Wednesday 29 May 2013

Komunitas Ideal Versi Isma

 Tulisan ini saya ikut sertakan dalam tantangan 8 minggu ngeblog yang diadakan oleh Angingmammiri, pekan kedelapan.

Saya dibesarkan di lingkungan yang tingkat interaksinya tinggi. Sebuah desa kecil di selatan Kota Sinjai. Sebagaimana masyarakat desa di Indonesia pada umumnya, tetangga-tetangga saya sangat ramah, begitu peduli, dan senantiasa berbagi. Informasi cepat menyebar, budaya tolong menolong masih terjaga, saling mengenal dengan semua warga. Tetangga saya bahkan tahu ketika berat badan saya naik atau turun.

Saya terkondisikan untuk senang berada dalam kelompok. Saya suka terlibat dalam kegiatan bersama. Apalagi, orang-orang di sekitar saya juga senang mengikutkan saya dalam kegiatan-kegiatan kelompok. Ikutlah saya  Pramuka sejak kelas 3 SD. Saat SMP kelas 1, saya diamanahkan untuk menjadi ketua OSIS. Selepas menjabat, saya otomatis diangkat menjadi ketua geng anak cewek. Ketika SMA, saya terlibat di KIR (Kelompok Ilmiah Remaja) SMA 1 Sinjai yang konsen pada dunia penulisan dan budaya local. Saya juga aktif di organisasi PII, organisasi pelajar tertua di Indonesia yang bergelut di dunia pendidikan dalam lingkup keIndonesiaan dengan bingkai KeIslaman. Masa kuliah, saya menjadi pengurus BEM, ikut di IKMS, dan menjadi simpatisan di KMKM. IKMS (Ikatan Keluarga Mahasiswa Sinjai) merupakan organisasi daerah saya bagi mahasiswa yang kuliah di Universitas Hasanuddin. KMKM (Keluarga Mahasiswa Kebumian Makassar) merupakan organisasi yang mengimpun beberapa jurusan keilmuan yang peduli terhadap bumi diantaranya Jurusan Biologi UH (jurusan saya), Jurusan Geologi UH, Jurusan Ilmu Tanah UH, Jurusan Arkeologi UH, Jurusan Geografi UNM, Jurusan Pertambangan UVRI.

Foto: 1. lembaga kampus (Ospek di Maros), 2. IKMS (Mubes di Malino), 3. PII (Advantra di Karawang),4. KMKM (Stulab di Barru)
Saya mencari perbedaan antara kelompok dengan organisasi. Kelompok merupakan sekumpulan orang yang saling berinteraksi.  Organisasi yang saya pahami adalah sekelompok orang yang memiliki tujuan bersama dengan aturan-aturan tertulis (AD/ART) dan memiliki landasan atau dasar tertentu. Selain kelompok dan organisasi, ada satu lagi interaksi sosial yang lagi booming yaitu komunitas.

Saya mengenal kata komunitas di mata pelajaran Biologi, jurusan yang saya lulusi saat SPMB. Komunitas versi ilmu Biologi adalah kumpulan populasi yang hidup pada daerah tertentu. Dalam konteks kemasyarakatan, makna komunitas tentu berbeda. Komunitas tidak lagi terikat dalam ruang yang sama, mengingat kemajuan teknologi informasi dikekinian. Komunitas bisa terbentuk lintas negara sekalipun. Hal mendasar dari bergabungnya beberapa orang membentuk komunitas didasarkan pada satu kesamaan, entah kesamaan minat atau kesenangan, budaya, agama, fasilitas, visi misi, dan sebagainya.

Komunitas dalam masyarakat begitu beragam. Saya sempat akrab dengan sebuah komunitas musik berisi anak-anak keren dan seru bernama Caritas, sebuah komunitas di bawah langit Fakultas Sastra UH. Saat mengikuti perayaan Earth Hour 2013 di Benteng Rotterdam Makassar, saya baru pertama kali melihat begitu banyak komunitas yang terlibat dengan membawa identitas masing-masing. Komunitas yang menonjol yaitu komunitas fans Lady Gaga dengan kostum yang ajaib dan fans JKT 48 dengan teriakan yang tidak ada capek-capeknya. Komunitas-komunitas ini hanya sebagian kecil dari interaksi sosial masyarakat.

Sebuah komunitas semestinya mengusung nilai positif bagi anggota maupun lingkungan sekitarnya. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang paling memberikan manfaat?! Ilfeelnya masyarakat terhadap komunitas tertentu pasti bersumber dari ketidakpositifan laku dan keberadaan komunitas tersebut. Menurut saya, sebuah komunitas bisa ideal (meski tak mungkin sempurna) jika:
1. Menjadi rumah yang nyaman bagi anggota
2. Memiliki ciri khas
3. Menjadi inspirasi
3. Mewadahi warna warni perbedaan
4. Mampu membuat anggota mencintai komunitas tersebut
5. Mengakomodir kondisi anggota dan komunitas, baik senang-senang maupun susah-susah
7. Menjadi kontributor dalam perbaikan diri sendiri dan masyarakat
8. Visi misi yang selalu bermuara pada manfaat.

Kedelapan hal yang harus dimiliki sebuah komunitas agar menjadi ideal versi saya yang diambil dari kedelapan tema tantangan ngeblog angingmammiri ini. Komunitas tentu tidak sesimpel kelompok tapi tidak juga serumit atau sekaku organisasi. Tapi setidaknya, sebuah komunitas jangan menjadi benalu dalam masyarakat tapi menjadi pionir ide-ide kreatif dalam kebaikan bersama.

Monday 27 May 2013

Hadiah oh Hadiah...

Tantangan 8 pekan ngeblog Angingmammiri memasuki tema terakhir, "Komunitas Ideal". Saya belum mau menulis tentang tema itu. Saya mau menulis tentang hadiah. 

Yah, tidak bisa dinafikan bahwa para peserta mengincar hadiah, termasuk saya. Hehe. Meski awalnya, saya mengikuti tantangan ini karena mau mengasah kembali pena yang sudah berkarat, otak yang kadang mandeg, hati yang sedang gundah gulana. Saya menantang diri saya sendiri, apakah mampu dan mau menulis sesuai tema yang disajikan selama 8 pekan, sabar dan taat. Alhamdulillah, saya bisa bertahan dengan tulisan (atau curhatan) yang sebiji dua biji. Hehe. Saya akhirnya tidak mempermalukan almamater Kelompok Ilmiah Remaja (KIR), tempat saya pertama kali belajar menulis secara serius. Saya bisa bangga menjadi murid Pak Muhannis, seorang guru Bahasa Jerman tapi konsen terhadap kebudayaan lokal (Sinjai), seorang penulis, dan kepala sekolah sebuah SMA negeri di kota kecilku.

