Tuesday 28 October 2008

LUKA HATI NAYARA

aku nyaris tak sanggup lalui semua sakit ini Tuhan...
I
aku benci kepasrahan, aku muak ketakberdayaan.
aku nyaris kehilangan kewarasan.
tak ada mimpi
tak ada keakuan
tak ada mentari yang kemarin

Saturday 25 October 2008

cinta 5 mars

aku venus yang rumit. dibesarkan nenek, keluarga broken, trauma cinta, pernah benci laki-laki, sering sendiri, dipaksa dewasa, pengen banget nikah menjadi kuas yang mewarnai kanvas hidupku.sadar akan hal itu, akan sulit memuarakan hati pada seseorang yang tak layak kualifikasi. dalam perjalanan hidupku, ada lima cerita tentang bagaimana mars mencoba datang, singgah, lalu pergi. tentu tidak termasuk yang hanya sekedar menjajaki. semuanya dalam bad ending. hehehe.

the first man
panggil dia bayu.cakep, ramah, dewasa. banyak yang ngefans. pertama kali melihatnya, penasaran. kok bisa ya ada makhluk bening kayak gini di tempat ini. ternyata dia teman sahabatku, dikenalkan, dan dia ngajak jadian. weits, be cool men. saya gak berkenan. wong males dengan cinta yang bullshit. tapi orang-orang di sekitar pada ngedukung. ya... udah. aku menawari persyaratan. kita bisa jadian tapi aku gak pake cinta. dia sepakat. okelah. tapi dia tak lebih seorang pecundang. baik dan ngemong tapi ternyata dia playboy ulung dan penjahat wanita. kamuflase yang dia tampakkan kumaknai jika dia memang tidak bisa menyentuh hati dan ragaku. terlanjur menjadi "korban" penaklukannya, aku bertekad untuk jadi sutradara. dia mungkin tidak tau berhadapan dengan siapa. dia ke luar kota berbulan-bulan, gak masalah. tak ada kata putus, kami hilang komunikasi. aku kemudian memahami pacaran gak cerdas n gak syari`i. dia datang dan shock. tak ada aurat yang di umbar, tak ada genggaman tangan. lunglai, dia beranjak pulang. kunamakan itu ending formalitas. cerita tak terhenti, enam tahun kemudian dia datang dengan tawaran yang lebih serius. benakku berfikir, antara memberinya kesempatan dengan menginginkan yang sesuai kriteria. rokok, pergaulan bebas, pendidikan adalah hal yang sulit kutoleransi. dia masih menganggapku ada adalah obat dari kesendirian jiwa. lama kubuka ruang fikir dan rasa, aku enggan. tapi dia bantuku keluar dari persoalan. marah karena merasa tertolak, dia membalas dendam dengan menyatakan rasa pada kakakku dan menganggapku tak pernah ada setelah itu dia memacari sahabatku. air mataku sempat tumpah dalam tafakkurku. bukan patah hati, tapi kecewa. dia memperlakukanku secara tidak terhormat. dia menginjak-injak harga diriku. angkuhku berbuah. lelaki di mana-mana sama saja. P E C U N D A N G!!!

the second man
sebut saja dia fulan. aktivis, ngaji, berwawasan. dia menyebutku unik dan mengajakku ta`arruf. siapa takut? tak ada rasa, dia belum kerja, konvensional. hanya keyakinan jika ini baik maka akan diberikan jalan dan muara terbaik. deadlinenya tiga bulan. komunikasi berjalan, saling mengenal di lakukan. lancar. dia hadir saat masa-masa konflikku dengan pace. ada yang pro, ada yang kontra. aku serahkan pada Sang Pemilik takdir. tiga bulan menjelang, dia datang. terbentur persoalan budaya bugis, mau tidak mau harus mundur. assajingeng dan dui pappenre. apalagi pace tidak respek. dia minta waktu untuk memenuhi itu dan ternyata dia memang tidak siap dari awal. komitmen waktu sudah disepakati dan tidak ada revisi sebelumnya, keputusan untuk menghentikan harus di lakukan meski terkesan kejam. dia mencoba memohon, tapi sulit bagiku memberi kesempatan kedua. dia pergi. kudengar kabar dia mendekati sahabatku. :).

the 3th man
aku lupa namanya siapa. diperantarai oleh seorang teman. alumni pesantren, masih kuliah, kontra organisasi. B). apa salahnya mencoba. ikhtiar. dia datang dengan kakaknya. kuberi tiga pertanyaan yang harus dia jawab. waktu tidak cukup, janjinya via telepon. satu penilaian, dia tak terlalu menjaga. grafiknya menurun. komunikasi dia awali. mengaku jatuh cinta pada pandangan pertama dan ingin segera merealisasikan. pertanyaanku dijawab parsial. visi misi tak terbahas tuntas. kian mendekati titik nol, aku menghentikan. daripada dia terjebak lebih dalam, aku yang harus menyelamatkan. bung, hidup tak cukup dengan kecendrungan...

