. Aku hanya bisa mensupport. “Beruntungko itu di ingatkan”.

Saat ulang tahunku, kau menulis…
“Karena Hidup Begitu Indah
Maka Tersenyumlah
Cha_Yunk_moe
Dirimu Dalam Realitasmu

Namanu adalah Isma
Tapi aku memanggilnya “Maryah”
Mungkin itu nama terindah untukmu
Tapi itu hanya milikku
Kamu cewek terunik
Body gendut, tapi sedikit narsis
Walaupun muka imoet, tapi sedikit narsis
Mikir deh…?
Kamu cerdas, tapi agak naïf
Itu wajar, karena
Tak selamanya kita bias ada apa adanya
Mungkin kita butuh lipstick dalam hidup ini
Itu masih dalam batas yang wajar
Walaupun, mungkin sedikit kurang ajar
Kita masih perlu belajar
Untuk menemukan realitas yang sebenarnya
Hidup hanyalah bagian dari perjalanan
Hidup hanyalah proses
Makna adalah realitas
Dalam menggapai cinta Sang Pencinta
Karena Hidup Begitu Indah
Maka Tersenyumlah”
Saat ulang tahunmu yang juga di bulan yang sama aku memberimu tasbih. Aku ingin kau lebih bersemangat dalam pencapaian religiusitasmu.

Kau menitipkan nomor hpmu tapi saat ke Jakarta aku menghilangkannya di sana. Aku tau kau sangat menjaga nomor itu. Aku benar-benar merasa tidak enak. Aku meminta maaf dan kau hanya tersenyum kecut. Tidak marah. Kitapun bercerita banyak di depan Kasubag kemahasiswaan. Tentang skripsi yang belum kelar, ketakutanmu tidak bisa bahagiakan orang tuamu yang sangat kau hormati, impian melanjutkan S2, masa depan, memintaku menunggumu bulan 3 agar kita barengan di wisuda. Kau memintaku membuatkanmu kue. Kau datang ke rumah bareng zil. Menyuguhimu indomie telur dan puding itu pun kau bawa ke kampus. “untuk ana-ana di ksgf ”ujarmu. Setelah itu kita jarang bertemu. Aku jarang ngampus dan kau tak Berhp. Kudengar kau sering mencariku. “Mana gendut?” tanyamu pada teman-teman. Akupun begitu. Sering menanyakan kabarmu melalui Sapa`. Pernah kau menelponku. Entah pulsa siapa yang kua jarah. Kau bilang lagi kesepian. Aku tidak bisa menemanimu sebab aku tidak tinggal di pondokan lagi. Aku lagi terlibat masalah psikologis. Biasa. Pace. Aku membutuhkan tempat curhat. Ketika aku ngampus, kau tidak ada. Sekali waktu kita bertemu. Kau kelihatan kurus. “Kenapako kurus sekali. Nda naurusko pacarmu. Waktu sama sayako tidak begini keadaanmu”ujarku bercanda. Kau tersenyum dan hanya diam.
Ayyu…”
“Kenapako, mauko lagi curhat?” aku memang mau curhat.
Temanika ke Jasmip”
“Nda bisaka. Buru-buruka. Mauka ke tempatnya kakakku
Kau menolakku dan aku ngambek. Baru bertemu kok sikapmu dingin begitu. Aku meninggalkanmu. Saat bertemu di jurusan, aku sama sekali tidak mau melihatmu. Kau pun berlalu. Beberapa hari kemudian, kau menelponku. Minta tolong ditemani ke balai. Aku menolak karena tidak enak badan. Apalagi saat itu aku lagi di rumah, jauh. Selain itu, aku masih ngambek di acuhkan waktu itu. (Ternyata itu dialog terakhir kita…)

Kedengar kau selalu mencariku. Tapi aku tau kau sibuk mngurusi penelitianmu yang super ribet. Ahad subuh, 9 November 2008, kalung yang kau berikan padaku oleh-oleh dari Kalimantan terputus saat aku terbangun. Aku heran tapi tidak mengaitkannya dengan apapun. Setengah tiga siang, Uphy nelpon dan kabarkan kau tenggelam. Tenggelam? Di mana? Kok bisa? Ada-ada saja. Aku tersenyum geli, bingung, khawatir. Ckckck, ke Lae-lae tidak bilang-bilang apalagi ngajak. Tergesa aku ke Stella Maris dan mempersiapkan diri menjagamu opname semalaman. Besoknya aku bisa balik untuk membawa persiapan. Kali ini, aku lihat kondisi dulu. Di perjalanan, aku memastikan di ruang mana kau di rawat. Tapi sms dan teleponku tidak di jawab. Sibuk mungkin, pikirku. Sesampai di rumah sakit, aku celingukan. Rumah sakit noni lagi. Kutanya satpam dan dia bilang kau meninggal. Ada-ada saja. Aku tertawa dan kusegerakan langkah ke UGD sebab menurutnya kau ada di sana. Sambil berlari kutanya seseorang di mana UGD. Orang itu bilang “o, temannya yang tenggelam itu ya?! Ada di ruang jenazah.”. Aku bergegas berlari ke arah yang dia tunjukkan. Di sana kulihat kafan putih yang membungkus tubuh kaku seseorang. Kulihat Indah, Ujo, Ka Akmal di sekelilingnya. Nur Abu menjemputku. Aku menghampiri dan membuka penutup kepalanya. Kulihat wajah pucat yang mirip denganmu. “Ka Cayung K`…” kata Indah sambil berurai air mata. “We, bangunko. Apa ko ambil di situ?” aku mengajakmu bicara tapi kau diam. Kutiup matamu tapi tidak ada reaksi. Orang-orang pun berdatangan termasuk teman-teman kita. Mereka menangisimu yang sedang tersenyum sebab kau berhasil tunaikan amanah Canopymu, organisasi PA yang kau banggakan. Aku iri. Wartawan datang, polisi, senior, dosen, dekan. Kau jadi terkenal. Adik kita Dedi juga sepertimu. Lihatlah, orang-orang itu begitu ramai. Apakah sama sekali kau tidak ingin terbangun saksikan segalanya. Kau tetap diam. Aku ingin sekali menarik kain putih yang menutupi tubuhmu. Mengajakmu pergi dari sini agar kita punya tempat yang lebih nyaman untuk bahas berbagai hal. Setelah berjam-jam melewati prosedur yang padat, kau di berangkatkan ke Paria. Ada aku dan dan orang-orang terdekatmu bersamaku. Dini hari kita sampai di kampungmu. Aku miris, bukan seperti ini moment yang kuinginkan untuk menginjakkan kaki di sini. Aku agak menyesali kenapa dulu aku tidak menuruti ajakanmu ke tempat ini. Kenapa dulu aku tidak mengenal kedua orang tuamu yang begitu hebat. Kenapa dulu aku mengedepankan menjaga perasaan teman kita daripada melewatkan kisah yang ternyata hanya sebentar denganmu. Seharusnya aku lebih dulu menyaksikan semuanya termasuk keluargamu yang hanya kuakrabi lewat ceritamu. Seharusnya…