Kembali ke hadiah.... :D
Hadiah dari angingmammiri untuk pemenang tantangn 8 minggu ngeblog banyak banget, sampai 17 jenis. Beberapa jenis hadiah bahkan terdiri atas 3 buah hadiah. Wow. Saya ngincar hadiah traveling, buku, dan voucher nonton. Tidak dapat pun sebenarnya tidak apa-apa. Seru saja rasanya memiliki impian.

Berkaitan dengan hadiah, kemarin saat mengikuti outbond bersama rekan-rekan kerja, kelompok saya (namanya teratai), membawa pulang dua hadiah. Kami berhasil meraih juara 2 di lomba menaklukkkan pipa dan lomba kreativitas saat malam ramah tamah. Senaaaang sekali rasanya. Meski hadiahnya hanya berupa sabun mandi, pasta gigi, dan sikat gigi, kami begitu bangga. Letih yang dirasakan setelah mengikuti permainan yang diadakan panitia menguap seketika. 

Mendapatkan hadiah, baik karena menang perlombaan maupun karena adanya moment spesial memang selalu menyenangkan. Serasa jiwa diberi suplemen penambah energi. Di dunia "pembloggeran", saya baru tahu ternyata ada event bagi-bagi hadiah juga. Tentu dengan syarat dan aturan tertentu. Namanya giveaway. Meski belum pernah mengikuti, saya sempat menjelajahi beberapa event giveaway. Seru. Menulis, memperluas silaturahmi, mendapat hadiah,....aduh senangnya.

Beberapa moment mendapatkan hadiah yang masih terekam diotak karena berkesan diantaranya:
1. Penabung terbaik
Kala itu, saya kelas 3 SD. Ada program siswa menyisihkan sebagian uang jajan untuk ditabung pada wali kelas. Saya menang karena saya satu-satunya siswa yang mengikuti program tersebut. Entah karena teman-teman saya tidak punya uang jajan berlebih karena sebagian besar orang tuanya petani atau mereka merasa program tersebut tidak wajib jadi tidak perlu mengikutinya. Jujur, saya ikut karena tidak tega dengan wali kelas saya. Beliau pasti kecewa jika tidak ada yang ikut karena rogram tersebut ide beliau.
2. Juara 1 Lomba Gerak Jalan se- Kecamatan Sinjai Selatan
Eits, meski hanya tingkat kecamatan, bangganya luar biasa. SMP saya dari desa kecil yang baru pertama kali ikut lomba tersebut. Ala-ala Laskar Pelangi. Hehe. Pemenang selalu dipertahankan SMP 1 yang notebene berada di ibukota kecamatan. Apalagi saat itu, yang jadi pemimpinnya perempuan, saya, dipandang sebelah mata. Hadiahnya jam dinding yang akhirnya dipajang di ruang guru. Tidak sia-sia saya gembleng teman-teman menggunakan ilmu "ibu tiri".
3. Juara 1 Lomba Vokal Grup
Saat itu, kelas 3 SMP. Kami menang berdiri. Artinya, kami menang otomatis karena tidak ada kelompok yang berani melawan kami. Katanya percuma. Kami pasti menang. Mereka memang sering melihat kami latihan. Lawannya juga ibu-ibu PKK. Eh, saya ikut dalam kelompok vokal bukan karena suara saya bagus. Jelek banget malah. Tapi teman-teman saya tidak mau berlomba jika tanpa saya. Saya kebagian bantu-bantu koreografi dan sekedar bantu membesarkan suara kelompok.
4. Juara 2 Lomba Menulis Legenda
Saat SMA, saya bergabung dalam KIR (seperti yang saya tulis di paragraf...). Komunitas kami rajin mengikuti lomba penulisan karya remaja. Beberapa kali ikut lomba, saya akhirnya memenangkan lomba penulisan legenda. Saya menulis tentang asal usul nama desa Pattalassang. Cerita para pemenang dibukukan dan mendapat hadiah uang tunai. Uangnya saya belikan baju gamis yang masih ada sampai sekarang.
5. Komentar terbaik
Saya mendapatkan baju kaos yang masih ada juga sampai sekarang, masih saya gunakan kemana-mana. Sudah 11 tahun. Saya menjadi salah satu dari 5 pemenang se-nusantara versi majalah Annida. Annida merupakan majalah remaja muslimah. Saat itu, pembaca diminta untuk memilih pemenang favorit Remaja Berprestasi Annida versi pembaca. Peserta yang saya pilih dan saya komentari berhasil juara. Saya ikut kena cipratan rezekinya.
6. Puisi Minggu Ini
Radio akrab dalam hidup saya karena radio yang menjawab sebagian kehausan saya terhadap informasi. Dusun saya cukup terpencil, tanpa aspal dan listrik kala itu. Radio menggunakan baterai yang bisa dijemur di bawah terik matahari kala soak. Melalui radio jugalah, satu puisi saya diapresiasi. EBS UNHAS memiliki program semacam biskal (bisikan kalbu) yang membacakan curhatan para pendengar. Saya mengirimkan puisi galau yang berbuah satu gelas asimetris cantik.
7. Hadiah Milad ke 27
Sekotak cupcake cantik yang dipesan dengan rasa cinta. Hadiah milad yang diberikan saat makan bersama dalam rangka moment itu juga. Saya kurang suka menspesialkan milad saya bersama orang lain. Paling saya hanya membuat puisi untuk diri sendiri. Saya jarang menerima dan mengharapkan hadiah. Masa kecil dan remaja saya lelah dengan penantian perayaan milad yang tak pernah terjadi membuat saya memutuskan untuk tidak berharap lagi. Tapi kakak dan adik-adik saya berhasil membuat saya bahagia dan terharu. Pertama kalinya saya tidak "menyesalkan" kematian mammi yang begitu cepat. Saya punya mereka.
8. Guru Loyal
Malu sebenarnya. Belum banyak yang saya lakukan untuk yayasan tempat saya bekerja memenuhi kebutuhan dunia dan akhirat. Saya sering melanggar aturan disiplin waktu. Saya juga sering kompalin sana sini. Hadiah tersebut cemeti untuk saya berbuat lebih baik di dunia pendidikan, warning bagi saya agar selalu belajar lebih baik.

Hadiah selalu menyenangkan. Hadiah tentu diberikan dengan alasan tertentu yang memang pantas dimiliki oleh si penerima. Dikekinian, hadiah disalahgunakan sebagai pemulus kepentingan. Semakin besar hadiah, semakin mudah mendapatkan keinginan. Hadiah menjadi kambing hitam dari sogokan, upeti, korupsi. Untungnya, saya di lokasi kerja terjaga dengan itu. 

