Saturday 29 November 2008

Serenade Airmata Untukmu (Mansur Semma)

Aku menangis untukmu
Bukan tak rela atas pergimu
Bukan paksa kehendak untuk adamu
Tapi belum terkuras sepenuhnya cintamu

Ada berjuta getaran dalam hatiku akan hadirmu yang tak begitu sering
Bangga dan haru berpijar-pijar ronai syarafku
Semangat, kesederhanaan, pengabdian, senyuman
Kontras dengan tongkat dan cahaya yang tak kompromi dengan matamu

Kanda...
Ceceran nilai belum juga kurangkai
Tinta ini belum juga menjadi puisi
Suaraku masih tertelan ombak
Karyaku masih sebatas inspirasi yang mengendap

Pikiran naifku, ranah ilmu ini masih membutuhkanmu
Masih butuh loncatan-loncatan fikiranmu
Tapi aku sadar, tempat indahmu telah tersedia
Kudoa semoga itu jannahNya

tak berwarna

jika airmata pun tak mampu redakan amarah

juga suara yang tak temukan muara

salahkah jika kuredam

hingga kakiku tak sanggup topang beban

aku hanya inginkan kebenaran

juga terlepas dari pasungan arogansi

aku hanya ingin rasakan tidur tenang

tanpa khawatirkan esok mentari menyinarkan warna temaran

aku hanya ingin di dekap

agar lukaku luruh

agar nodaku terbasuh

agar kupunya daya tuk dongakkan kepala

aku lelah..........

Keberartian

Rinduku berpendar-pendar

membumbung tak terpasung

tubuhku gemetar

aku tersujud linglung

muaraku diriMU Rabb...

kugenggam dhaifku

kutelikung noda dosaku

aku ingin kembali padaMu utuh

maluku harapkan jannahMu

metamorfosisku belun juga menyeluruh

dengan tubuh berlumuran penyesalan

terseok kutelusuri jalan

hiperbola jika kuyakin fitrah

hanya dengan sisa cinta yang kupunya

untukMu, tiada terjamah

aku berprasangka engkau akan Ridha...

Friday 21 November 2008

Dia Telah Pergi


AKU dan AYYU`
(memoar tentang sahabat yang tiba-tiba pergi)

Lagumu mengalun, iringiku menulis tentangmu, tentang kita, tentang hari-hari yang terhenti sejenak melepas kepergianmu dari dunia yang fana ini untuk selamanya… Maaf dan terima kasih untuk semuanya, ayyuku.

#####

Kukumpulkan kekuatan untuk mampu tuturkan kisah yang masih sempat terekam di memoriku yang payah. Dua pekan sejak kepergianmu belum juga kumampu tegak berdiri. Tapi aku harus lakukan itu sebab kau percaya padaku. Aku gadismu, sahabatmu, mampu kuat hadapi apapun. “Jangan sampai kekagumanku padamu memudar” ucapmu suatu ketika. Dan aku tidak ingin merusak apapun yang telah menjadi sejarah kita.

Menganggapmu penting, apalagi menjadikanmu seseorang yang dekat di hari-hariku tidak pernah sedikitpun terlintas di benakku. Sebagai orang yang “males” dengan cowok, kucoba untuk beri batasan jelas pada interaksiku pada mereka termasuk dirimu dalam konteks personal. Meskipun memang kita sering dipertemukan dalam aktifitas organisasi kemahasiswaan, entah sebagai peserta atau menjadi panitia. Diskusi-diskusi kita pun akhirnya berlangsung. Problematika bangsa, kondisi lembaga dan pergerakan kemahasiswaan, realita mahasiswa dikekinian, mars vs venus, cinta, persahabatan, sering menjadi topik pembicaraan hingga perdebatan. Kita bergantian bercerita bahkan kadang berebutan ingin didengarkan. Darimu kepelajari psikologis kaum adam serta karakter dan kebejatan mereka. Padamu tak sungkan kutanyakan hal-hal yang pada orang lain enggan kulakukan sebab dianggap tabu. Lab biodas, depan lab. herba, PB, kebun canopy, menjadi tempat tongkrongan berjam-jam. Pun, intensnya diskusi kita belum jua menjadikanmu penting. Sekedar teman angkatan yang seru dan nyambung di ajak diskusi. Just it.