Aku tidak bisa tidur. Selepas shalat subuh, aku menunggui tubuh kakumu. Aku bosan dengan diammu. Aku ingin mendengar celotehmu, narsis ketampananmu yang tidak akan pernah kuakui. Tapi tidurmu tenang sekali bahkan tak terganggu oleh kehadiran kami yang ada di sekitarmu. Kau mengabaikan besar keinginan untuk melihat senyummu. Ayah ibumu luar biasa. Saat kupandangi mereka, aku baru tersadar jika aku memang benar-benar ada di Paria. Kampungmu. Setiap orang yang datang selalu membuka penutup mukamu dan kau masih juga diam. Ternyata kau benar-benar telah pergi kawan. Pun saat kau di bawa ke kuburan, aku merasa langkah kakiku tak berpijak di bumi. Lalu jenazahmu diturunkan ke liang lahat dan gundukan tanah merah yang masih basah sebagai bukti ada kau disana. Aku duduk bersimpuh. Air mataku kini enggan kompromi. Pandanganku mengabur. Aku menangisi diriku yang kehilangan, aku menertawai diriku yang kesepian. Aku takut didera kerinduan. Aku cemas apakah di sana kau baik-baik saja. Kau tidak sendirian bukan?!. Sahabatku yang baik. Ayyuku. Ana`dara canti`e. Elle` uttie. Lambi-lambis Bio03. Yang beriku banyak pelajaran hidup. Yang menawarkan diri menjadi sahabatku. Yang berbuat banyak hal tanpa kuminta. Yang membuatku merasa penting dan istimewa. Yang menyayangiku. Aku relakan kepergianmu. Aku yakin kau akan baik-baik saja. Semoga kelak kita bisa dipertemukan. Ada cerita yang belum selesai. Aku ingin memukul bahumu sebab kau buatku menangis seperti ini dan berhasil membuat dadaku sesak dan nyeri karenamu.
Dia akan selalu ada temanika” Sapa` bilang.
“Allah lebih sayang dia” Upi dan Jani bilang
Persahabatan kita akan tetap terukir indah“ aku gumamkan sambil mengusap air mata.

November 2008

.(ayyu, kisah ini tidak detail.
Biarkan sisanya hanya aku, kau, dan Tuhan yang tau…)


Saturday 8 November 2008

i don`t know

satu kata yang menggambarkan rasaku, hampa... tiada kesedihan juga air mata. ditinggalkan bagiku tidak masalah. kehilangan mammiku delapan tahun yang sil;am cukup beriku imun yang kuat untuk kalimat "tak memiliki lagi". impiannya di sana dan dia berhal meraihnya bahkan tanpa andilku sekalipun. meski ingin ada pertemuan terakhir sebelum kau pergi sebhab bisa saja kita tidak akan bertemu selamanya. ah, tak perlu sentimentil itu. cengengku, bukan untuk meratapimu yang bukan siapa-siapa dan tak ingin menjadi siapa-siapa. doa yang kau pinta, baik dan banya, kupersipakan tapi tanpa kata, kertas, dan tinta. i`m sorry coz i love you but i hate you.

Tuesday 28 October 2008

LUKA HATI NAYARA

aku nyaris tak sanggup lalui semua sakit ini Tuhan...
I
aku benci kepasrahan, aku muak ketakberdayaan.
aku nyaris kehilangan kewarasan.
tak ada mimpi
tak ada keakuan
tak ada mentari yang kemarin

Saturday 25 October 2008

cinta 5 mars

aku venus yang rumit. dibesarkan nenek, keluarga broken, trauma cinta, pernah benci laki-laki, sering sendiri, dipaksa dewasa, pengen banget nikah menjadi kuas yang mewarnai kanvas hidupku.sadar akan hal itu, akan sulit memuarakan hati pada seseorang yang tak layak kualifikasi. dalam perjalanan hidupku, ada lima cerita tentang bagaimana mars mencoba datang, singgah, lalu pergi. tentu tidak termasuk yang hanya sekedar menjajaki. semuanya dalam bad ending. hehehe.

the first man
panggil dia bayu.cakep, ramah, dewasa. banyak yang ngefans. pertama kali melihatnya, penasaran. kok bisa ya ada makhluk bening kayak gini di tempat ini. ternyata dia teman sahabatku, dikenalkan, dan dia ngajak jadian. weits, be cool men. saya gak berkenan. wong males dengan cinta yang bullshit. tapi orang-orang di sekitar pada ngedukung. ya... udah. aku menawari persyaratan. kita bisa jadian tapi aku gak pake cinta. dia sepakat. okelah. tapi dia tak lebih seorang pecundang. baik dan ngemong tapi ternyata dia playboy ulung dan penjahat wanita. kamuflase yang dia tampakkan kumaknai jika dia memang tidak bisa menyentuh hati dan ragaku. terlanjur menjadi "korban" penaklukannya, aku bertekad untuk jadi sutradara. dia mungkin tidak tau berhadapan dengan siapa. dia ke luar kota berbulan-bulan, gak masalah. tak ada kata putus, kami hilang komunikasi. aku kemudian memahami pacaran gak cerdas n gak syari`i. dia datang dan shock. tak ada aurat yang di umbar, tak ada genggaman tangan. lunglai, dia beranjak pulang. kunamakan itu ending formalitas. cerita tak terhenti, enam tahun kemudian dia datang dengan tawaran yang lebih serius. benakku berfikir, antara memberinya kesempatan dengan menginginkan yang sesuai kriteria. rokok, pergaulan bebas, pendidikan adalah hal yang sulit kutoleransi. dia masih menganggapku ada adalah obat dari kesendirian jiwa. lama kubuka ruang fikir dan rasa, aku enggan. tapi dia bantuku keluar dari persoalan. marah karena merasa tertolak, dia membalas dendam dengan menyatakan rasa pada kakakku dan menganggapku tak pernah ada setelah itu dia memacari sahabatku. air mataku sempat tumpah dalam tafakkurku. bukan patah hati, tapi kecewa. dia memperlakukanku secara tidak terhormat. dia menginjak-injak harga diriku. angkuhku berbuah. lelaki di mana-mana sama saja. P E C U N D A N G!!!