Dengan kepantasan dan kelayakan yang memiliki dasar/ alasan, tetaplah berbagi hadiah kepada orang lain terutama kepada anak. Seperti halnya hukuman terhadap kesalahan, hadiah terhadap prestasi sangat diperlukan untuk membangun karakter. Jangan sampai anak-anak mengalami kekecewaan yang mendalam seperti yang pernah saya alami.

 Jiwa kanak saya yang belum bisa mengolah pemikiran begitu mengharapkanrrdx apresiasi dari keluarga (orang tua) atas pencapaian-pencapaian saya. Juara umum 6 tahun berturut-turut bukankah prestasi akademik yang lumayan?!  Ditambah dengan prestasi non akademik lainnya. Jangankan hadiah, pelukan atau ucapan selamat saja tidak pernah. Entah karena kultur keluarga yang tidak familiar dengan hadiah atau sudah terbiasa dengan anak-anak berprestasi membuat saya tidak mendapat hadiah. Akademik saya pun jadi labil. Saya saat itu berfikir, ngapain berprestasi toh tidak diapresiasi. Saya akhirnya cuek saja saat peringkat saya turun ke level 16. Saya tidak ambil pusing saat IPK saya 1,**. Saya kemudian menyesal saat mendengar jika ternyata ayah selalu bercerita dengan bangga atas pencapain-pencapaian anak-anak gadisnya ke nyaris semua kawannya. Ternyata itu bentuk hadiah beliau. Jujur, saya lebih butuh tahu fakta ini dibanding sebanyak apapun hadiah berupa barang.

Jangan sungkan berbagi hadiah, sekecil apapun itu. Niatkan sedekah agar bernilai pahala. InsyaAllah akan dikenang si penerima jika berkesan. Berilah hadiah, walaupun hanya sekedar senyum manis untuk orang yang ada di sekitar kita. :).

Thursday 23 May 2013

(Seandainya) Saya (Tidak) Ngeblog



 Tulisan ini saya ikutsertakan dalam tantangan 8 minggu ngeblog bersama Angingmammiri, pekan ketujuh.


Sejak 2008 lalu, saya memiliki akun blog di blogspot, salah satu domain gratis yang populer saat itu. Saya merasa perlu memberi rumah pada kesenangan saya menuliskan berbagai hal. Puisi narsis, cerita narsis, curhat narsis, atau apapun yang bentuknya tulisan kenarsisan saya. Saya belum cukup bekal untuk menuliskan hal lain, selain segala hal yang pernah saya alami. 

Saya sempat memiliki tempat penampungan tulisan, yang nebeng dengan media sosial saya. Kala itu di Friendster (Fs). Saya malah lebih aktif menulis dibandingkan bersosialisasi di pertemanan dunia maya. Saya juga pernah punya akun Multiply dan sosmed lainnya. Tapi karena saya kesulitan memberi ruang pada tulisan, maka sosmed tersebut saya abaikan. Saya pun beralih ke Facebook (Fb). Ada senior yang merekomendasikan.

 Sebenarnya khawatir meninggalkan Fs. Sayang saja dengan beberapa tulisan yang sudah terposting di sana. Lama kelamaan, saya malah menjadi aktivis Fb. Beberapa tulisan dari Fs saya pindahkan ke catatan yang disediakan akun Fb. Saya lalu membuat tulisan-tulisan baru, kadang sekedar copast postingan lagu atau tulisan orang lain. 

Ada yang membuat saya tidak nyaman menulis di akun sosial media. Background teman saya berbeda-beda tapi kadang belum bisa menerima perbedaan. Larangan, batasan, membuat saya merasa tidak bebas. Padahal saya menulis tetap dalam norma. Apalagi saya ngaji juga. Mungkin curhatan saya dengan bahasa "tinggi" yang kadang berhiperbola atau "menelanjangi" diri sendiri belum mereka pahami. Entah dianggap membuka aib atau melebih-lebihkan sesuatu. Saya memahami mereka maka saya membatasi postingan di catatan Fb.

Pada bloglah saya pulang. Tidak semua teman saya, bahkan jarang, yang punya blog, apalagi yang perempuan. Kalaupun ada, saya yakin mereka memahami jiwa "aneh" orang yang suka menulis. Saya yakin mereka bisa menerima ada orang dengan jilbab gede dengan basic ilmu sains tapi lebih doyan membeli novel, membeli buku kumpulan puisi atau cerpen, menonton pertunjukan seni, menonton pemutaran film indie, mengikuti diskusi tentang sastra, membuat buletin, atau sekedar menuliskan kisah embrio "cinta" yang gagal ke dalam blog tanpa sungkan. Saya yakin, teman baru saya, para blogger, juga akan sangat mengerti jiwa para penulis di blog. Kalau suka pada tulisannya akan dibaca, dikunjungi, dijadikan sahabat. Kalau tidak suka, silakan tinggalkan. Tentu dengan rambu penulisan yang disepakati bersama. Tidak menyinggung SARA, kekerasan, pornografi, judi online.  Jika bisa ada manfaatnya, minimal ada ibrah yang bisa dibawa pulang setelah berkunjung.

Seandainya saya tidak ngeblog, saya kesulitan untuk menemukan media tempat saya bisa jujur pada diri sendiri. Aslinya, saya bukan orang yang mudah berbagi. Di dunia nyata, saya tidak gampang percaya dengan orang lain, saya tidak mudah mengekspresikan perasaan. Di blog, saya mempersilakan siapa saja membaca saya, memberi nilai. Saya nyaman dengan itu.

Seandainya saya tidak ngeblog, maka pohon-pohon sebagai pemasok udara bersih (O2) yang manusia butuhkan untuk bernafas akan ditebang lebih banyak. Saya menjadi salah satu orang yang menyebabkan terbabatnya hutan, memanasnya suhu bumi, bocornya lapisan ozon. Saya butuh lebih banyak kertas dalam diary untuk menuliskan kegalauan saya beberapa bulan terakhir. Dengan blog, saya berupaya untuk sedikit saja tidak terlibat sebagai pelaku kerusakan di muka bumi. :).

Seandainya saya tidak ngeblog, saya tidak akan berkenalan dengan Komunitas Blogger Angingmammiri yang sedang mengadakan tantangan ngeblog selama 8 pekan. Aktivitas yang baru saja saya rambah kembali setelah kevakuman nyaris setahun. Kala galau tingkat dewa melanda, kala jiwa tak sehat harus diselamatkan, kala menghindari psikosomatis kembali, kala menolak untuk depresi, kala beberapa teman dekat mendesak saya untuk berobat dengan cara menulis, saya menyisihkan waktu untuk ngeblog kembali. Tantangan menulis ini menjadi salah satu penyembuh saya (tuh kan, saya berhiperbola. Tapi faktanya memang demikian. Tentu tidak mengabaikan sholat, mengaji, dzikit, dan do'a). Saya bisa berbagi, belajar, menyerap ilmu, mendapatkan masukan, menerima dukungan. Ah...