Selentingan kudengar kabarmu memacari noni sementara ada teman angkatan kita yang lagi dekat denganmu. Yah, meski kutau sepak terjangmu dari dulu hingga sekarang yang kadang kau selipkan dalam cerita tentang petualangan cintamu, aku penasaran juga. Apa landasan berfikirmu. Bukankah di balik kebejatan (yang kau akui sendiri) kau tau hukum, kau lumayan religius dengan shalat yang terjaga. Aku menginterogasi, kau menuturkan semuanya. Aku paham, tapi tetap mengingatkan. Termasuk saat kau jelaskan mengapa memilih praktikan yang noni itu dibanding teman kita. “Aku tidak pantas untuknya” ujarmu nyengir. Aku sepakat…

Kau ingin ikut denganku ke kampung halamanku. Aku kaget tapi di sisi lain terharu. Selama ini jarang orang yang berminat mendatangi tempatku dibesarkan. Jauh dan butuh biaya yang lumayan bagi kantong mahasiswa menjadi alasan logis. Apalagi desaku tidak memiliki daya tarik bahkan tidak tercantum di peta (gurauku). Kau satu-satunya teman yang menawarkan diri untuk ke sana. Saat itu aku bingung. Tidak mungkn hanya kita berdua yang pergi. Apa kata dunia. Meski kita hanya teman, orang-orang akan geger kalau tau mantan bunga desanya membawa pulang seorang lelaki. Akhirnya kita berangkat setelah mengajak dua orang teman kita. Mudah-mudah orang-orang tidak geger saat aku membawa tiga orang lelaki.

Kenapa kau hanya jadikanka alternatif?” kalimat spontan yang kau ucapkan buatku tidak enak. Begitu personal dan dalam. Ternyata selama ini kau merasa aku tidak memberimu tempat yang layak. Sebagai teman diskusi, yang menawarkan diri, menemaniku kerjakan tugas dan laporan, menamaiku x-girl, mengajakku makan ke tempat2 baru, hanya kujadikan alternatif. Jujur, memang iya dan kusadari aku agak kurang ajar. Kau hanya ingin diperlakukan selayaknya. Sejak itu, aku bersedia menjadi sahabatmu meski tak pernah kulafazkan. Aku tidak mau membuatmu GR. Kita semakin akrab dan kusadari kau memang baik, terlepas dari sikap kontraku terhadap petualangan cintamu. Kau tau aku tidak suka caramu memperlakukan kaumku. Kau tau aku trauma cinta dan benci sikap arogansi lelaki. Terlepas dari itu, aku merasa aman dan nyaman denganmu. Aku istimewa dan tidak bodoh, makanya kau menghargai dan menjagaku. Tersirat kau yakinkan aku.

Diskusi kita berlanjut, begitu juga dengan persahabatan kita. Kau yang cenderung introvert mempercayaiku tahu hidupmu. Saling curhat hingga ke persoalan masa lalu dan keluarga juga tentang impian tapi tetap saling menghargai privacy masing-masing. Bergantian mengeluh, bergantian mengingatkan. Nyaris tak ada rahasia, kau percayaku penuh makanya aku juga meski tidak utuh. Kadang mengagetkanku dengan permintaan tiba-tiba ingin ditemani nongkrong di kanal, minta di temani makan, pinjam uang, ke losari, ke rumah kakak-kakakmu, mengenalkanku pada teman wajomu. Kesamaan kita adalah suka berorganisasi dan mementingkan persahabatan dibanding cinta. Aku memanggilmu Ayyu, panggilan keluargamu. Kau memanggilku Maryah (hanya kau yang memanggilku begitu), sering `gendut` atau `bonding` yang buatku manyun dan ngomel. Menyuruhku diet, sit up. Mengenalkanku pada kedua orang tuamu yang hebat dan merasa dekat dengan mereka meski hanya lewat ceritamu. Menjadi kamus hidup saat aku butuh literatur tentang lelaki yang mendekatiku. “Kau hanya boleh menikah dengan orang yang lebih baik dariku” ujarmu serius saat aku curhat. Begitu membela kepentinganku. “Lebih baik mundurka` jadi koster SPL kalo isma tidak masuk jadi steering” berapi-api kau protes pengurus himpunan saat mereka mencekal keberadaanku di kepanitiaan SPL.