the second man
sebut saja dia fulan. aktivis, ngaji, berwawasan. dia menyebutku unik dan mengajakku ta`arruf. siapa takut? tak ada rasa, dia belum kerja, konvensional. hanya keyakinan jika ini baik maka akan diberikan jalan dan muara terbaik. deadlinenya tiga bulan. komunikasi berjalan, saling mengenal di lakukan. lancar. dia hadir saat masa-masa konflikku dengan pace. ada yang pro, ada yang kontra. aku serahkan pada Sang Pemilik takdir. tiga bulan menjelang, dia datang. terbentur persoalan budaya bugis, mau tidak mau harus mundur. assajingeng dan dui pappenre. apalagi pace tidak respek. dia minta waktu untuk memenuhi itu dan ternyata dia memang tidak siap dari awal. komitmen waktu sudah disepakati dan tidak ada revisi sebelumnya, keputusan untuk menghentikan harus di lakukan meski terkesan kejam. dia mencoba memohon, tapi sulit bagiku memberi kesempatan kedua. dia pergi. kudengar kabar dia mendekati sahabatku. :).

the 3th man
aku lupa namanya siapa. diperantarai oleh seorang teman. alumni pesantren, masih kuliah, kontra organisasi. B). apa salahnya mencoba. ikhtiar. dia datang dengan kakaknya. kuberi tiga pertanyaan yang harus dia jawab. waktu tidak cukup, janjinya via telepon. satu penilaian, dia tak terlalu menjaga. grafiknya menurun. komunikasi dia awali. mengaku jatuh cinta pada pandangan pertama dan ingin segera merealisasikan. pertanyaanku dijawab parsial. visi misi tak terbahas tuntas. kian mendekati titik nol, aku menghentikan. daripada dia terjebak lebih dalam, aku yang harus menyelamatkan. bung, hidup tak cukup dengan kecendrungan...

the 4th man
namanya shiva. keren, jahil, preman, anak bungsu, sudah kerja. aku tertarik padanya karena mengingatkanku pada masa lalu. kami akrab. mungkin karena kesamaan latar belakang. dia memanggilku bunda. kuanggap dia teman yang ingin diselamatkan. dia nyatakan rasa, aku yang shock. aku jauh dari kriteria perempuan ideal meski dulu sempat menjadi bunga desa. *_*. aku tak bisa pacaran. dia paham tapi masih mencoba komunikasi. dia ingin belajar. dia ingin menjadi lebih baik. aku tak mau jika itu karena diriku. manusia hina dhoif sepertiku tidak layak dijadikan sebab. kugiring cara berfikirnya. hubungan kami sesuai aturanku. tapi tetap ada beberapa hal yang tidak terkontrol. kurasakan gundah. aku harus menghentikan ini. tapi aku terlanjur menyayanginya. kubahasakan orientasi interaksi, dia juga bingung. dia belum siap nikah. aduh, siapa juga mau menikah dengan kondisi begini. aku menawarkan break komunikasi sepekan lalu sebulan untuk memikirkan jalan terbaik. terputuskan untuk sama-sama menjalani tapi tetap menjaga interaksi. toleransi besar kuberikan. waktu berjalan, bukan proses mengenal yang terjadi tapi dia menghilang. ternyata dalam jeda waktu itu dia kelelahan. arogansi masing-masing muncul. pembenahan diri tak dilakukan. resahku sebab kutak mau jika imamku kelak shalatnya saja tidak beres. aku juga dinilai seperti voc. plin plan. aku akhirnya juga capek. kukomunikasikan, smsku tidak dibalas. kutelepon, dia ogah-ogahan. kuajak bertemu, dia tidak datang. diakhiri lebih baik daripada menyiksa keduanya. dia pun bilang, sudahimi pale. nyamanma juga dengan duniaku sekarang. hahhh, clubbing dan ngaji memang sulit di sandingkan.

the5th man
aku menyebutnya pangeran. cakep, ikhwan, lucu, punya banyak fans. kawan lama dan ternyata dulu kami saling simpati tanpa mengetahui satu sama lain. setelah merasa terabaikan, dia mulai berkomunikasi. kuanggap sebagai silaturahmi atau setidaknya memperbaiki hubungan yang renggang. dia nyatakan cinta, tiga hari waktu yang kuperlukan untuk berpijak ke bumi. dia orang terideal yang punya orientasi kepadaku. interaksi terjalin, kupikir aku membutuhkannya untuk melengkapi kekuranganku. terlepas dari itu, kekhawatiran mengungkungku. aku takut dia terjerumus. sepaham apapun dia jika rasa kecendrungan sudah membelenggu, sulit untuk mengontrol diri. bahkan beberapa kejadian yang kutanyakan kesyari`iannya juga tak terjawab. dialihkan. ah, pangeran. aku tak mau karenaku kau menjadi lebih buruk. aku tidak rela akan hal itu. oleh karena itu, dalam keterbatasan pemahaman, kucoba untuk mengontrol. kesalahan terbesar adalah hubungan ini tidak punya indikator keberhasilan proses pencapaian target. dunia, fikrah, jalan hidup begitu berbeda. rasionalitas tertutupi perasaan. ketidakmampuan menamakan hubungan. aku berusaha menjadi sahabat. diapun bercerita ada fulana yang mengganggu konsentrasi ibadahnya. kupikir itu aku. ternyata orang lain. air mata kekecawaan terhadap laki-laki mengalir lagi. lalu posisiku di mana. dia minta maaf. kutelan luka dan memberinya kesempatan. tapi saat aku yang membuat kesalahan dengan menawarkan mengakhiri hubungan karena tak sanggup masuki istananya, dia tak beriku ruang kembali. dia menghentikan meski dengan alasan sementara. aku tertolak oleh orang yang mengaku cinta dan tawarkan mimpi?! aku merasa ada alasan lain. feelingku mengatakan demikian. tapi aku tidak mau irrasional. kupinta tiga kali, dia tak bergeming. okelah. sudah ncukup. kuputuskan untuk game over selamanya. buat apa bertahan dengan orang yang tidak menginginkanku. dia juga mengakui berat tapi juga belum bisa kembali. sudahlah, kita jalani hidup kita masing-masing. masih sering menghubungi, rasa yang kupunya juga masih sama seperti dulu. rasa itu pula yang menghantarkanku pada luka saat tau, fulana itu masih ada. aku yang benar-benar harus pergi..