the 4th man
namanya shiva. keren, jahil, preman, anak bungsu, sudah kerja. aku tertarik padanya karena mengingatkanku pada masa lalu. kami akrab. mungkin karena kesamaan latar belakang. dia memanggilku bunda. kuanggap dia teman yang ingin diselamatkan. dia nyatakan rasa, aku yang shock. aku jauh dari kriteria perempuan ideal meski dulu sempat menjadi bunga desa. *_*. aku tak bisa pacaran. dia paham tapi masih mencoba komunikasi. dia ingin belajar. dia ingin menjadi lebih baik. aku tak mau jika itu karena diriku. manusia hina dhoif sepertiku tidak layak dijadikan sebab. kugiring cara berfikirnya. hubungan kami sesuai aturanku. tapi tetap ada beberapa hal yang tidak terkontrol. kurasakan gundah. aku harus menghentikan ini. tapi aku terlanjur menyayanginya. kubahasakan orientasi interaksi, dia juga bingung. dia belum siap nikah. aduh, siapa juga mau menikah dengan kondisi begini. aku menawarkan break komunikasi sepekan lalu sebulan untuk memikirkan jalan terbaik. terputuskan untuk sama-sama menjalani tapi tetap menjaga interaksi. toleransi besar kuberikan. waktu berjalan, bukan proses mengenal yang terjadi tapi dia menghilang. ternyata dalam jeda waktu itu dia kelelahan. arogansi masing-masing muncul. pembenahan diri tak dilakukan. resahku sebab kutak mau jika imamku kelak shalatnya saja tidak beres. aku juga dinilai seperti voc. plin plan. aku akhirnya juga capek. kukomunikasikan, smsku tidak dibalas. kutelepon, dia ogah-ogahan. kuajak bertemu, dia tidak datang. diakhiri lebih baik daripada menyiksa keduanya. dia pun bilang, sudahimi pale. nyamanma juga dengan duniaku sekarang. hahhh, clubbing dan ngaji memang sulit di sandingkan.

the5th man
aku menyebutnya pangeran. cakep, ikhwan, lucu, punya banyak fans. kawan lama dan ternyata dulu kami saling simpati tanpa mengetahui satu sama lain. setelah merasa terabaikan, dia mulai berkomunikasi. kuanggap sebagai silaturahmi atau setidaknya memperbaiki hubungan yang renggang. dia nyatakan cinta, tiga hari waktu yang kuperlukan untuk berpijak ke bumi. dia orang terideal yang punya orientasi kepadaku. interaksi terjalin, kupikir aku membutuhkannya untuk melengkapi kekuranganku. terlepas dari itu, kekhawatiran mengungkungku. aku takut dia terjerumus. sepaham apapun dia jika rasa kecendrungan sudah membelenggu, sulit untuk mengontrol diri. bahkan beberapa kejadian yang kutanyakan kesyari`iannya juga tak terjawab. dialihkan. ah, pangeran. aku tak mau karenaku kau menjadi lebih buruk. aku tidak rela akan hal itu. oleh karena itu, dalam keterbatasan pemahaman, kucoba untuk mengontrol. kesalahan terbesar adalah hubungan ini tidak punya indikator keberhasilan proses pencapaian target. dunia, fikrah, jalan hidup begitu berbeda. rasionalitas tertutupi perasaan. ketidakmampuan menamakan hubungan. aku berusaha menjadi sahabat. diapun bercerita ada fulana yang mengganggu konsentrasi ibadahnya. kupikir itu aku. ternyata orang lain. air mata kekecawaan terhadap laki-laki mengalir lagi. lalu posisiku di mana. dia minta maaf. kutelan luka dan memberinya kesempatan. tapi saat aku yang membuat kesalahan dengan menawarkan mengakhiri hubungan karena tak sanggup masuki istananya, dia tak beriku ruang kembali. dia menghentikan meski dengan alasan sementara. aku tertolak oleh orang yang mengaku cinta dan tawarkan mimpi?! aku merasa ada alasan lain. feelingku mengatakan demikian. tapi aku tidak mau irrasional. kupinta tiga kali, dia tak bergeming. okelah. sudah ncukup. kuputuskan untuk game over selamanya. buat apa bertahan dengan orang yang tidak menginginkanku. dia juga mengakui berat tapi juga belum bisa kembali. sudahlah, kita jalani hidup kita masing-masing. masih sering menghubungi, rasa yang kupunya juga masih sama seperti dulu. rasa itu pula yang menghantarkanku pada luka saat tau, fulana itu masih ada. aku yang benar-benar harus pergi..

Saturday 18 October 2008

rembulan langit makassar


damai menggelayut dada

rembulan penuh kembali curahkan cahaya

ah, seakan dia tau aku butuh teman

aku sedang sendirian

saat pergi, jarang kunikmati hadirmu

tertutup awan, bahkan polusi jakarta mengaburkanmu

atau tetes air mata yang menghalangi pandanganku

tapi sungguh, saat ini kuserap auramu ke seluruh syarafku

biarkan beku dan laraku menguap

bersama detik-detik harap

apa yang kuresahkan

jika kumiliki cinta Dia pemilik semesta?

tetaplah di sana

di tempat yang berimu ruang berekspresi menjadi diri sendiri

di sini, aku akan tetap ada

yakin engkau akan datang lagi setelah gelap dan sabit mengada

Diary Calon Pengantin

6
Oktober 2006

Ass. Wr. Wb

Salam yang lengkap untukmu, sebab berangmu akan
berbuah jika kulalai atas hal itu. Juga kuingin gamblang untuk mengimbangi
meski mungkin tanpa sadar ataupun tak terjangkau kata sederhana dariku
melukiskan apa yang ada di pikir dan di hatiku.