Kepengurusan BEM menempatkan kita berdua mewakili Himbio di bidang pengkaderan. Kaupun jadi ketua progresip, aku di SC. Kerja keras dan dedikasi terlihat, tapi siri` dan komitmenmu kukagumi (tentu dalam hati). Saat kau mundur dari kepengurusan karena kecewa atas pelanggaran komitmen, banyak yang menyayangkan. Tapi sebagai orang yang mengenalmu, aku tau kau pasti punya alasan kuat. Tidak kuganggu gugat keputusanmu meski sedikit mengacukan formasi di bidang kita yang awalnya solid. Kutunggu waktu agar kau bisa bercerita. Kau ungkap semuanya dan aku salut. Tidak banyak orang yang mampu lakukan itu. Nada miring tentangmu masih terdengar tapi kau melakukan hal yang benar menurutku. Karena itulah kau yang kukenal dan kuyakin kau akan kembali lagi. Dugaanku benar, Maperwa terisi olehmu.

Kau dan aku KKTS di tempat yang sama. Kedekatan kita menuai gosip juga ketidaknyamanan orang yang menyukaimu juga orang yang mendekatiku. Apalagi saat itu kau jomblo. Kita pernah membahasnya dan hanya terbahak. We are just bestfren, dan ini tulus . “Aku tidak berminat”, celaku. “Langsingko dulu” balasmu. “Mending gendut selamanya deh,” jawabku judes. Saling tau isi dompet, isi sms, isi hati tapi saling menjaga. Kadang jalan backstreet untuk menjaga perasaan mereka. Aku sering mengomeli kesewenang-wenanganmu pada wanita yang mendekatimu dan kau lagi-lagi hanya nyengir dan berjanji mau berusaha untuk berubah. Sering kau ungkapkan keinginan itu dan berniat insaf. Merindukan kedamaian di mesjid, dalam tadarrus. “Tapi belumpa bisa maryah, baru shalatku yang bisa kujaga”.

Kau sering mencariku begitupula aku. Tapi kau sering mencariku karena mau merepotkanku. Minta ditraktirlah, menggantikan ngawas praktikumlah, ditemani kemanalah. Menungguimu main futsal, bersih-bersih, nyuci di bangker, main pingpong. Mengantarku ambil mangga di Salam, menjenguk tanteku, menjaga ale semalaman di Wahidin, menemaniku angkat piring saat aqiqahannya Keyscha, memperlihatkan sekeliling UNHAS di malam hari. Kau juga sabar menghadapiku saat ngambek tidak di ajak ke acara diksar Canopy. Juga saat marahku meledak ketika kasus Stulab KMKM. Juga saat kujauhimu ketika orang yang menyukaimu meminta itu padaku. Kasus terakhir kutau buatmu agak terluka. Aku mencari alasan untuk tidak berinteraksi meski aku juga tersiksa. Kita jadi canggung saat bertemu. Aku sedih tapi juga geli. Kita jadi aneh. Tapi Kita tak sanggup berlama-lama untuk menjauh. Semuanya melebur dan kita kembali dekat.

Kau mengenalkanku pada ade` lolipopmu. Kau menyuruhku untuk menjaganya. Aku tau ada yang tidak senang akan kedekatanmu dengannya. Akupun sebenarnya tidak setuju jika nantinya dia yang kau pilih. Tapi aku menghargaimu. Lagipula kalian hanya dekat sebagai adik kakak. Aku berinteraksi dengannya. Dia baik tapi manja. Mungkin laki-laki memang suka cewek manja. Dia bertanya kenapa kau tidak memacaraiku. “Ih, gak akan!!!” ujarku sambil menggidikkan bahu. Kau tertawa. “Dia saudaraku”ucapmu padanya.