Saturday 18 October 2008

rembulan langit makassar


damai menggelayut dada

rembulan penuh kembali curahkan cahaya

ah, seakan dia tau aku butuh teman

aku sedang sendirian

saat pergi, jarang kunikmati hadirmu

tertutup awan, bahkan polusi jakarta mengaburkanmu

atau tetes air mata yang menghalangi pandanganku

tapi sungguh, saat ini kuserap auramu ke seluruh syarafku

biarkan beku dan laraku menguap

bersama detik-detik harap

apa yang kuresahkan

jika kumiliki cinta Dia pemilik semesta?

tetaplah di sana

di tempat yang berimu ruang berekspresi menjadi diri sendiri

di sini, aku akan tetap ada

yakin engkau akan datang lagi setelah gelap dan sabit mengada

Diary Calon Pengantin

6
Oktober 2006

Ass. Wr. Wb

Salam yang lengkap untukmu, sebab berangmu akan
berbuah jika kulalai atas hal itu. Juga kuingin gamblang untuk mengimbangi
meski mungkin tanpa sadar ataupun tak terjangkau kata sederhana dariku
melukiskan apa yang ada di pikir dan di hatiku.

Sering bertengkar atau tepatnya
mempermasalahkan hal spele adalah nama tengah kita sejak awal. Toh dengan
ketidakpedulianku berbentur pada ketidakmengertianmu yang harus terjawab. Masa
bodoh melandaku meski darimu tanya dan harap jawaban memasungmu.

Beriring waktu, ku tak tau dan tak mau tau apa
yang terjadi pada dirimu. Ku hanya bergelut memperjuangkan hatiku agar tidak
jatuh pada orang, tempat, dan cara yang salah. Kutempuh segala alur bahkan
sampai membuatku merangkak dan berdarah-darah.

Lalu kau tawarkan sebuah proses terindah dalam
rangka penggenapan separuh agama. Dengan santai kuiyakan. Why not. Ini impianku
sejak dulu. Toh rasaku masih pada titik nol, tidak minus. Kucerita tentang
diriku dan tak kuacuhkan kikukmu. Ini aku, apa adanya dan tak akan ada yang
kusembunyikan.

Kau menyebutku unik, membuatku sadar kau
memandang beda kekuranganku. Kau bersumpah serius atas nama Ilahi. Kupercayai
kau sepenuhnya meski kutakberharap lebih. Kau penuhi syaratku tanpa bimbang, membuatku
sadar kau memikirkan lebih keinginanku. Kau tepis bimbangku dengan santai.
Kuatkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kau beriku tempat saat remuk hamper
memberangus tualng-tulangku.Bahkan aib sayap-sayapku jadikannmu bertambah yakin
akan ada waktu untukku. Kau menerimaku utuh meki mungkin orang lain akan
berfikir dua kali untuk itu.

Kau ingini aku agar mendapat rahmat Ilahi.
Membantah takutku jika ini hanya luapan emosi manusiawi semata. Kau ulurkan
niat yang tulus dan tekad yang kuat untuk meraihku bersamamu menapaki alur-alur
beronak demi sebuah penghambaan terhadap Sang Pencipta kita.

Lalu mengapa harus menolakmu?! Meski rasa belum
berbuah cinta sebab tidak wajib itu ada. Jika kau yakin aku bisa temukan itu
suatu saat, maka mengapa aku harus meragukan diriku sendiri. Lalu mengapa tak
memberimu tempat?! Sedang yang kau lakukan hanya sebuah ikhtiar menuju
peribadatan kepadaNya. Meski belum saatnya menyerahkan rasa yang memang belum
ada.

Aku belajar dalam keraguan. Ruangmu sadarkan
lengah jiwa. Lecutan-lecutan kesadaran mengungkungku dalam tangis tanpa suara.
Mampukah aku lebih mulia dari bidadari? Sanggupkah aku menjadi tulang rusuk
yang dekat di hati?. Bisakah aku menjadi wanita shalih ataupun muslimah sejati?

Terpuruk dalam diam dan sedih kumenunduk. Aku
hanya sanggup bermimpi sambil merenda keyakinan bahwa kesempatan untukku ada.
Bahwa DIA masih teramat menyayangiku serbagai hamba. Pun jika takdir kita
berbeda, tulus terucap terima kasih telah menjadi perantara kesadaran. Pun jika
ada kesempatan merasai indah bersama, ajari aku mencinta, tuntunku gapai surga,
dan bawaku bersama menghadapNya….. sambil berkata bangga “ Dia mar`ahku, yang
bersedia bersamaku raih ridhaMu dan menjadikanku dicintai setelahMu ”.


31
Desember 2006

Kusadari, jalan yang kita lalui sulit. Ini akan
menjadi jejak-jejak hidup yang kita pilih. Maafkan aku jika membuatnya tak
seperti apa di pikirmu. Di sini dua ego yang bermain apalagi melibatkan
keluarga. Kupahami jika kau meraguiku sebab memang tidak ingin terucap kusangat
inginkan ijab qabul itu nyata. Aku takut bermimpi……..

Jika langkahmu tertatih, kumohon jangan
berhenti. Biarkan kita berjuang sampai napas kita tersengal, dada kita sesak,
dan jiwa raga kita lelah. Bukankah para pencinta sejati bahkan mengorbankan
darah dan nyawanya dalam rangka pencapaian cinta pada Sang Pemilik Cinta.?!
Bukankah kita adalah pejuang untuk memepersembahkan cinta tulus kita padaNya
dengan penghalalan sesuai yang Dia inginkan.

Maafkan aku, jika menjadikan ini begitu rumit,
sehingga kita lelah. Aku yang tidak bisa biasakan labil pikirku. Salah
mmenderaku mendengarmu tak seyakin dulu. Perih gores hatiku saat kau tawarkan
bersedia jkika akhirnya ini berakhir sampai disini.

Kumemang belum mencinta tapi aku ingin mencoba
belajar. Belajar pada orang yang mau menerimaku utuh dalam rapuh dan ketidaknormalan. Aku mauimu
dengan menafikan ego-egoku, meski itu tak terbahasakan. Bukan tak mau jujur.
Aku hanya terlalu memproteksi diri untuk tidak membenihkan rasa yang bukan pada
saat dan tempat seharusnya. Jika kuterlalu padamu, memang. Meski berat, resiko
terburukpun siap kujalani sebab aku yang memilih.

Membuatmu gamang, aku yang akan selalu gundah.
Meski larangmu untuk pikir semuanya, aku tak bisa. Aku ingin terlibat sebab aku
yang harus bertanggung jawab.

Kumohon yakinlah. Percaya padaku bahwa aku yang
akan berjuang untuk kita. Meski hanya aku dan Rabb kita yang tau. Aku ingin kau
yang ucapkan padaku “ Jadilah bidadariku”, sebagai akhir perjuangan dan awal
peribadatan cinta. Meski juga tidak ternafikan bahwa Allahlah sang penentu itu.