Sering bertengkar atau tepatnya
mempermasalahkan hal spele adalah nama tengah kita sejak awal. Toh dengan
ketidakpedulianku berbentur pada ketidakmengertianmu yang harus terjawab. Masa
bodoh melandaku meski darimu tanya dan harap jawaban memasungmu.

Beriring waktu, ku tak tau dan tak mau tau apa
yang terjadi pada dirimu. Ku hanya bergelut memperjuangkan hatiku agar tidak
jatuh pada orang, tempat, dan cara yang salah. Kutempuh segala alur bahkan
sampai membuatku merangkak dan berdarah-darah.

Lalu kau tawarkan sebuah proses terindah dalam
rangka penggenapan separuh agama. Dengan santai kuiyakan. Why not. Ini impianku
sejak dulu. Toh rasaku masih pada titik nol, tidak minus. Kucerita tentang
diriku dan tak kuacuhkan kikukmu. Ini aku, apa adanya dan tak akan ada yang
kusembunyikan.

Kau menyebutku unik, membuatku sadar kau
memandang beda kekuranganku. Kau bersumpah serius atas nama Ilahi. Kupercayai
kau sepenuhnya meski kutakberharap lebih. Kau penuhi syaratku tanpa bimbang, membuatku
sadar kau memikirkan lebih keinginanku. Kau tepis bimbangku dengan santai.
Kuatkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kau beriku tempat saat remuk hamper
memberangus tualng-tulangku.Bahkan aib sayap-sayapku jadikannmu bertambah yakin
akan ada waktu untukku. Kau menerimaku utuh meki mungkin orang lain akan
berfikir dua kali untuk itu.

Kau ingini aku agar mendapat rahmat Ilahi.
Membantah takutku jika ini hanya luapan emosi manusiawi semata. Kau ulurkan
niat yang tulus dan tekad yang kuat untuk meraihku bersamamu menapaki alur-alur
beronak demi sebuah penghambaan terhadap Sang Pencipta kita.

Lalu mengapa harus menolakmu?! Meski rasa belum
berbuah cinta sebab tidak wajib itu ada. Jika kau yakin aku bisa temukan itu
suatu saat, maka mengapa aku harus meragukan diriku sendiri. Lalu mengapa tak
memberimu tempat?! Sedang yang kau lakukan hanya sebuah ikhtiar menuju
peribadatan kepadaNya. Meski belum saatnya menyerahkan rasa yang memang belum
ada.

Aku belajar dalam keraguan. Ruangmu sadarkan
lengah jiwa. Lecutan-lecutan kesadaran mengungkungku dalam tangis tanpa suara.
Mampukah aku lebih mulia dari bidadari? Sanggupkah aku menjadi tulang rusuk
yang dekat di hati?. Bisakah aku menjadi wanita shalih ataupun muslimah sejati?

Terpuruk dalam diam dan sedih kumenunduk. Aku
hanya sanggup bermimpi sambil merenda keyakinan bahwa kesempatan untukku ada.
Bahwa DIA masih teramat menyayangiku serbagai hamba. Pun jika takdir kita
berbeda, tulus terucap terima kasih telah menjadi perantara kesadaran. Pun jika
ada kesempatan merasai indah bersama, ajari aku mencinta, tuntunku gapai surga,
dan bawaku bersama menghadapNya….. sambil berkata bangga “ Dia mar`ahku, yang
bersedia bersamaku raih ridhaMu dan menjadikanku dicintai setelahMu ”.


31
Desember 2006

Kusadari, jalan yang kita lalui sulit. Ini akan
menjadi jejak-jejak hidup yang kita pilih. Maafkan aku jika membuatnya tak
seperti apa di pikirmu. Di sini dua ego yang bermain apalagi melibatkan
keluarga. Kupahami jika kau meraguiku sebab memang tidak ingin terucap kusangat
inginkan ijab qabul itu nyata. Aku takut bermimpi……..

Jika langkahmu tertatih, kumohon jangan
berhenti. Biarkan kita berjuang sampai napas kita tersengal, dada kita sesak,
dan jiwa raga kita lelah. Bukankah para pencinta sejati bahkan mengorbankan
darah dan nyawanya dalam rangka pencapaian cinta pada Sang Pemilik Cinta.?!
Bukankah kita adalah pejuang untuk memepersembahkan cinta tulus kita padaNya
dengan penghalalan sesuai yang Dia inginkan.

Maafkan aku, jika menjadikan ini begitu rumit,
sehingga kita lelah. Aku yang tidak bisa biasakan labil pikirku. Salah
mmenderaku mendengarmu tak seyakin dulu. Perih gores hatiku saat kau tawarkan
bersedia jkika akhirnya ini berakhir sampai disini.

Kumemang belum mencinta tapi aku ingin mencoba
belajar. Belajar pada orang yang mau menerimaku utuh dalam rapuh dan ketidaknormalan. Aku mauimu
dengan menafikan ego-egoku, meski itu tak terbahasakan. Bukan tak mau jujur.
Aku hanya terlalu memproteksi diri untuk tidak membenihkan rasa yang bukan pada
saat dan tempat seharusnya. Jika kuterlalu padamu, memang. Meski berat, resiko
terburukpun siap kujalani sebab aku yang memilih.

Membuatmu gamang, aku yang akan selalu gundah.
Meski larangmu untuk pikir semuanya, aku tak bisa. Aku ingin terlibat sebab aku
yang harus bertanggung jawab.