Lalu perang dunia ketiga itupun pecah. Pacaran dengan ade-ademu lalu kau bermasalah dengan salah seorang teman kita dan aku yang harus ada di antara kalian. Jika bukan kau yang berinisiatif untuk menyelesaikan semuanya dan berniat baik menyelamatkannya, aku salah seorang yang akan membencimu seumur hidup. Atas nama perempuan dan hukum, perbuatanmu kurang ajar. Tapi aku mencoba memahamimu. Aku menghargai kebesaran hatimu untuk membicarakannya padaku dan ingin mencari solusinya. Kau mengakui salah dan tidak ingin terjebak lagi. Masa depan seseorang terancam dan kau minta bantuanku. Kau memintaku untuk menjaganya sampai dia sarjana. Aku bersedia sebab aku mengenal kalian berdua sama dekatnya. Aku pusing tapi aku harus realistis dan rasional. Buahnya adalah kau dimusuhi bahkan dibenci hampir seluruh teman angkatan. Aku kasihan, tapi aku juga tidak bisa membelamu seutuhnya. Kau juga salah meski bukan sepenuhnya tanggungjawabmu. Kau melewati masa yang sulit. Aku ada bukan untuk membersihkan namamu tapi untuk menguatkan jika aku tidak akan membencimu. “tidak masalahji na bencika ana-ana maryah, tapi saya tidak akan tinggalkan mereka karena mereka saudaraku , orang-orang yang paling dekat denganku setelah keluargaku” ujarmu tabah setelah dijuteki teman-teman. Aku tau kau sakit dan terluka tapi kau pendam. Tapi kau tidak bisa menyembunyikannya dariku sebesar apapun kau berusaha lakukan itu. Pil pahit itu harus kau telan karena berasal dari teman angkatanmu yang kau anggap saudaramu.

Hari-hari beratmu kau lalui, termasuk saat kau memulai penelitian untuk TAmu. Waktu sedikit meluluhkan hati mereka meski tidak bisa seperti dulu. Aku pun memulai penelitianku. Aku tidak meminta bantuanmu sebab aku berfikir kau tidak mungkin meninggalkan penelitianmu hanya untukku. Selain itu Mubes BEM yang mengharuskan kehadiran anggota Maperwa juga akan berlangsung. Tapi kau bersedia membantuku meski bukan aku yang meminta untuk itu. Seminggu di pulau Batanglampe Sinjai torehkan cerita asam manis perjalanan. Kau bercerita di sana kau bermimpi di bawa ke kuburan hingga membangunkanmu tahajjud. Itu membuatmu lebih diam. Kau merasa dekat dengan kematian tapi belum cukup bekal. Mau tobat dan tidak pacaran. Mengakui kesalahan terhadap perempuan. Aku hanya bisa mensupport. “Beruntungko itu di ingatkan”.

Saat ulang tahunku, kau menulis…
“Karena Hidup Begitu Indah
Maka Tersenyumlah
Cha_Yunk_moe
Dirimu Dalam Realitasmu

Namanu adalah Isma
Tapi aku memanggilnya “Maryah”
Mungkin itu nama terindah untukmu
Tapi itu hanya milikku
Kamu cewek terunik
Body gendut, tapi sedikit narsis
Walaupun muka imoet, tapi sedikit narsis
Mikir deh…?
Kamu cerdas, tapi agak naïf
Itu wajar, karena
Tak selamanya kita bias ada apa adanya
Mungkin kita butuh lipstick dalam hidup ini
Itu masih dalam batas yang wajar
Walaupun, mungkin sedikit kurang ajar
Kita masih perlu belajar
Untuk menemukan realitas yang sebenarnya
Hidup hanyalah bagian dari perjalanan
Hidup hanyalah proses
Makna adalah realitas
Dalam menggapai cinta Sang Pencinta
Karena Hidup Begitu Indah
Maka Tersenyumlah”
Saat ulang tahunmu yang juga di bulan yang sama aku memberimu tasbih. Aku ingin kau lebih bersemangat dalam pencapaian religiusitasmu.