Proses ini, ajarkanku pendar-pendar kedewasaan,
alur-alur bersikap, dan tidak lagi sibuk memiliki dunia sendiri. Jadi, tidak
mungkin aku menyerah hanya karena kita tidak sanggup melangkah. Dari semua
rintangan dari manusia, bukankah ada Allah yang akan beri kita jalan dan akhir
terbaik.

Rabbku, engkau tau apa yang ada di hati dan
pikirku serta di diri-diri kami. Jika ini akan membawa kami pada muara cinta
sejati pada Mu dan menginginkan ridhaMu,
beri kami hikmah dan jalan terbaik menurutMu, mudah ataupun sulit. Jika dia
menginginkanku karenaMu dan berharap meraih surgaMu bersamaku, kuatkan dia dan
aku ya Rabb.

Tetapi jika semua ini sia-sia dan menjadikan
kami bermaksiat padaMu, kumohon Bantu kami menghentikannya. Jauhkan hati, pikir,
dan jasad kami dari berbuat salah kepadaMu.

Engkau muara ya Rabb. Maka atas izinMulah
ikhtiar-ikhtiar ini menjadi nyata. Kami mungkin akan selalu jaut dan jatuh,
tetapi ini upaya terbatas kami untuk melakukan penghambaan, terlepas dari nafsu
naluria kami.

Biarlah hanya Engkau yang tau mau diriku sebab
hanya Engkau yang akan beri terbaik, meski di titik terlelah jiwaku. Izinkan
aku tetap mencintaiMu……….


23
Januari 2007

Kusudah letih, mungkin. Ketika pikirku tidak
lagi memuarakan yakin. Dari segala alur yang kita tempuh juga perjalanan
panjang meletihkan, aku hanya mampu terpaku. Juga hadirmu yang tak urung
hadirkan gundah. Bukan seperti itu yang kumau tapi juga tak ingin ada paksaku
terhadap keadaan.

Kaupun gamang, kutau dari sikapmu tidak ingin
ataupun belum bahasakan masa depan. Tak mau tau bagaimana nanti, bagaimana
jika. Termasuk sikap-sikap bodohmu hadapi persoalan. Karena begitu besarkah
rasa cinta itu? Atau egomu yang tak mampu terealisasi? Kutertawa mengetahuinya,
menyembunyiokan miris yang menggores perih. Lagi-lagi bukan itu mauku. Kutak
ingin proses ini lahirkan orang-orang buta dan tidak merealita. Kita hanya
mampu berupaya

kan

?
Allahlah penentu segala hasil….

Jika jalur-jalur ini juga melelahkanmu, tak
mampu kuberbuat apa-apa. Meski kuingin kau tetap tegarkan diri dalam kondisi
apapun. Yang mereka mau hanya untuk kebaikanku tapi terpasung juga dalam ego.
Tapi bukankah kita berjanji untuk berjuang, bukan memaksakan.

Meraguimu, iya.

Ada

ketakutan hidup bersamau jika pilihanku
sendiri. Aku ingin mereka terlibat, ada bersama kita sehingga saat beda memaksa
marah, kita punya tempat pulang.

Meraguimu, iya. Dalam realita kumerasa kau
belum sepenuhnya ada. Impian dan angan ideal yang ada di kepala dan hatimu
tidak kau bumikan. Minimal kau kuat, agar bisa menguatkanku juga.

Meraguimu, iya. Tapi lelah kuserahkan
sepenuhnya pada takdirku. Tak sanggup lagi kuberjuang, kecuali kau ada dan
katakana “ Bismillah, apa yang kau ragukan jika ada Allah bersama kita?!”

Maafkan aku, jika teramat sering buatmu kecewa
dan terluka. Tak ada maksud untuk itu. Kau dengan caramu, aku dengan caraku.
Pun saat pikirmu bahwa ada rasa di hatiku terbantahkan. Tak perlu ada itu,
meski kutau kau sudah terlalu jauh.

So… silahkan berjuang dengan caramu. Tempuh
alur yang kau mampu. Toh, saat kita ditakdirkan bersama maka akulah yang
terbaik untukmu, begitupun kamu. Dan saat kata “tidak” menghentikan alur
manapun menujuku, maka telah tersedia orang yang terbaik untuk kita
masing-masing. Yang jelas dirimu dan proses ini, buatku belajar banyak hal.
Juga sadarkanku bahwa tidak semua aku adalah aku.



5
FEBRUARI 2007

Ada

yang hilang menguap bersama lelah juga waktu
yang kian tak berujung. Cerita-cerita pun bergulir menghenyakkanku pada
kesadaran-kesadaran. Banyak hal terlalui, hingga melemahkan sendi-sendiku. Tak
ada mauku atasmu, lebih dari ingin ada temanku meraih ridhaNya hingga akhirat
menjadi tempat. Jika banyak egoku terpasung, juga idealismemu yang terleburkan,
kupositifthinkingkan bahwa karena kita ingin gapai terbaik menurut kita.

Dan pada realita, bersama itu sulit, maka tak
mengapa jika di titik itu kita legowokan untuk berhenti. Biarkan saja angin
membawa sisa-sisa yang tidak terkuak juga tanya yang belum terjawab. Seperti
saat kuat ingin memulai ini, mari kita bertakbir untuk mengakhirinya.

Tak ada sesalku meski sedikit goreskan kecewa
atas mimpi yang tak jadi nyata. Ini pembelajaran berharga pada sebuah
universitas hidup dan dirimu salah satu guru terbaikku. Jika maumu dan mauku
tidak bisa menjadi mau yang dikehendakinya, maka lapangkan dada untuk terima
apa adanya. Pun telah kupejamkan mata dn kuhela nafas teramat panjang, mencoba
caricelah di titik terhitam sekalipun juga pada pintu-pintu yang bersedia
terkuak.

Jadi sudahlah. Lelahku bukan alasan tapi akhiri
adalah keputusan. Jodohkah kita? Bukan lagi amanahku untuk memperjuangkan itu. KuasaNyalah
yang akan terjadi pada takdir kita.

Hati dan pikirku tsiqah bahwa tempatmu masih
kosong dan kutakut bukan terisi olehmu.

Maafkan aku………

Terima kasih………

Namamu pernah ada dan beriku warna. Tapi
pergilah dan pulang pada hatimu. Aku akan tetap merenda hari bersama mimpi dan
misteriNya.

14
februari 2007

Jahat dan kejam. Klaimmu terhadapku atas
keputusan ini. Tak mengapa, ucap hatiku. Resiko terburukpun siap kuterima atas
pilihan yang harus ditentukan. Dengan suara lelah kau coba bertahan, tetapi
rasa kasian bukan jawaban menarik kembali keputusan. Akhirnya kaupun pasrah,
sebab upaya tak mampu lagi berkata.