Kumohon yakinlah. Percaya padaku bahwa aku yang
akan berjuang untuk kita. Meski hanya aku dan Rabb kita yang tau. Aku ingin kau
yang ucapkan padaku “ Jadilah bidadariku”, sebagai akhir perjuangan dan awal
peribadatan cinta. Meski juga tidak ternafikan bahwa Allahlah sang penentu itu.

Proses ini, ajarkanku pendar-pendar kedewasaan,
alur-alur bersikap, dan tidak lagi sibuk memiliki dunia sendiri. Jadi, tidak
mungkin aku menyerah hanya karena kita tidak sanggup melangkah. Dari semua
rintangan dari manusia, bukankah ada Allah yang akan beri kita jalan dan akhir
terbaik.

Rabbku, engkau tau apa yang ada di hati dan
pikirku serta di diri-diri kami. Jika ini akan membawa kami pada muara cinta
sejati pada Mu dan menginginkan ridhaMu,
beri kami hikmah dan jalan terbaik menurutMu, mudah ataupun sulit. Jika dia
menginginkanku karenaMu dan berharap meraih surgaMu bersamaku, kuatkan dia dan
aku ya Rabb.

Tetapi jika semua ini sia-sia dan menjadikan
kami bermaksiat padaMu, kumohon Bantu kami menghentikannya. Jauhkan hati, pikir,
dan jasad kami dari berbuat salah kepadaMu.

Engkau muara ya Rabb. Maka atas izinMulah
ikhtiar-ikhtiar ini menjadi nyata. Kami mungkin akan selalu jaut dan jatuh,
tetapi ini upaya terbatas kami untuk melakukan penghambaan, terlepas dari nafsu
naluria kami.

Biarlah hanya Engkau yang tau mau diriku sebab
hanya Engkau yang akan beri terbaik, meski di titik terlelah jiwaku. Izinkan
aku tetap mencintaiMu……….


23
Januari 2007

Kusudah letih, mungkin. Ketika pikirku tidak
lagi memuarakan yakin. Dari segala alur yang kita tempuh juga perjalanan
panjang meletihkan, aku hanya mampu terpaku. Juga hadirmu yang tak urung
hadirkan gundah. Bukan seperti itu yang kumau tapi juga tak ingin ada paksaku
terhadap keadaan.

Kaupun gamang, kutau dari sikapmu tidak ingin
ataupun belum bahasakan masa depan. Tak mau tau bagaimana nanti, bagaimana
jika. Termasuk sikap-sikap bodohmu hadapi persoalan. Karena begitu besarkah
rasa cinta itu? Atau egomu yang tak mampu terealisasi? Kutertawa mengetahuinya,
menyembunyiokan miris yang menggores perih. Lagi-lagi bukan itu mauku. Kutak
ingin proses ini lahirkan orang-orang buta dan tidak merealita. Kita hanya
mampu berupaya

kan

?
Allahlah penentu segala hasil….

Jika jalur-jalur ini juga melelahkanmu, tak
mampu kuberbuat apa-apa. Meski kuingin kau tetap tegarkan diri dalam kondisi
apapun. Yang mereka mau hanya untuk kebaikanku tapi terpasung juga dalam ego.
Tapi bukankah kita berjanji untuk berjuang, bukan memaksakan.

Meraguimu, iya.

Ada

ketakutan hidup bersamau jika pilihanku
sendiri. Aku ingin mereka terlibat, ada bersama kita sehingga saat beda memaksa
marah, kita punya tempat pulang.

Meraguimu, iya. Dalam realita kumerasa kau
belum sepenuhnya ada. Impian dan angan ideal yang ada di kepala dan hatimu
tidak kau bumikan. Minimal kau kuat, agar bisa menguatkanku juga.

Meraguimu, iya. Tapi lelah kuserahkan
sepenuhnya pada takdirku. Tak sanggup lagi kuberjuang, kecuali kau ada dan
katakana “ Bismillah, apa yang kau ragukan jika ada Allah bersama kita?!”

Maafkan aku, jika teramat sering buatmu kecewa
dan terluka. Tak ada maksud untuk itu. Kau dengan caramu, aku dengan caraku.
Pun saat pikirmu bahwa ada rasa di hatiku terbantahkan. Tak perlu ada itu,
meski kutau kau sudah terlalu jauh.

So… silahkan berjuang dengan caramu. Tempuh
alur yang kau mampu. Toh, saat kita ditakdirkan bersama maka akulah yang
terbaik untukmu, begitupun kamu. Dan saat kata “tidak” menghentikan alur
manapun menujuku, maka telah tersedia orang yang terbaik untuk kita
masing-masing. Yang jelas dirimu dan proses ini, buatku belajar banyak hal.
Juga sadarkanku bahwa tidak semua aku adalah aku.



5
FEBRUARI 2007

Ada

yang hilang menguap bersama lelah juga waktu
yang kian tak berujung. Cerita-cerita pun bergulir menghenyakkanku pada
kesadaran-kesadaran. Banyak hal terlalui, hingga melemahkan sendi-sendiku. Tak
ada mauku atasmu, lebih dari ingin ada temanku meraih ridhaNya hingga akhirat
menjadi tempat. Jika banyak egoku terpasung, juga idealismemu yang terleburkan,
kupositifthinkingkan bahwa karena kita ingin gapai terbaik menurut kita.