Kau menitipkan nomor hpmu tapi saat ke Jakarta aku menghilangkannya di sana. Aku tau kau sangat menjaga nomor itu. Aku benar-benar merasa tidak enak. Aku meminta maaf dan kau hanya tersenyum kecut. Tidak marah. Kitapun bercerita banyak di depan Kasubag kemahasiswaan. Tentang skripsi yang belum kelar, ketakutanmu tidak bisa bahagiakan orang tuamu yang sangat kau hormati, impian melanjutkan S2, masa depan, memintaku menunggumu bulan 3 agar kita barengan di wisuda. Kau memintaku membuatkanmu kue. Kau datang ke rumah bareng zil. Menyuguhimu indomie telur dan puding itu pun kau bawa ke kampus. “untuk ana-ana di ksgf ”ujarmu. Setelah itu kita jarang bertemu. Aku jarang ngampus dan kau tak Berhp. Kudengar kau sering mencariku. “Mana gendut?” tanyamu pada teman-teman. Akupun begitu. Sering menanyakan kabarmu melalui Sapa`. Pernah kau menelponku. Entah pulsa siapa yang kua jarah. Kau bilang lagi kesepian. Aku tidak bisa menemanimu sebab aku tidak tinggal di pondokan lagi. Aku lagi terlibat masalah psikologis. Biasa. Pace. Aku membutuhkan tempat curhat. Ketika aku ngampus, kau tidak ada. Sekali waktu kita bertemu. Kau kelihatan kurus. “Kenapako kurus sekali. Nda naurusko pacarmu. Waktu sama sayako tidak begini keadaanmu”ujarku bercanda. Kau tersenyum dan hanya diam.
Ayyu…”
“Kenapako, mauko lagi curhat?” aku memang mau curhat.
Temanika ke Jasmip”
“Nda bisaka. Buru-buruka. Mauka ke tempatnya kakakku
Kau menolakku dan aku ngambek. Baru bertemu kok sikapmu dingin begitu. Aku meninggalkanmu. Saat bertemu di jurusan, aku sama sekali tidak mau melihatmu. Kau pun berlalu. Beberapa hari kemudian, kau menelponku. Minta tolong ditemani ke balai. Aku menolak karena tidak enak badan. Apalagi saat itu aku lagi di rumah, jauh. Selain itu, aku masih ngambek di acuhkan waktu itu. (Ternyata itu dialog terakhir kita…)

Kedengar kau selalu mencariku. Tapi aku tau kau sibuk mngurusi penelitianmu yang super ribet. Ahad subuh, 9 November 2008, kalung yang kau berikan padaku oleh-oleh dari Kalimantan terputus saat aku terbangun. Aku heran tapi tidak mengaitkannya dengan apapun. Setengah tiga siang, Uphy nelpon dan kabarkan kau tenggelam. Tenggelam? Di mana? Kok bisa? Ada-ada saja. Aku tersenyum geli, bingung, khawatir. Ckckck, ke Lae-lae tidak bilang-bilang apalagi ngajak. Tergesa aku ke Stella Maris dan mempersiapkan diri menjagamu opname semalaman. Besoknya aku bisa balik untuk membawa persiapan. Kali ini, aku lihat kondisi dulu. Di perjalanan, aku memastikan di ruang mana kau di rawat. Tapi sms dan teleponku tidak di jawab. Sibuk mungkin, pikirku. Sesampai di rumah sakit, aku celingukan. Rumah sakit noni lagi. Kutanya satpam dan dia bilang kau meninggal. Ada-ada saja. Aku tertawa dan kusegerakan langkah ke UGD sebab menurutnya kau ada di sana. Sambil berlari kutanya seseorang di mana UGD. Orang itu bilang “o, temannya yang tenggelam itu ya?! Ada di ruang jenazah.”. Aku bergegas berlari ke arah yang dia tunjukkan. Di sana kulihat kafan putih yang membungkus tubuh kaku seseorang. Kulihat Indah, Ujo, Ka Akmal di sekelilingnya. Nur Abu menjemputku. Aku menghampiri dan membuka penutup kepalanya. Kulihat wajah pucat yang mirip denganmu. “Ka Cayung K`…” kata Indah sambil berurai air mata. “We, bangunko. Apa ko ambil di situ?” aku mengajakmu bicara tapi kau diam. Kutiup matamu tapi tidak ada reaksi. Orang-orang pun berdatangan termasuk teman-teman kita. Mereka menangisimu yang sedang tersenyum sebab kau berhasil tunaikan amanah Canopymu, organisasi PA yang kau banggakan. Aku iri. Wartawan datang, polisi, senior, dosen, dekan. Kau jadi terkenal. Adik kita Dedi juga sepertimu. Lihatlah, orang-orang itu begitu ramai. Apakah sama sekali kau tidak ingin terbangun saksikan segalanya. Kau tetap diam. Aku ingin sekali menarik kain putih yang menutupi tubuhmu. Mengajakmu pergi dari sini agar kita punya tempat yang lebih nyaman untuk bahas berbagai hal. Setelah berjam-jam melewati prosedur yang padat, kau di berangkatkan ke Paria. Ada aku dan dan orang-orang terdekatmu bersamaku. Dini hari kita sampai di kampungmu. Aku miris, bukan seperti ini moment yang kuinginkan untuk menginjakkan kaki di sini. Aku agak menyesali kenapa dulu aku tidak menuruti ajakanmu ke tempat ini. Kenapa dulu aku tidak mengenal kedua orang tuamu yang begitu hebat. Kenapa dulu aku mengedepankan menjaga perasaan teman kita daripada melewatkan kisah yang ternyata hanya sebentar denganmu. Seharusnya aku lebih dulu menyaksikan semuanya termasuk keluargamu yang hanya kuakrabi lewat ceritamu. Seharusnya…