Kubukan tak ingin menunggu, tetapi waktu yang
berlalu cukup memberikan jalan. Kau bukannya tak pantas. Hanya mungkin memilih
jalan salah atau waktu yang tidak berpihak. Aku ditakdirkan bukan untukmu. Juga
keterbatasan sebagai manusia.

Sungguh. Takkan berhenti kupinta maaf seberapa
banyakpun yang kau mau. Kuharus memberangus rasa senangmu dengan luka. Sabar
saja ya. Kuyakin kau mampu melakuknnya. Orang baik dan berilmu sepertimu pasti
telah disiapkan orang terbaik, juga bidadari di surga.

Jujur, ada sedikit rongga di hatiku yang miris
harus kembali menyakiti. Tapi tolong mengertilah. Aku sudah tak sanggup menuai
letih… Ini membebanimu jika dipaksakan. Kutau itu dan kutak mau terjadi.

Kata-kataku habis. Mengendap oleh rasa bersalah
yang memvonis. Tolong jangan terlalu merasa terluka. Tegarlah. ucapku terima
kasih karena kau menyenangiku dan pernah membuatku merasa sangat istimewa.

“ Jaga ksehatnx de ya jg srnq jgn mls ngaji dan
baca, eksis trus.. J”

Sms terakhirmu…………

Wassalam.

Saturday 11 October 2008

PANGERAN DAN UPIK ABU

PANGERAN DAN UPIK ABU

Tak terdefinisi rasa
Tak mampu kuberi nama
Hanya geliat indah di jiwa
Juga damai menelangkup raga

Tak kunafikan kelu
Tak terpungkiri ragu
Kau begitu jauh
Beda sulit menjadi satu

Kulabuhkan janjiku pada gemerlap bintang
Kubiarkan alurku pada aliran sungai kearifan
Dewasa kubutuhkan, siap terluka kutumbuhkan
Aku memilih arungi biduk retak bersama biarpun akan terkoyak

Sandaran kekuatan ada padaNYa
Sang Pencipta yang menciptakan cinta
Biarkan Dia berkehendak
Kita hanya sepasang hati lemah yang mencoba rangkai cerita
Apakah bertakbir atau berucap hamdalah


Aku punya sepenggal kisah perjalanan hidup dua manusia. Dibalik begitu banyak persamaan, juga dihalangi jurang perbedaan yang luas dan dalam. Organisasi, India, puisi. Pemikiran, jalan hidup, kebiasaan, kasta, harta. Ah, bahkan cinta yang mereka miliki pun tak mampu menyatukan semuanya. Atau, cinta mereka memang hanya sebatas debar-debar indah, tanpa mampu hadapi tantangan terjal kehidupan. Biarkan kisah mereka menjadi sejarah yang berhikmah........
###
Udara siang begitu menyengat. Seragam putih biruku dibanjiri peluh. Beda sekali dengan hawa desa, gumamku. Akhir pekan ini, aku mengunjungi keluargaku yang memang hidup jauh terpisah. Hanya aku sendiri yang tinggal bersama tante. Aku kangen ibu. Apalagi mereka baru pindah rumah. Berkumpul dengan keluarga dalam suasana berbeda buatku senang. Jika sehari-hari aku berteman dengan hutan, sawah, dan kicau burung maka di sini aku bisa melihat TV, listrik, aspal. Sesampai di rumah, ibu menyambutku hangat. Melepaskan lelah lalu bersosialisasi dengan tetangga yang ternyata masih keluarga jauh. Saat itu aku melihatnya. Sejenak hatiku berdesir tapi segera kuabaikan. Ah, Upik. Jangan jatuh cinta. Cinta hanya akan melukaimu. Waktu berlanjut dan aku semakin sering melihatnya dari jauh. Dia tidak pernah mengajakku ngobrol. Ah, Upik. Sadarlah. Kamu hanya gadis kampung. Meski jadi bunga desa, kamu tidak selevel dengannya. Dia bagai pangeran. Tampan, kaya, bangsawan, baik hati lagi. Apalagi, keberadaanmu tidak dianggapnya. Dia hanya berteman dengan Kak Naya. Biarkan dia hanya sekedar pangeran impian yang kisahnya tinggal di kotak kaca. Tak tersentuh tapi tetap terjaga...

Setahun Kemudian

Aku ingin masuk SMU dimana tak seorangpun mengenalku, atau minimal tidak tahu latar belakangku. Aku ingin hijrah, aku mau berubah. Aku jenuh dengan hidup tak bermakna, hati yang kosong. Aku berniat memakai jilbab. Aku tidak peduli resiko kehilangan penggemar, popularitas, bahkan teman-teman yang tidak terima metamorfosisku. Aku memilih SMU Utama dan Sang Pangeran sekolah di sana. Hari pertama MOS (Masa Orientasi Siswa), dia membentak siswi baru di sampingku. Seketika amarahku membuncah. Temanku itu tidak punya kesalahan berarti. Tapi mungkin memang kayak gini kalau MOS, pikirku. Tapi dia belagu. Mentang-mentang senior jadi seenaknya pada yunior. Aku paling tidak bisa melihat ketidakadilan. Melawan juga tidak mungkin. Kekagumanku menghilang. Tak akan kuanggap penting lagi dirinya. Kutenangkan temanku. Ada tanggung jawab moral sebagai orang yang mengenalnya untuk klarifikasi ini. Sesampai di rumah, aku menceritakan kejadian itu sambil meneteskan air mata kejengkelan dan ketidakberdayaan. Mereka hanya tertawa. Dasar hitler!!! Hitler cakep sih. Tapi bodo`. I don`t care about you, more!!! Termasuk saat saat adik bungsunya menjodoh-jodohkan. Gak akan, makasih deh... Dia sih tetap baik, jujur kuakui. Bahkan pada saat ibuku meninggal, dia datang melayat meski harus mabuk kendaraan yang parah.

Aku kemudian berhijrah utuh. Belajar jadi akhwat istilahnya. Aktif organisasi, berbuat untuk tabungan amal di akhirat kelak. Berada pada komunitas yang sama mau tidak mau buatku tahu perkembangannya. Tapi rasaku benar-benar telah mengendap. Baguslah... Aku sering kerumahnya tapi bukan untuk menemui pangeran menyebalkan itu. Aku benar-benar menghindari interaksi. Toh, lagi-lagi hadirku tak dipedulikannya J (bodoh amat!!!). Dia lulus dan aku juga tidak peduli. Lalu kudengar dia pacaran dengan temanku. O..o..o sudah berani rupanya melanggar aturan rumah. Aku benar-benar ilfeel. Pacarnya itu pacar sahabatnya. Aduh, pangeran...pangeran. Entah apa yang ada di kepalamu. Kukira dirimu penganut paham kesejatian cinta. Ternyata hanya sampai segitu levelmu. Ah, Upik. Apa pedulimu. Kamu bukan siapa-siapanya. Sempat terungkap pembicaraan temanku yang lain bahwa Aku, Maya, dan Tia pernah hadir di ruang sukanya. Pangeran... tak kupunyai definisi tentangmu.