Dan pada realita, bersama itu sulit, maka tak
mengapa jika di titik itu kita legowokan untuk berhenti. Biarkan saja angin
membawa sisa-sisa yang tidak terkuak juga tanya yang belum terjawab. Seperti
saat kuat ingin memulai ini, mari kita bertakbir untuk mengakhirinya.

Tak ada sesalku meski sedikit goreskan kecewa
atas mimpi yang tak jadi nyata. Ini pembelajaran berharga pada sebuah
universitas hidup dan dirimu salah satu guru terbaikku. Jika maumu dan mauku
tidak bisa menjadi mau yang dikehendakinya, maka lapangkan dada untuk terima
apa adanya. Pun telah kupejamkan mata dn kuhela nafas teramat panjang, mencoba
caricelah di titik terhitam sekalipun juga pada pintu-pintu yang bersedia
terkuak.

Jadi sudahlah. Lelahku bukan alasan tapi akhiri
adalah keputusan. Jodohkah kita? Bukan lagi amanahku untuk memperjuangkan itu. KuasaNyalah
yang akan terjadi pada takdir kita.

Hati dan pikirku tsiqah bahwa tempatmu masih
kosong dan kutakut bukan terisi olehmu.

Maafkan aku………

Terima kasih………

Namamu pernah ada dan beriku warna. Tapi
pergilah dan pulang pada hatimu. Aku akan tetap merenda hari bersama mimpi dan
misteriNya.

14
februari 2007

Jahat dan kejam. Klaimmu terhadapku atas
keputusan ini. Tak mengapa, ucap hatiku. Resiko terburukpun siap kuterima atas
pilihan yang harus ditentukan. Dengan suara lelah kau coba bertahan, tetapi
rasa kasian bukan jawaban menarik kembali keputusan. Akhirnya kaupun pasrah,
sebab upaya tak mampu lagi berkata.

Kubukan tak ingin menunggu, tetapi waktu yang
berlalu cukup memberikan jalan. Kau bukannya tak pantas. Hanya mungkin memilih
jalan salah atau waktu yang tidak berpihak. Aku ditakdirkan bukan untukmu. Juga
keterbatasan sebagai manusia.

Sungguh. Takkan berhenti kupinta maaf seberapa
banyakpun yang kau mau. Kuharus memberangus rasa senangmu dengan luka. Sabar
saja ya. Kuyakin kau mampu melakuknnya. Orang baik dan berilmu sepertimu pasti
telah disiapkan orang terbaik, juga bidadari di surga.

Jujur, ada sedikit rongga di hatiku yang miris
harus kembali menyakiti. Tapi tolong mengertilah. Aku sudah tak sanggup menuai
letih… Ini membebanimu jika dipaksakan. Kutau itu dan kutak mau terjadi.

Kata-kataku habis. Mengendap oleh rasa bersalah
yang memvonis. Tolong jangan terlalu merasa terluka. Tegarlah. ucapku terima
kasih karena kau menyenangiku dan pernah membuatku merasa sangat istimewa.

“ Jaga ksehatnx de ya jg srnq jgn mls ngaji dan
baca, eksis trus.. J”

Sms terakhirmu…………

Wassalam.

Saturday 11 October 2008

PANGERAN DAN UPIK ABU

PANGERAN DAN UPIK ABU

Tak terdefinisi rasa
Tak mampu kuberi nama
Hanya geliat indah di jiwa
Juga damai menelangkup raga

Tak kunafikan kelu
Tak terpungkiri ragu
Kau begitu jauh
Beda sulit menjadi satu

Kulabuhkan janjiku pada gemerlap bintang
Kubiarkan alurku pada aliran sungai kearifan
Dewasa kubutuhkan, siap terluka kutumbuhkan
Aku memilih arungi biduk retak bersama biarpun akan terkoyak

Sandaran kekuatan ada padaNYa
Sang Pencipta yang menciptakan cinta
Biarkan Dia berkehendak
Kita hanya sepasang hati lemah yang mencoba rangkai cerita
Apakah bertakbir atau berucap hamdalah


Aku punya sepenggal kisah perjalanan hidup dua manusia. Dibalik begitu banyak persamaan, juga dihalangi jurang perbedaan yang luas dan dalam. Organisasi, India, puisi. Pemikiran, jalan hidup, kebiasaan, kasta, harta. Ah, bahkan cinta yang mereka miliki pun tak mampu menyatukan semuanya. Atau, cinta mereka memang hanya sebatas debar-debar indah, tanpa mampu hadapi tantangan terjal kehidupan. Biarkan kisah mereka menjadi sejarah yang berhikmah........
###
Udara siang begitu menyengat. Seragam putih biruku dibanjiri peluh. Beda sekali dengan hawa desa, gumamku. Akhir pekan ini, aku mengunjungi keluargaku yang memang hidup jauh terpisah. Hanya aku sendiri yang tinggal bersama tante. Aku kangen ibu. Apalagi mereka baru pindah rumah. Berkumpul dengan keluarga dalam suasana berbeda buatku senang. Jika sehari-hari aku berteman dengan hutan, sawah, dan kicau burung maka di sini aku bisa melihat TV, listrik, aspal. Sesampai di rumah, ibu menyambutku hangat. Melepaskan lelah lalu bersosialisasi dengan tetangga yang ternyata masih keluarga jauh. Saat itu aku melihatnya. Sejenak hatiku berdesir tapi segera kuabaikan. Ah, Upik. Jangan jatuh cinta. Cinta hanya akan melukaimu. Waktu berlanjut dan aku semakin sering melihatnya dari jauh. Dia tidak pernah mengajakku ngobrol. Ah, Upik. Sadarlah. Kamu hanya gadis kampung. Meski jadi bunga desa, kamu tidak selevel dengannya. Dia bagai pangeran. Tampan, kaya, bangsawan, baik hati lagi. Apalagi, keberadaanmu tidak dianggapnya. Dia hanya berteman dengan Kak Naya. Biarkan dia hanya sekedar pangeran impian yang kisahnya tinggal di kotak kaca. Tak tersentuh tapi tetap terjaga...