Seandainya saya tidak ngeblog, saya tidak akan kenal dengan Bunda Niar yang welcome dan sudah punya buku dari hasil ngeblog, dengan Bunda Imma yang menghadiahi saya pulsa karena berhasil menebak ending dongengnya, dengan Ka Ira yang juga orang Sinjai, dengan Ka Nanie yang ternyata senior saya di MIPA, dengan Vanisa, DeKa, NdoroAyu, SajakrerinduKlaten yang menjadi tetangga saya di blogspot, dan dengan semua peserta tantangan 8 minggu ngeblog Angingmammiri beserta karya-karyanya yang seru-seru.

Jika saya tidak ngeblog, saya tidak akan pernah menggunakan jempol saya sebagai mulut yang menyuarakan kata. Saya tidak akan punya ruang berbincang dengan diri sendiri tanpa bunyi saat mengurung diri di kamar kosan. Meskipun tampilan blog awut-awutan dan saya belum tahu memaksimalkan fasilitasnya. Meskipun saya masih asing dengan istilah-istilah dunia pemblogeran. Blog walking, give away, hosting, dll. Meskipun blog saya masih begitu sederhana. Sesederhana pengetahuan saya yang belum tahu caranya menjadi member balik orang-orang baik yang bersedia menjadi tetangga setia saya di blog.

Karena Musibah (di jalan menuju lokasi outbond)

Ada yang berbeda pada perjalananku menggunakan truk aparat berseragam hijau kali ini. Lebih lambat. Padahal biasanya, saya harus memperbanyak dzikir sambil mengatupkan mata karena khawatir yang melanda. Kencang, tidak peduli jalan berlubang, dan dengan gampangnya menyalip kendaraan lain.

Saya akrab dengan angkutan milik pemerintah ini sejak kuliah. Kami sering menyewanya saat ospek lapangan. Mereka berbaik hati memberikan harga yang terjangkau kantong panitia dan bisa memuat banyak orang serta barang.

Di sekolah saya yang notabene sekolah elit, secara uang masuk dan spp nya muahhal banget, juga sering menggunakan kendaraan ini jika ada kegiatan outbobd atau outing class. Tentu bukan karena murahnya, tapi banyaknya unit kendaraan yang tersedia. Saat ini saja, ada 8 truk yang melaju berbaris seperti semut-semut hijau raksasa.

Perbedaan laju kendaraan yang saya rasa kemungkinan ada hubungannya dengan musibah jatuhnya salah seorang mahasiswa saat berada di atas truk. Dia meninggal dunia. Karena kejadian tersebut, para pengemudi menghindari resiko. Apalagi yang mereka angkut saat ini anak-anak SD kelas 2 sampai 4. Bisa jadi. Kemarin, sungguh ribet birokrasi peminjaman.

Padahal, saya menginginkan kendaraan ini melaju lebih cepat. Kami sudah terlambat. Musibah datang lagi pagi-pagi. Salah satu unit kendaraan mogok sebelum mengangkut kami. Kesal juga rasanya. Bukankah ada pengecekan peralatan sebelumnya. Ugh, saya mencium aroma ketidakprofesionalan.

Tulisan ini sudah selesai tapi kami belum jua sampai. Itu artinya, kami molor 2 jam dari jadwal semestinya.

Saturday 18 May 2013

Terselip Duka di Bahagiaku Menjadi Sarjana

Tulisan ini saya ikutkan dalam tantangan 8 minggu ngeblog bersama angingmammiri, pekan keenam.
 
Aku dihinggapi perasaan melankolis. Bising mesin perahu membungkam tawa sejak tadi. Ini perjalanan pertama menyeberangi pulau sejak kematian salah seorang sahabat. Dia mati tenggelam bersama seorang junior di sebuah pulau kecil dekat Pantai Losari.  Dia mati bersama mimpinya menyandang gelar sarjana.

Kematiannya menghantarkanku pada duka yang berkepanjangan. Duka yang menyendatkan skripsiku kala itu. Aku didera kebekuan hasrat untuk segera mengenakan toga. 

Kematian selalu membalurkan aroma hitam di jiwa. Apalagi kematian yang membawa pergi semangat. Semangat untuk memberi kebahagiaan kecil pada perjuangan seorang ayah single parent yang menguliahkan keempat anak gadisnya. Salah satu anak gadis yang  tidak setangguh kelihatannya harus berjuang menghalau rasa sedih. Sedih atas tak tertunainya janji sahabat untuk meninggalkan kampus merah bersama-sama.

Tangisku tak terbendung saat dosen pembimbing utama menanyakan kevakumanku setahun menyelesaikan skripsi. Aku tak bisa menahan air mata yang berloncatan turun. Aku tau sedang mempermalukan diri sendiri di depan audience Seminar Hasilku. Tapi rekaman adegan demi adegan kebersamaanku dengan dia yang mati di laut itu terpampang nyata. Aku tidak berhasil menghalaunya. Syukur, nilaiku -A-. Nilai untuknya juga.

***

Pagi beranjak Dhuha ketika kudapat kabar dia tenggelam. Tenggelam? Kapan dia ke pulau? Biasanya, dia selalu memberitahuku jika dia mau bepergian. Apalagi jika ada kegiatan kampus. Ternyata kepergiannya ke pulau untuk prosesi penerimaan anggota baru Canopy, UKM pecinta alam di jurusanku.
Aku bergegas ke rumah sakit tempat dia dievakuasi. Paling dia akan diopname. Aku mempersiapkan diri untuk menginap, menemaninya. Orang tuanya tinggal di kampung.

Tubuh kaku berselimut kafan yang menyambutku. Aku tak bisa menangis saat itu. Aku merasa dia sedang bercanda. Bagaimana bisa seorang yang paling jago berenang begitu mudah menyerah pada kematian hanya gara-gara tenggelam?! Aku baru bisa menerima kenyataan jika dia benar-benar tidak hidup lagi setelah tanah-tanah menimbuni tubuhnya dan dia tidak melawan.

Kehilanganku tak seberapa dibandingkan kehilangan yang dirasakan ayah, bunda, dan kakak-kakaknya. Terlahir sebagai anak bungsu dan satu-satunya yang mampu kuliah membuatnya memikul amanah kebahagiaan keluarga. Harta benda dipertaruhkan untuk menutupi biaya yang tidak murah. Rumah dan kebun dijual untuk rencana S2. Orang tua dikampung bahkan berencana hijrah ke kota Makassar untuk tinggal bersama sang anak bungsu.

Tapi maut meminta nyawa sahabatku sebelum memberinya kesempatan memintal bahagia keluarganya di gedung baruga tempat wisudawan berkumpul. Uang hasil penjualan harta benda teronggok, terabai, oleh hancurnya harapan keluarga. Kenyataan pahit yang harus ditawakkalkan.
 