Waktu berlalu, banyak hal terjadi. Diapun akhirnya hijrah utuh. Jadi ikhwan. Subhanallah... Aku mungkin salah seorang yang paling berbahagia. Entah kenapa. Aku dan dia dipertemukan lagi dalam kampus yang sama. Sesekali namanya terlintas dalam pembicaraan keluarga besar. Bentuk perhatian sebagai saudara sepertinya. Bergabung di organda yang sama, tak sekalipun dia mengajakku ngobrol. Sebagai sesama saudara yang di rantau, kunamakan itu angkuh. Aduh, Upik. Terserah dialah. Bagaimnapun, dia tetaplah seorang pangeran. Kujalani hariku, hadirmu tetaplah biasa. Lalu sepupuku bercerita bahwa aku sering menjadi topik pembicaraan kalian. I don`t believe it. Pangeran istimewa yang menyebalkan itu tidak mungkin menjadikanku sesuatu yang penting untuk dibahas. Aku tidak akan pernah mau bermimpi. Dia intens dan semakin serius. Kubawa dalam konteks candaan.

Entah dimulai dari mana, beberapa sms menjalin interaksi. Setidaknya ada kemajuan dibanding bisu yang hadir selama ini. Membicarakan kesarjanaannya dengan keluarga mau tidak mau memantau perkembangan. Aku diundang di acara syukuran kelulusannya. Aku tidak masalah untuk datang. Bagaimanapun telah tercipta posisi tak terjangkau diantara aku dan dirinya. Jadi, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Dalam kondisi gamang karena gagal meneruskan ta`arruf dengan seseorang, komunikasi via sms itu terjalin. Aku menganggapnya sebagai pangeran ikhwan yang masih punya hubungan keluarga. Apalagi, kesamaan komunitas yang kami masuki bisa membuatnya memahamiku dalam dua sisi. Tentunya dengan batasan aturan dan tidak lebih dari sekedar belajar. Komunikasi itu berlanjut. Sampai kemudian muncul pengakuan bahwa dia menyukaiku sejak sembilan tahun lalu sampai sekarang. Aku terhenyak dan merasakan sendi-sendiku tidak berfungsi. Lunglai ragaku. Ya Allah. Ada apa dibalik ini semua. Dia, sang pangeran istimewa tapi menyebalkan yang akhirnya jadi ikhwan itu menyukai seorang Upik Abu?!. Lama kupandangi kata-kata smsnya, memastikan. Kucubit lenganku, sakit. Tiga hari waktu yang kubutuhkan untuk kembali berpijak ke bumi setelah beberapa saat mengawan. Tuhan, tolonglah. Aku sungguh-sungguh tidak mengerti. Aku juga tidak tahu akan bermuara ke mana. Siapa yang tidak menginginkannya. Seorang pangeran. Tapi haruskah seperti ini. Masih banyak tanya yang perlu jawab. Banyak keraguan yang berbuah. Mungkinkah, bagaimana bisa. Satu sisi dia adalah orang paham. Di sisi lain rasa adalah persoalan manusiawi apalagi terpendam dan terjaga selama sembilan tahun. Ah, rasanya buyarkan kebencian akan cinta. Hadirnya sadarkan jika aku masih berarti. Tapi aku ingin menjaganya dalam koridor kebenaran. Aku tidak ingin menjerumuskannya. Jika tegas sikapku tidak ingin ada pengungkapan rasa berlebihan, itu karena aku ingin hubungan ini fitrah. Manusiawi tetapi tetap pada aturanNya. Lambat laun, kedekatan itu terjalin. Kupikir, orientasi kita sama seriusnya. Menikah. Kuingin ini di bawa ke keluarga agar bukan hanya nafsu kami yang bicara. Keluargaku tidak masalah, hanya mengingatkan jika perbedaan kondisi keluarga akan sulit diadaptasikan. Akupun mulai menganalisis. Seberapa kemungkinan dunia Pangeran dan Upik Abu dikompromikan dan dipertautkan. Berat!!! Tapi karena kurasakan kesungguhannya, kulihat begitu besar rasanya, dia rela jika akan tinggal di rumah pohon nantinya, akupun rela jalani rintangan itu. Belum ada pembicaraan teknis, masih mengambang, dan belum terucap namaku di keluarganya sebagai calon bagian dari mereka. Hubungan ini ternyata tak bernama. Teman, tapi saling menginginkan. Saudara, tapi bermain rasa. Ta`arruf, tidak punya target. Sering ingin kupertanyakan ketidaksyari`ian tapi dia tidak mau menjawab. Ikwan, kau lebih paham... Aku menginginkan tidak seperti ini. Aku mau kita lebih serius dan punya tahap pencapaian yang berindikator. Belum saatnya, menurutnya. Akan ada waktunya dan biarkan hubungan ini mengalir hingga temukan muaranya.