Setahun Kemudian

Aku ingin masuk SMU dimana tak seorangpun mengenalku, atau minimal tidak tahu latar belakangku. Aku ingin hijrah, aku mau berubah. Aku jenuh dengan hidup tak bermakna, hati yang kosong. Aku berniat memakai jilbab. Aku tidak peduli resiko kehilangan penggemar, popularitas, bahkan teman-teman yang tidak terima metamorfosisku. Aku memilih SMU Utama dan Sang Pangeran sekolah di sana. Hari pertama MOS (Masa Orientasi Siswa), dia membentak siswi baru di sampingku. Seketika amarahku membuncah. Temanku itu tidak punya kesalahan berarti. Tapi mungkin memang kayak gini kalau MOS, pikirku. Tapi dia belagu. Mentang-mentang senior jadi seenaknya pada yunior. Aku paling tidak bisa melihat ketidakadilan. Melawan juga tidak mungkin. Kekagumanku menghilang. Tak akan kuanggap penting lagi dirinya. Kutenangkan temanku. Ada tanggung jawab moral sebagai orang yang mengenalnya untuk klarifikasi ini. Sesampai di rumah, aku menceritakan kejadian itu sambil meneteskan air mata kejengkelan dan ketidakberdayaan. Mereka hanya tertawa. Dasar hitler!!! Hitler cakep sih. Tapi bodo`. I don`t care about you, more!!! Termasuk saat saat adik bungsunya menjodoh-jodohkan. Gak akan, makasih deh... Dia sih tetap baik, jujur kuakui. Bahkan pada saat ibuku meninggal, dia datang melayat meski harus mabuk kendaraan yang parah.

Aku kemudian berhijrah utuh. Belajar jadi akhwat istilahnya. Aktif organisasi, berbuat untuk tabungan amal di akhirat kelak. Berada pada komunitas yang sama mau tidak mau buatku tahu perkembangannya. Tapi rasaku benar-benar telah mengendap. Baguslah... Aku sering kerumahnya tapi bukan untuk menemui pangeran menyebalkan itu. Aku benar-benar menghindari interaksi. Toh, lagi-lagi hadirku tak dipedulikannya J (bodoh amat!!!). Dia lulus dan aku juga tidak peduli. Lalu kudengar dia pacaran dengan temanku. O..o..o sudah berani rupanya melanggar aturan rumah. Aku benar-benar ilfeel. Pacarnya itu pacar sahabatnya. Aduh, pangeran...pangeran. Entah apa yang ada di kepalamu. Kukira dirimu penganut paham kesejatian cinta. Ternyata hanya sampai segitu levelmu. Ah, Upik. Apa pedulimu. Kamu bukan siapa-siapanya. Sempat terungkap pembicaraan temanku yang lain bahwa Aku, Maya, dan Tia pernah hadir di ruang sukanya. Pangeran... tak kupunyai definisi tentangmu.

Waktu berlalu, banyak hal terjadi. Diapun akhirnya hijrah utuh. Jadi ikhwan. Subhanallah... Aku mungkin salah seorang yang paling berbahagia. Entah kenapa. Aku dan dia dipertemukan lagi dalam kampus yang sama. Sesekali namanya terlintas dalam pembicaraan keluarga besar. Bentuk perhatian sebagai saudara sepertinya. Bergabung di organda yang sama, tak sekalipun dia mengajakku ngobrol. Sebagai sesama saudara yang di rantau, kunamakan itu angkuh. Aduh, Upik. Terserah dialah. Bagaimnapun, dia tetaplah seorang pangeran. Kujalani hariku, hadirmu tetaplah biasa. Lalu sepupuku bercerita bahwa aku sering menjadi topik pembicaraan kalian. I don`t believe it. Pangeran istimewa yang menyebalkan itu tidak mungkin menjadikanku sesuatu yang penting untuk dibahas. Aku tidak akan pernah mau bermimpi. Dia intens dan semakin serius. Kubawa dalam konteks candaan.