***

Kotak kaca aquarium yang jadi media penelitiannya mulai menghitam. Teronggok lusuh ditinggal pemilik. Tak ada yang berani membuangnya. Termasuk bahan-bahan yang dihadirkan dari Kalimantan. Kami seolah bermain-main dengan kenangan. Menyembunyikan duka lewat cerita yang hambar. Mengabaikan kehilangan dengan tawa tercekat. Laboratorium Mikrobiologi, BEM, Koridor MIPA , tempat yang tak lagi menyenangkan.
 
Bagaimana bisa aku mengadakan selebrasi sementara makamnya masih basah?. Bagaimana caranya aku bersenang-senang menyandang status S.Si (sarjana sains) sementara mimpi sahabat yang membersamaiku KKTS (KKN versi MIPA UH), menemani penelitianku, menunggu skripsiku, memotivasi kelulusanku, terkubur dalam liang lahat?!. Aku berjalan menuju podium tempat rektor menggunakan kakinya. Aku mendekap erat ijazah formalitas yang juga miliknya, aku mendedikasikan simbolis pencapaian mahasiswa untuknya. Untuk sahabat yang sangat mencintai almamater, sangat mencintai kawan-kawannya, sangat mencintai keluarga, sangat mencintai ilmu.

Biasanya, dia yang mengajakku, cenderung memaksa, untuk selalu terlibat di kegiatan kemahasiswaan. Tidak mengabaikan adik-adik di lembaga. Selalu menularkan pengalaman berorganisasi. Ah, dia sahabat yang tak pernah mengabaikanku. Dia yang peduli. Dia yang menghadirkan sedih dan bahagia secara bersamaan, bahkan hingga saat ini.
 
***
 
Aku mengenangnya sambil memandangi
 kerlip-kerlip kecil lampu kota Makassar di dermaga Pulau Barranglompo. Mengenang dengan hati yang bahagia atas dedikasinya. Bahagia yang berlomba dengan getas kerinduan.

***

Note: Tulisanku tentangnya di 2008

Thursday 16 May 2013

I`m A Teacher ...


Sore nyaris merampungkan tugasnya ketika kulangkahkan kaki menuju rumah. Jadwal kerja yang padat cukup menguras tenaga dan otak. Tapi masih bisa kusempatkan sedikit waktu bermain bulutangkis bersama Sita dan Fadiyah. Tidak profesional tentunya. Sekedar service, memungut cock, lalu tertawa bersama. Targetku memang hanyalah memasuki dunia kanak gadis-gadis kecil berusia 9 tahun itu. Tulisan ini aku ikutkan pada event 8 minggu ngeblog bersama anging mammiri, pekan keenam.

***

Memperpendek sekat. Meminimalisir jarak. Menghadirkan cinta. Bukan mengabaikan batas. Biar bagaimanapun, usiaku jauh lebih tua dan posisiku sebagai orang tua mereka di sekolah tetap mengharuskan tata krama, sopan santun. Sedekat apapun hubunganku dengan anak-anak, aku tetap mengajarkan aturan. Aku harus memperlihatkan teladan penempatan sikap. Saat-saat serius, bercanda, marah, bermain, memeluk, menghukum. 

Bukan hal yang mudah. Mendidik ratusan anak sementara aku belum memiliki anak sendiri. Dua sisi yang aneh tapi syukurnya bisa kulakoni. Modalku hanya menyayangi mereka, membaca buku, dan sharing dengan teman-teman ataupun orang tua mereka. Aku berusaha menghadirkan hati yang utuh jika berhadapan dengan anak-anak yang unyu-unyu itu. Meski tidak terlahir dari rahimku, mereka amanah Allah yang dititipkan untuk kudidik bersama rekan guru yang lain. Waktunya pun telah ditentukan. Bukan 6 tahun karena ada yang pindah dan ada yang murid baru. Aku berusaha semaksimal mungkin melakukan yang terbaik.

Posisiku di  bagian kesiswaan membuatku tidak hanya mengurusi satu kelas saja tapi semuanya. Banyak kejadian seru, lucu, mendebarkan, membangkitkan emosi. Aku manusia biasa yang emosional. Syukurnya, sejauh ini, di depan murid-murid, emosi itu bisa kukontrol hingga tidak kebablasan. Mengontrol emosi bukan berarti bebas dari hukuman. Posisi ini juga yang membuatku menjadi eksekutor. Jika ada sikap murid yang tidak bisa diatasi oleh wali kelas, akulah yang dicari. Semua anak sudah tahu bahwa jika namaku disebut saat mereka berbuat kesalahan maka kesalahan itu fatal. 

Aku keras, iya. Pada kondisi tertentu. Pada kesalahan anak yang tidak bisa ditolerir. Memukul teman, berbohong, tidak menghormati guru. Hukuman bukan hal tabu. Rasulullah meminta orang tua untuk memukul anaknya jika di usia 10 tahun tidak melaksanakan sholat. Tentunya, hukuman di sekolah tidak dibenarkan menggunakan fisik. Jika guruku di sekolah dasar dulu boleh menjewer murid yang bandel, maka sekarang tidak boleh lagi. Secara hukum dan secara psikologis.

Aku belajar cara menghukum anak yang sejauh ini lumayan efektif melalui tayangan The Nanny Show di M*tro TV. Anak harus tahu bahwa hukuman yang diberikan bukan karena kita membencinya tapi tidak menyukai perbuatannya. Jangan menghukumnya di depan orang banyak apalagi di depan teman-temannya. Hal tersebut akan menjatuhkan harga dirinya. Toh, kesalahan hal yang manusiawi bukan?! Semua orang pasti pernah mengalaminya. Hanya saja, tidak boleh dilakukan pembiaran. Takutnya menjadi karakter yang negatif.

Syukurnya, rasa sayang anak-anak tidak berubah menjadi benci karena posisiku. Anak-anak akhwat (perempuan) sesekali masih memelukku. Anak-anak ikhwan (laki-laki) masih menyambut kedatanganku. Aku berusaha tidak menjadi eksekutor semata. Aku ingin menjadi guru, ibu, kakak, sekaligus teman. Aku ingin menjadi bagian kecil dari proses-proses pencapaian masa depan mereka. Kelak ketika mereka telah dewasa, mereka akan tetap memanggilku Ibu Guru Isma.

***

Isma kecil bercita-cita menjadi dokter. Saat orang-orang berkata kalau LBBku (latihan baris berbaris) bagus, beralihnya mau menjadi Polwan. Tapi setelah mampu menganalisa dan mulai dewasa, aku mau menjadi ibu rumah tangga dan seorang penulis. Guru tidak termasuk dalam list cita-citaku.
 