Aku ingin keluar daerah. Kudapat amanah selama dua tahun. Kuterima itu dengan berbagai pertimbangan. Tak kutanyakan padanya sebab kami bukan apa-apa. Hanya kuanggapnya dekat dan kuhargai hubungan ini. Aku meminta nasehat. Dia hanya bertanya, apa yang bisa membuatmu tidak pergi. Aku tahu, dia tidak ingin aku pergi. Tapi meninggal, sakit, dan menikah juga belum terjadi. Jadi, tidak ada hal yang menghalangiku. Diapun tidak punya kekuatan. Aku tetap pergi dan dan kutau dia kecewa. Tapi tahukah kau Pangeran, aku juga kecewa. Kecewa sebab dia tidak menahanku. Kecewa sebab tak ada ucapan, tinggallah dan kita pintal mimpi kita bersama-sama. Amanah itu harus kuemban. Sesuatu yang lebih pasti. Kami semakin tak terbentuk. Dekat tapi misorientasi. Rawan. Seminggu aku tidak berpulsa. Ibukota masih kuadaptasikan. Hingga dia hadir dengan pembicaraan tentang seseorang yang mampu menggoyahkan kualitas ibadahnya. Seseorang yang hadir di tengah ramadhannya. Untuk pertama kalinya aku tertampar akan realita. Lalu aku siapa baginya? Hubungan ini memang tinggal menunggu waktu untuk meluruh. Kejujurannya luar biasa tapi dia tidak pernah tau seberapa sakit yang kurasa. Dia sadarkanku. Upik Abu tetaplah Upik Abu. Seberapa kerasnya dia berusaha menjadi puteri, mahkota tidak cocok untuknya. Mungkin memang hanya seorang itu yang memperhatikan. Tapi dia adalah pangeran. Banyak yang menginginkannya. Harusnya kau sadar pangeran. Rivalku berat dan aku tidak punya seserahan yang pantas. Mungkin ini saatnya untuk mengembalikannya menjadi pangeran di kotak kacaku. Sedihku, karena hanya sejenak kurasakan kebersamaan yang menjadi realisasi mimpiku. Kembali kupanjatkan doa pada Rabbku ”Ya Allah, jika hubungan ini baik menurutMu dan untuk kami, dekatkan kami dalam kehalalan dan jika memang hubungan ini membuat kami bermaksiat kepadaMU, maka jauhkan kami sejauh-jauhnya”. Aku perlu waktu untuk mengevaluasi semua ini, termasuk apakah bisa memutihkan peristiwa ini. Aku nyaris tidak sanggup. Tapi yang lebih tidak kusanggupi adalah kehilangannya tanpa memperjuangkan. Ini ujian dan aku ingin lulus. Semua orang berhak salah, termasuk dia. Jika kami berhasil lalui ini, berarti hubungan ini akan lebih baik. Kupilih untuk tetap melanjutkan sambil mengurai benang kusut perbedaan dan ketidakpastian. Aku bahagia. Aku punya teman dan itu dirinya. Perlahan kuperbaiki diri. Perlahan kutinggalkan kebiasaan-kebiasaan nyelenehku. Bukan untuknya tapi bagiku agar aku layak disandingkan dengannya. Ikatan rasa itu menguat dan akupun mulai menyayangi. Aku sungguh menginginkannya tapi kujaga itu direlung hatiku agar kami tidak terjebak dalam kesalahan. Semampuku.

Ramadhan berlalu. Ada dua dunia yang mesti berjalan ke satu arah. Aku terpuruk karena masalah klasik. Ayah. Dia yang terdekat dihari-hariku saat ini. Aku membutuhkan kehadirannya. Aku ingin dikuatkan. Aku ingin dianggap (dan ternyata aku terlalu menuntut). Bukan dirinya yang datang tapi aku yang terjebak untuk menyambangi tempatnya. Kurasakan kekecewaan. Prinsipku tentang filosofi sperma dan ovum jadi terbantahkan. Pangeran, Upik Abu juga seorang perempuan. Bukan pangeran berkuda putih yang datang di gubug gadis kampung tapi upik abu yang datang di istana sambil tundukkan kepala. Di sana, Upik Abu sadar telah sendirian di tengah pembicaraan para bangsawan. Sesekali tentang kelakuan tidak normal ayahku. Tuhan, Upik ingin berlari pulang. Tapi harus Upik jalani sebagai tes mental. Langkahku tertahan. Pangeran tidak ada untuk memberi kekuatan. Ah, aku tidak mau menuntutnya. Akan kukembalikan dia pada singgasana nyamannya. Rasa sayangku tidak bisa melihatnya resah hanya karenaku. Aku ingin membicarakannya baik-baik. Kupinta untuk bertemu dan gubugku kupikir tempat yang paling tepat saat ini untuk bercerita panjang lebar. Dia datang. Tergesa. Di malam hari. Aku terharu, sedih tepatnya. Ah, pangeran. Dia harus menempuh jarak sejauh itu di tengah gulita hutan. Aku tersanjung tetapi miris. Aku takut terjadi apa-apa dengannya di lingkungan yang tidak biasa baginya. Tak ada pembahasan tentang kegundahannku yang telah terbahasa. Aku merasa diabaikan, lelah dengan semuanya dan dia tidak mengulurkan tangannya membantuku berdiri. Aku dianggapnya mendramatisir. Aku emosional dan kupinta untuk mengakhiri semuanya. Dia terluka dan aku merasakan sakit yang sangat. Aku meminta maaf dan menyesal, tapi dia bilang sudah tidak bisa lagi. Dia takut melukaiku lagi. Aku sering mengeluh dengan hubungan ini. Selepas pembicaraan itu, tangisku pecah. Rabb, aku masih menginginkannya. Begitu besarnyakah salahku atau ini jawaban dari doaku? Kami membahasnya lagi. Tetapi tetap sama. Dia tidak bisa menjemputku kembali. Padahal aku ingin kami berevaluasi. Meluruskan kesalahan dan melanjutkan perjuangan yang belum dimulai. Kululuhkan keangkuhanku, tetapi tetap tidak bisa. Aku terhempas. Upik Abu, sadarlah. Pangeran tidak menginginkanmu lagi. Kutanya lagi, kesalahanku prinsipil atau ini akumulasi pemikirannya? Dua-duanya dan tetap tidak bisa dikompromikan. Ketidakpastian dan kerikil yang kami abaikan berbicara jua. Hahh, sudahlah kalau begitu. Kukumpulkan kepingan hati. Live must go on. Kembali kukumpulkan angkuhku. Benteng itu kubangun. Selamat tinggal Pangeran. Sepenggal kisah kami biarkan jadi sejarah. Maaf, sulit bagiku untuk memberi kesempatan kedua kelak. Semoga dia mendapatkan puteri sepadan untuknya dunia akhirat. Cinta itu belum merealita. Sembilan tahun itu terjawab dalam tiga bulan. Syukran dan afwan jiddan. Allahu Akbar!!!
###

Aku terbangun. Cuma mimpi... Kisah Pangeran dan Upik Abu berakhir...

Pendar sinar lampu jadi samar oleh tetes air. Losari begitu sepi. Gulita laut gambarkan kekelaman. Aku masih menunggu kau datang. Segera merengkuhku agar salahku menguap. Kau tersenyum sambil berkata ”seterlukanya aku, lebih kupilih untuk terus bersamamu. Cintaku punya berjuta pintu maaf”. Tapi malam kian melarut dan tak ada jua hadirmu. Ponselku berdering ”aku tidak bisa lanjutkan ini”. Sejenak kurasakan jiwaku terbang. Ah, cintamu hanya sebatas itu.

Rappokalling Raya I
11 Oktober 2008

Wednesday 5 March 2008

ada

mungkin kubukan peri yang bisa berimu pijar-pijar kebahagian
mungkin kubukan putri yang bisa jadikanmu pemilik sebuah kerajaan
tapi yang mungkin, aku selalu menitipkan kebahagiaan
pada rinai hujan dan malam yang menuai kegelapan