Entah dimulai dari mana, beberapa sms menjalin interaksi. Setidaknya ada kemajuan dibanding bisu yang hadir selama ini. Membicarakan kesarjanaannya dengan keluarga mau tidak mau memantau perkembangan. Aku diundang di acara syukuran kelulusannya. Aku tidak masalah untuk datang. Bagaimanapun telah tercipta posisi tak terjangkau diantara aku dan dirinya. Jadi, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Dalam kondisi gamang karena gagal meneruskan ta`arruf dengan seseorang, komunikasi via sms itu terjalin. Aku menganggapnya sebagai pangeran ikhwan yang masih punya hubungan keluarga. Apalagi, kesamaan komunitas yang kami masuki bisa membuatnya memahamiku dalam dua sisi. Tentunya dengan batasan aturan dan tidak lebih dari sekedar belajar. Komunikasi itu berlanjut. Sampai kemudian muncul pengakuan bahwa dia menyukaiku sejak sembilan tahun lalu sampai sekarang. Aku terhenyak dan merasakan sendi-sendiku tidak berfungsi. Lunglai ragaku. Ya Allah. Ada apa dibalik ini semua. Dia, sang pangeran istimewa tapi menyebalkan yang akhirnya jadi ikhwan itu menyukai seorang Upik Abu?!. Lama kupandangi kata-kata smsnya, memastikan. Kucubit lenganku, sakit. Tiga hari waktu yang kubutuhkan untuk kembali berpijak ke bumi setelah beberapa saat mengawan. Tuhan, tolonglah. Aku sungguh-sungguh tidak mengerti. Aku juga tidak tahu akan bermuara ke mana. Siapa yang tidak menginginkannya. Seorang pangeran. Tapi haruskah seperti ini. Masih banyak tanya yang perlu jawab. Banyak keraguan yang berbuah. Mungkinkah, bagaimana bisa. Satu sisi dia adalah orang paham. Di sisi lain rasa adalah persoalan manusiawi apalagi terpendam dan terjaga selama sembilan tahun. Ah, rasanya buyarkan kebencian akan cinta. Hadirnya sadarkan jika aku masih berarti. Tapi aku ingin menjaganya dalam koridor kebenaran. Aku tidak ingin menjerumuskannya. Jika tegas sikapku tidak ingin ada pengungkapan rasa berlebihan, itu karena aku ingin hubungan ini fitrah. Manusiawi tetapi tetap pada aturanNya. Lambat laun, kedekatan itu terjalin. Kupikir, orientasi kita sama seriusnya. Menikah. Kuingin ini di bawa ke keluarga agar bukan hanya nafsu kami yang bicara. Keluargaku tidak masalah, hanya mengingatkan jika perbedaan kondisi keluarga akan sulit diadaptasikan. Akupun mulai menganalisis. Seberapa kemungkinan dunia Pangeran dan Upik Abu dikompromikan dan dipertautkan. Berat!!! Tapi karena kurasakan kesungguhannya, kulihat begitu besar rasanya, dia rela jika akan tinggal di rumah pohon nantinya, akupun rela jalani rintangan itu. Belum ada pembicaraan teknis, masih mengambang, dan belum terucap namaku di keluarganya sebagai calon bagian dari mereka. Hubungan ini ternyata tak bernama. Teman, tapi saling menginginkan. Saudara, tapi bermain rasa. Ta`arruf, tidak punya target. Sering ingin kupertanyakan ketidaksyari`ian tapi dia tidak mau menjawab. Ikwan, kau lebih paham... Aku menginginkan tidak seperti ini. Aku mau kita lebih serius dan punya tahap pencapaian yang berindikator. Belum saatnya, menurutnya. Akan ada waktunya dan biarkan hubungan ini mengalir hingga temukan muaranya.

Aku ingin keluar daerah. Kudapat amanah selama dua tahun. Kuterima itu dengan berbagai pertimbangan. Tak kutanyakan padanya sebab kami bukan apa-apa. Hanya kuanggapnya dekat dan kuhargai hubungan ini. Aku meminta nasehat. Dia hanya bertanya, apa yang bisa membuatmu tidak pergi. Aku tahu, dia tidak ingin aku pergi. Tapi meninggal, sakit, dan menikah juga belum terjadi. Jadi, tidak ada hal yang menghalangiku. Diapun tidak punya kekuatan. Aku tetap pergi dan dan kutau dia kecewa. Tapi tahukah kau Pangeran, aku juga kecewa. Kecewa sebab dia tidak menahanku. Kecewa sebab tak ada ucapan, tinggallah dan kita pintal mimpi kita bersama-sama. Amanah itu harus kuemban. Sesuatu yang lebih pasti. Kami semakin tak terbentuk. Dekat tapi misorientasi. Rawan. Seminggu aku tidak berpulsa. Ibukota masih kuadaptasikan. Hingga dia hadir dengan pembicaraan tentang seseorang yang mampu menggoyahkan kualitas ibadahnya. Seseorang yang hadir di tengah ramadhannya. Untuk pertama kalinya aku tertampar akan realita. Lalu aku siapa baginya? Hubungan ini memang tinggal menunggu waktu untuk meluruh. Kejujurannya luar biasa tapi dia tidak pernah tau seberapa sakit yang kurasa. Dia sadarkanku. Upik Abu tetaplah Upik Abu. Seberapa kerasnya dia berusaha menjadi puteri, mahkota tidak cocok untuknya. Mungkin memang hanya seorang itu yang memperhatikan. Tapi dia adalah pangeran. Banyak yang menginginkannya. Harusnya kau sadar pangeran. Rivalku berat dan aku tidak punya seserahan yang pantas. Mungkin ini saatnya untuk mengembalikannya menjadi pangeran di kotak kacaku. Sedihku, karena hanya sejenak kurasakan kebersamaan yang menjadi realisasi mimpiku. Kembali kupanjatkan doa pada Rabbku ”Ya Allah, jika hubungan ini baik menurutMu dan untuk kami, dekatkan kami dalam kehalalan dan jika memang hubungan ini membuat kami bermaksiat kepadaMU, maka jauhkan kami sejauh-jauhnya”. Aku perlu waktu untuk mengevaluasi semua ini, termasuk apakah bisa memutihkan peristiwa ini. Aku nyaris tidak sanggup. Tapi yang lebih tidak kusanggupi adalah kehilangannya tanpa memperjuangkan. Ini ujian dan aku ingin lulus. Semua orang berhak salah, termasuk dia. Jika kami berhasil lalui ini, berarti hubungan ini akan lebih baik. Kupilih untuk tetap melanjutkan sambil mengurai benang kusut perbedaan dan ketidakpastian. Aku bahagia. Aku punya teman dan itu dirinya. Perlahan kuperbaiki diri. Perlahan kutinggalkan kebiasaan-kebiasaan nyelenehku. Bukan untuknya tapi bagiku agar aku layak disandingkan dengannya. Ikatan rasa itu menguat dan akupun mulai menyayangi. Aku sungguh menginginkannya tapi kujaga itu direlung hatiku agar kami tidak terjebak dalam kesalahan. Semampuku.