Profesi guru terlalu mulia untukku, aku merasanya begitu. Pahlawan tanpa tanda jasa, sementara aku senang dengan imbalan. Mau jasa ataupun yang lainnya. Tulus dan hidup memprihatinkan, sementara sejak kecil aku hidup nyaman jika dibandingkan dengan teman-temanku yang lain. 

Ketika kuliah, aku lulus di Fakultas MIPA UNHAS, Jurusan Biologi. Sains murni. Sama sekali tidak ada mata kuliah kependidikannya. Alumninya kelak akan menjadi peneliti, laboran, dosen. Meski tak sedikit yang menjadi pegawai bank atau profesi lain yang tidak sesuai dengan bidang ilmu. Aku salah seorang alumni yang memilih jalur berbeda.

Gelar sarjana sains tidak diakomodir menjadi guru negeri. Tapi munculnya sekolah-sekolah swasta membuka peluang buatku untuk berkiprah disana meskipun dengan pengetahuan yang minim. Bukan sebagai pelarian sarjana muda yang tak jua dapat kerja. Bukan pula hanya untuk mengisi waktu. Aku menyadari menjadi guru bukan profesi yang sembarangan. Baik buruk seorang anak akan diamanahkan di tanganku.

Awalnya aku ditawari oleh seorang kawan. Saat sekolah kami berkecimpung di organisasi yang sama. Organisasi pelajar tertua di Indonesia. Sejak SMA kelas satu aku memang aktif di organisasi tersebut. Permasalahan serta solusi pendidikan, kepelajaran, keindonesiaan, dan keIslaman kami selami. Tidak terbatas teori tapi juga praktek yang terorganisir. Kami tidak asing di dunia pendidikan. membuat training dan menjadi instruktur. Hanya saja aku belum pernah bersentuhan dengan kurikukum (RPP, silabus, prota, prosem, kkm, dll).

Kompetensi yang harus kusiapkan saat wawancara untuk menjadi tenaga pengajar adalah makalah tentang pendidikan Islam terpadu, kelancaran membaca Al Qur'an, kecintaan pada anak-anak, loyalitas dengan jam kerja yang panjang bahkan lembur tanpa dibayar, kreativitas yang tinggi, dan mau belajar. Aku lulus dan diizinkan magang untuk mempelajari kurikulum, perangkat pembelajaran, dan segala hal yang berhubungan dengan kompetensi keguruan. Asing tapi lumayan mudah dipelajari. Kendala pasti ada. Tapi belajar terus dilakukan hingga akhir hayat, bukan. Aku juga memiliki keinginan kuat untuk belajar formal lagi. Aku merasa banyak ilmu yang harus kujelajahi. Ilmuku terasa amat minim.

Sudah tiga tahun lebih lima bulan kujalani profesi ini. Aku nyaris jatuh cinta tiap hari. Pada anak-anak, pada gedung sekolah, pada program-program sekolah, pada kelas-kelas yang kumasuki, pada kedekatan rekan sejawat, pada sapa ramah pegawai, pada kepercayaan pengurus yayasan, pada kegiatan peningkatan ruhiyah, pada semuanya. Aku yang pembosan ini berhasil dibetahkan. 

***

Deru bentor (becak motor) membawaku meninggalkan gedung hijau tempatku berjuang mencerdaskan anak bangsa tiap hari. Sesampai di sarang (rumah), segera kurebahkan badan di kasur busa yang tak begitu empuk sambil menunggu adzan magrib berkumandang. Aku seorang berijazah non-pendidikan tapi berprofesi sebagai guru. Sebagai proyek akhirat sekaligus sumber penghasilan. Aku guru yang berusaha selalu mencintai anak-anak, lewat penghargaan ataupun hukuman, kedekatan ataupun ketegasan. Semoga...

Tuesday 14 May 2013

SKKB

Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu keenam. 
sumber gambar


Menjadi PNS merupakan idaman para calon mertua. Jaminan gaji dan uang pensiunan menjadi iming-iming menggiurkan. Seragam PDH yang menaikkan kasta. Apalagi bagi masyarakat desa. Jabatan PNS memberikan poin penilaian positif berpuluh-puluh kali lipat.

Jika ingin menjadi PNS, ribetnya minta ampun. Ditambah lagi saingan yang tidak sedikit jumlahnya. Urus sana urus sini. Sediakan berkas anu. Lengkapi syarat itu. Salah satunya, SKKB atau SKCK.

SKKB atau Surat Keterangan Kelakuan Baik merupakan legitimasi Kepolisian untuk menilai warga negara Indonesia pernah melakukan kejahatan hukum atau tidak. Saya pikirnya mudah mengurus syarat yang satu ini. Secara, bokap seorang anggota polisi yang memegang jabatan 03 di Polres. Gampanglah. Bisa diatur.

Kenapa saya berfikir tidak elegan dan melanggar prinsip-prinsip harga diri kemanusiawian? Kenapa saya mau melakukan praktek nepotisme yang sering saya cela? Kenapa kok mau-maunya saya memberi harga yang rendah pada diri sendiri?

 Saya melakukan itu karena syarat mendapatkan SKKB di tempat saya harus memperlihatkan telinga saat dipotret. Aturan yang tidak Pancasialis sila pertama ini ternyata masih berlaku. Diskriminasi atas pelaksanaan ibadah warga negara merupakan pelanggaran HAM. Uhhh. Padahal di beberapa kabupaten, aturan itu sudah dikompromikan untuk menghargai kebebasan beragama. Saya tidak mungkin mengabaikan aturan Ilahiyah saya jika dibandingkan dengan prinsip kemanusiawian yang harus taat aturan hukum dunia. Hukum VOC pula. Biar kacau begini, saya sedikit memiliki -isme- tersendiri.Tapi kali ini saya malas mendebat. Saya juga tidak punya bukti tertulis berupa aturan, hukum, SK, kepres, dan sebagainya yang memperbolehkan saya menggunakan foto berjilbab. Saya mendengar jika aturan itu sudah ada tapi saya memiliki keterbatasan mengaksesnya, saya tidak tahu harus mendapatkan dimana.

 Olehnya itu saya berniat menunggangi profesi bokap. Saya berpikir jika gampanglah mengurus SKKB. Toh beliau pejabat. Toh bokap saya yang menginginkan anaknya jadi PNS. Toh saya anak kesayangan. Jadi bisalah saya mendapatkan SKKB tanpa difoto dengan aurat terbuka.

Tapi saya salah. Bokap ternyata produk pegawai negeri yang berhasil dibentuk pemerintah. Beliau aparat teladan. Lebih patuh pada aturan dibanding keinginan anak kesayangan. Lebih memilih taat pemerintah dibanding keinginannya untuk mem-PNS-kan sang anak. Lebih mau menjalankan perintah atasan dibanding menjaga prinsip saya. Kata beliau tegas "Kalau tidak mau ikut aturan ya tidak bisa."