Aku tidak bisa tidur. Selepas shalat subuh, aku menunggui tubuh kakumu. Aku bosan dengan diammu. Aku ingin mendengar celotehmu, narsis ketampananmu yang tidak akan pernah kuakui. Tapi tidurmu tenang sekali bahkan tak terganggu oleh kehadiran kami yang ada di sekitarmu. Kau mengabaikan besar keinginan untuk melihat senyummu. Ayah ibumu luar biasa. Saat kupandangi mereka, aku baru tersadar jika aku memang benar-benar ada di Paria. Kampungmu. Setiap orang yang datang selalu membuka penutup mukamu dan kau masih juga diam. Ternyata kau benar-benar telah pergi kawan. Pun saat kau di bawa ke kuburan, aku merasa langkah kakiku tak berpijak di bumi. Lalu jenazahmu diturunkan ke liang lahat dan gundukan tanah merah yang masih basah sebagai bukti ada kau disana. Aku duduk bersimpuh. Air mataku kini enggan kompromi. Pandanganku mengabur. Aku menangisi diriku yang kehilangan, aku menertawai diriku yang kesepian. Aku takut didera kerinduan. Aku cemas apakah di sana kau baik-baik saja. Kau tidak sendirian bukan?!. Sahabatku yang baik. Ayyuku. Ana`dara canti`e. Elle` uttie. Lambi-lambis Bio03. Yang beriku banyak pelajaran hidup. Yang menawarkan diri menjadi sahabatku. Yang berbuat banyak hal tanpa kuminta. Yang membuatku merasa penting dan istimewa. Yang menyayangiku. Aku relakan kepergianmu. Aku yakin kau akan baik-baik saja. Semoga kelak kita bisa dipertemukan. Ada cerita yang belum selesai. Aku ingin memukul bahumu sebab kau buatku menangis seperti ini dan berhasil membuat dadaku sesak dan nyeri karenamu.
Dia akan selalu ada temanika” Sapa` bilang.
“Allah lebih sayang dia” Upi dan Jani bilang
Persahabatan kita akan tetap terukir indah“ aku gumamkan sambil mengusap air mata.

November 2008

.(ayyu, kisah ini tidak detail.
Biarkan sisanya hanya aku, kau, dan Tuhan yang tau…)


Saturday 8 November 2008

i don`t know

satu kata yang menggambarkan rasaku, hampa... tiada kesedihan juga air mata. ditinggalkan bagiku tidak masalah. kehilangan mammiku delapan tahun yang sil;am cukup beriku imun yang kuat untuk kalimat "tak memiliki lagi". impiannya di sana dan dia berhal meraihnya bahkan tanpa andilku sekalipun. meski ingin ada pertemuan terakhir sebelum kau pergi sebhab bisa saja kita tidak akan bertemu selamanya. ah, tak perlu sentimentil itu. cengengku, bukan untuk meratapimu yang bukan siapa-siapa dan tak ingin menjadi siapa-siapa. doa yang kau pinta, baik dan banya, kupersipakan tapi tanpa kata, kertas, dan tinta. i`m sorry coz i love you but i hate you.