Ramadhan berlalu. Ada dua dunia yang mesti berjalan ke satu arah. Aku terpuruk karena masalah klasik. Ayah. Dia yang terdekat dihari-hariku saat ini. Aku membutuhkan kehadirannya. Aku ingin dikuatkan. Aku ingin dianggap (dan ternyata aku terlalu menuntut). Bukan dirinya yang datang tapi aku yang terjebak untuk menyambangi tempatnya. Kurasakan kekecewaan. Prinsipku tentang filosofi sperma dan ovum jadi terbantahkan. Pangeran, Upik Abu juga seorang perempuan. Bukan pangeran berkuda putih yang datang di gubug gadis kampung tapi upik abu yang datang di istana sambil tundukkan kepala. Di sana, Upik Abu sadar telah sendirian di tengah pembicaraan para bangsawan. Sesekali tentang kelakuan tidak normal ayahku. Tuhan, Upik ingin berlari pulang. Tapi harus Upik jalani sebagai tes mental. Langkahku tertahan. Pangeran tidak ada untuk memberi kekuatan. Ah, aku tidak mau menuntutnya. Akan kukembalikan dia pada singgasana nyamannya. Rasa sayangku tidak bisa melihatnya resah hanya karenaku. Aku ingin membicarakannya baik-baik. Kupinta untuk bertemu dan gubugku kupikir tempat yang paling tepat saat ini untuk bercerita panjang lebar. Dia datang. Tergesa. Di malam hari. Aku terharu, sedih tepatnya. Ah, pangeran. Dia harus menempuh jarak sejauh itu di tengah gulita hutan. Aku tersanjung tetapi miris. Aku takut terjadi apa-apa dengannya di lingkungan yang tidak biasa baginya. Tak ada pembahasan tentang kegundahannku yang telah terbahasa. Aku merasa diabaikan, lelah dengan semuanya dan dia tidak mengulurkan tangannya membantuku berdiri. Aku dianggapnya mendramatisir. Aku emosional dan kupinta untuk mengakhiri semuanya. Dia terluka dan aku merasakan sakit yang sangat. Aku meminta maaf dan menyesal, tapi dia bilang sudah tidak bisa lagi. Dia takut melukaiku lagi. Aku sering mengeluh dengan hubungan ini. Selepas pembicaraan itu, tangisku pecah. Rabb, aku masih menginginkannya. Begitu besarnyakah salahku atau ini jawaban dari doaku? Kami membahasnya lagi. Tetapi tetap sama. Dia tidak bisa menjemputku kembali. Padahal aku ingin kami berevaluasi. Meluruskan kesalahan dan melanjutkan perjuangan yang belum dimulai. Kululuhkan keangkuhanku, tetapi tetap tidak bisa. Aku terhempas. Upik Abu, sadarlah. Pangeran tidak menginginkanmu lagi. Kutanya lagi, kesalahanku prinsipil atau ini akumulasi pemikirannya? Dua-duanya dan tetap tidak bisa dikompromikan. Ketidakpastian dan kerikil yang kami abaikan berbicara jua. Hahh, sudahlah kalau begitu. Kukumpulkan kepingan hati. Live must go on. Kembali kukumpulkan angkuhku. Benteng itu kubangun. Selamat tinggal Pangeran. Sepenggal kisah kami biarkan jadi sejarah. Maaf, sulit bagiku untuk memberi kesempatan kedua kelak. Semoga dia mendapatkan puteri sepadan untuknya dunia akhirat. Cinta itu belum merealita. Sembilan tahun itu terjawab dalam tiga bulan. Syukran dan afwan jiddan. Allahu Akbar!!!
###

Aku terbangun. Cuma mimpi... Kisah Pangeran dan Upik Abu berakhir...

Pendar sinar lampu jadi samar oleh tetes air. Losari begitu sepi. Gulita laut gambarkan kekelaman. Aku masih menunggu kau datang. Segera merengkuhku agar salahku menguap. Kau tersenyum sambil berkata ”seterlukanya aku, lebih kupilih untuk terus bersamamu. Cintaku punya berjuta pintu maaf”. Tapi malam kian melarut dan tak ada jua hadirmu. Ponselku berdering ”aku tidak bisa lanjutkan ini”. Sejenak kurasakan jiwaku terbang. Ah, cintamu hanya sebatas itu.

Rappokalling Raya I
11 Oktober 2008