Untuk urusan ini, saya yang merasa gagal menularkan pemahaman. Tapi di sisi lain, saya senang. Senang karena terkendala menjadi PNS. Saya sempat meradang saat salah seorang anggota keluarga menganggap saya bodoh dan mengatai saya sok suci. Tapi inilah saya. Saya merasa tidak cocok dengan profesi mulia itu. Saya terlalu liar untuk menjadi pelayan negara. Biarkan saya menjadi oposisi saja yang mencintai negeri ini dengan cara yang berbeda. Saya mau berbuat banyak hal yang belum tentu orang lain mau melakukannya. Apa itu? Saya juga belum tau. Yang pasti, saya tidak akan pernah membiarkan ibu pertiwi merana sendiri, tanpa harus menjadi PNS.

Saya tahu, banyak orang yang bernasib sama dengan saya. Malah lebih parah. mereka akhirnya melunturkan idealisme demi sebuah cita-cita. Rela melakukan pengkhianatan pada keyakinan, untuk alasan apapun. Bukan berarti saya jago karena berhasil bertahan meski gagal mencapai tujuan. Saya bahkan sering melakukan kebodohan-kebodohan lain yang mungkin lebih parah. Hanya saja, saya merasa ada yang salah di negeri ini. Daun telinga menjadi begitu penting sementara nyawa begitu gampang melayang. Foto berjilbab bukan kejahatan. Kalaupun cacat telinga beresiko bagi profesi PNS, saya bisa diperiksa oleh polisi wanita. Aturan toh buatan manusia. Atasan toh bukan Tuhan.

NB: Postingan ini penuh emosi jiwa. Hehhe. Bete dengan aturan tak manusiawi yang dijunjung tinggi bokap. Sebenarnya di satu sisi sudut hati kagum sama beliau atas dedikasinya pada institusinya. Jangankan penggelembungan rekening, untuk nepotisme sama anak sendiri saja beliau ogah. Hehe.

Monday 13 May 2013

#2 Pekan keenam: Dua Sisi, Ayah.


Pernah mencintai dan membenci seseorang sekaligus? Pernah mengutuk tapi memujanya? Pasti ada yang pernah, sedang, atau akan merasakannya. Aku pun demikian. Sebagai orang yang dididik untuk don't look book from the cover, kuterbiasa melihat orang lain dari dua sisi berbeda. Jika mereka jahat, pasti ada baiknya. Jika mereka baik, jangan terlalu percaya, apalagi jika dia lelaki. Sisi-sisi ini perlu dilihat agar jika jatuh tidak terlalu sakit dan jika terbang tidak melambung jauh. Tulisan ini saya ikutsertakan pada event 8 minggu ngeblog bersama angingmammiri.org, pekan keenam.

Kusadari, mencintai dan membenci adalah dua sisi ekstrim tapi jaraknya setipis kulit ari. Perasaan memang bisa dibolak-balik. Hari ini cinta, besok benci. Hari ini rindu, besok menjauh.Begitulah siklus hidup. 

Ketika membaca tema tantangan pekan ini, hal pertama uang terlintas di benakku adalah aku mau menulis tentangnya. Padahal sejak dulu, aku paling tidak suka menjadikannya objek tulisan. Inspirasiku dibungkam rasa benci yang tak terlampiaskan karena aku juga mencintainya. Aku merasa, dua sisi paling ekstrim di hidupku terjadi atas ulahnya.

Aku memujanya sejak kecil. Menginginkan sosoknyalah yang bereinkarnasi menjadi lelaki selanjutnya yang menjadi partner hari-hariku. Sosok yang kekar, terpandang, pejabat daerah, lengkap dengan seragam dan senjatanya. Tidak gampang marah, royal, lucu, dan demokratis. Sangat mencintai perempuannya bahkan pernah rela jika harus terusir dari keluarga.

 Aku bangga. Bangga namaku disebut bergandengan dengan namanya. Bangga jika duduk diboncengannya. Bangga berjalan di sampingnya. Bangga jika disebut anak kesayangannya. Bangga jika dibanggakan olehnya.

Aku mengaguminya. Ketika aku sakit dialah yang mencuci semua pakaian kotor. Ketika dia tak membutuhkan aturan tata krama dan pelayanan paripurna. Ketika korupsi menjadi wajar di lembaganya, dia memilih jujur. Kejujuran dan pengabdian pada negara yang membuat dia tak mampu memberikanku rumah. Ketika aku dimarahi oleh orang lain dialah yang datang memasang badan.

Kagum, bangga, dan sayang itu harus kubayar mahal. Dia tidak pernah datang menghadiri undangan dari sekolahku. Tak pernah ada penghargaan atas prestasi akademik dan ekstrakurikulerku. Dia bahkan tak menghadiri acara wisudaku, moment bersejarah sebagai pembuktian keberhasilannya sebagai single parent.

Aku tidak suka saat dia bermusuhan dengan nenek tersayangku dan melarang perempuannya bertemu dengan sang ibu. Aku tidak suka dia menghunus parang dan menyeretku pulang saat aku diam-diam bertemu dengan nenek. Aku tidak suka dia memisahkan cinta ibu dan anak. Aku tidak suka.

Aku berang saat dia menyakiti perempuannya dengan kehadiran perempuan-perempuan lain. Ketika dia tidak peduli dengan batuk menahun sang istri. Ketika dia... menjadi penyebab tak langsung muntah darah perempuannya yang berujung pada kematian.

Aku kecewa. Kecewa saat dia menolak lelaki yang kubawa ke depannya. Kecewa karena menganggapnya picik memandang ketaksempurnaan. Kecewa ketika dia memilih harga dirinya yang tinggi dibanding kebahagiaan anak gadis kesayangannya. Aku kecewa...

Aku tahu, dia sangat menyayangi dan percaya padaku. Dengan rasa sayang dan percayanya bahkan dalam beberapa bulan kami tak pernah berkomunikasi. Dulu lebih intens. Sekali sebulan smsan untuk mengkonfirmasi uang bulanan yang dia kirim.

Dia ayahku. Sosok yang mendonorkan separuh sisinya untukku. Aku berusaha memaafkan kekurangan dan menghargai sisi baiknya. Perlu waktu. Bertahun-tahun. Aku bahkan pernah melakukan perang terbuka selama dua tahun. Tapi akhirnya aku sadar. Toh, aku juga bukan anak yang baik. Ah, aku mungkin (tidak) mencintai dan (tidak) membencinya. Aku hanya perlu berdo'a untuknya. Aku hanya perlu menerima. 


Dua Sisi: Fe dan Mas

 Tulisan ini saya ikutkan pada event 8 minggu ngeblog
bersama Angingmammiri.org, pekan keenam

sumber foto
Manusia dilahirkan ibarat kertas putih. Kepribadian  yang muncul merupakan bentukan lingkungan. Keluarga, sekolah, dan masyarakat. Tidak diturunkan melalui pewarisan sifat genetik. Orang tua yang baik belum tentu memiliki anak-anak yang baik. Sebaliknya juga seperti itu. Kebaikan itu tidak diperoleh melalui aliran darah tapi ditularkan dalam aktivitas sehari-hari. Dalam kutipan hadist, "Seorang bayi yang terlahir fitrah (suci). Orangtuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nashrani, atau Majusi". 

Begitupula saya dengan ketiga saudara saya. Meskipun sama-sama perempuan, gendut-gendut, dan berasal dari orang tua yang sama, memiliki perbedaan pastilah sebuah keniscayaan. Khususnya saya (eh, seperti tulisan-tulisan sebelumnya yang narsis...hehe), yang dibesarkan dalam lingkungan yang berbeda. Dalam 27 tahun usia saya, hanya sekitar 8 tahunan kami tinggal bersama. Saya dibesarkan oleh nenek yang diestafetkan ke tante setelah nenek meninggal. Kakak dan adik-adik selalu setia mengikuti orangtua karena ayah selalu saja dipindahtugaskan keliling kecamatan.

Diantara mereka, morfologi fisik saya yang paling feminim. Itu menurut orang-orang yang melihat kami. Tentunya sebelum berat badan saya melonjak naik. Hehe. Apalagi sejak SMA hanya saya yang memutuskan untuk berjilbab. Saya juga suka masak. Tugas saya saat moment kumpul bersama keluarga adalah menyajikan masakan requestan mereka. Apapun saya layani. Jika belum pernah membuatnya, maka saya akan mencari resep di katalog om google lalu berkreasi sesuka lidah. Tugas memasak ini saya lakoni  ke organisasi intra dan ekstra sekolah hingga kampus. Teman-teman saya malah menganggap bahwa saya sosok perempuan yang lembut, teduh, dan nyaman dipandang. Tentunya, persepsi yang mereka anut di awal pertemuan akan berubah setelah semakin lama dan dekat mengenal saya.

Jiwa keperempuanan saya yang kental juga terlihat dengan gampangnya saya menangisi adegan film, tulisan sedih, sandiwara radio, bahkan lirik lagu. Saya bahkan menangis tersedu-sedu selama satu jam setelah menonton film Kuch-kuch Hota Hai dan My Beloved.

Dibalik penampilan feminim, suka masak, dan emosi cengeng, saya memiliki sisi maskulin yang kurang bisa saya tutupi. Teman saya yang mengatakan saya lembut dan teduh itu akhirnya berkata "Isma toh...menipu. Kalo diliatki awalnya kayak perempuan sekali. Sekalinya dikenal, addeh... ". Hehe.

Saat saya kecil, koleksi busana saya berupa celana pendek dan kaos oblong. Rok yang ada hanya rok sekolah. Saya tentu berubah saat mengenakan busana muslimah. Tapi saya ditegur gara-gara cara berjalan yang seperti anak cowok. Susah mengubahnya. Saya sebenarnya cuek saja. Tapi saat kuliah teman-teman bahkan membuka kursus gratis cara berjalan yang baik dan benar untuk saya. Katanya kontras dengan jilbab saya. :(.

Selain masak, saya malas mengerjakan pekerjaan rumahan yang identik dengan tugas perempuan. Mungkin karena pola asuhan nenek yang memanjakan saya. Bukan menyalahkan (karena saya menikmatinya, hehe). Tapi saya tidak terbiasa mencuci, membersihkan, mengepel, dan lain sebagainya.

Saya juga sukanya bergaul (diskusi) dengan teman cowok. Saya suka pikiran rasional mereka. Saya suka kesimpelan gaya hidup keseharian mereka. Saya suka mengeksplore cara pandang termasuk isi otak mereka tentang kaum saya. Alhasil, saya juga sering sok menjadi narasumber teman-teman cewek yang lagi ribet dengan urusan hatinya.


Saya juga tidak suka dandan. Ribet. Hingga memasuki dunia kerja pun saya paling malas dandan kecuali ke acara kawinan. Itupun didandani oleh kakak. Kakaklah yang menjadi mentor kepribadian saya agar tetap menjadi perempuan, dengan cara yang halus maupun nyakitin. :D. Kakak bahkan dengan pedisnya mengomentari dandanan saya yang mau ke kantor. Katanya, saya seperti mau ke pasar saja. Untungnya, kantor tempat saya kerja malah menginginkan untuk meminimalisir dandanan. Kalau perlu tidak usah dandan asalkan rapi dan bersih. Saya merasa berada di tempat yang benar.

Kesamaan sisi maskulin antara saya dengan kakak dan adik-adik, pecinta alam. Kami suka menjelajahi alam. Kakak pernah menjadi ketua Korps Sipil Kawula Alam. Adik saya pengurus Siswa Pencinta Alam dan masuk di komunitas pecinta alam di kampusnya (Equilibrium). Adik bungsu juga kadang ikut-ikutan naik gunung. Kalau saya, dijuluki Rianny Djangkarunya Biologi 03. Hihi, ngarep. :).

Setiap orang pastilah memiliki sisi berlawanan. Saya yang kelihatan fe(minim) tapi sikap cenderung mas(kulin). Saya menulis ini agar tidak merasa aneh sendiri. :). Lingkungan yang membentuk saya berbeda. Seberbeda lingkungan yang mewarnai orang lain. Dibesarkan nenek membuat saya manja. Tapi berjalan ke sekolah sejauh 3 Km melintasi hutan belantara, kadang sendiri, menjadikan saya berani. Kasih sayang, suka masak, berempati, berpetualang, saya dapatkan dari alm.ibu. Percaya, mandiri, berharga, saya peroleh dari ayah. Emosi, manusiawi, pemikiran, memperlihatkan keapaadaan saya. Dorongan hati, keimanan, ilmu, jamaah, mengikat saya pada kebajikan.

Keberadaan saya sebagai salah satu anak bumi yang telah terbentuk merupakan sebaik-baik penciptaan. Seaneh apapun saya, atau orang lain, tidak ada yang diciptakan sia-sia. Tidak perlu ada penyesalan tentang hari-hari kemarin yang berlangsung diluar kuasa kita. Kita adalah bagian dari sisi-sisi kehidupan yang saling melengkapi. Seperti feminim dan maskulinnya saya. Hehehe.
Dua sisi yang ada pada diri saya kadang membingungkan orang lain. Kawan-kawan blogger juga bingung kan?!. Saya saja yang punya diri dan menulis diri sendiri bingung. Hehe. Salam blogger!!! <3>