Tuesday 11 October 2016

Untuk Perempuan yang Mencintai Orang yang Pernah Menjadi Lelakiku


Mohon buka keluasan hatimu, di pikir beliamu, mencerna setiap potongan kisah yang akan kusampaikan. Kisah yang menjadi jembatan keberadaanmu kini. Aku hanya ingin menuntaskan luka, agar tak menjadi luka untukmu kelak. Kau boleh berbahagia dengan tuntas, tapi izinkan aku memulai bercerita.

###

Perempuan itu menatap gamang langit melalui jendela telaris besi di sudut kelas yang sudah sepi. Sesekali menghela nafas panjang lalu menyeka sudut matanya yang basah. Riang yang ditampakkan pada murid-muridnya tak terlihat kini. Manusiawinya terusik tanpa melihat tempat. 

Terngiang ucapan seorang sosok yang sangat dihormatinya tentang seorang laki-laki biasa yang hendak dijodohkan dengannya. Sementara, hatinya masih sementara terluka karena lelaki yang dicintainya tak mendapat restu orang tua. Sekarang dia harus memilih. Bertahan pada hubungannya yang tak kunjung jelas atau memilih hubungan halal sesuai aturan agama. 

Dia menyeka sudut matanya. Putusan harus diberikan, setelah melalui istikharah yang panjang. Ditegak-tegakkan kepalanya. Kegundahan hati cukuplah dicurahkan ke Sang Pemilik Hati, tak perlu diketahui oleh orang-orang di sekitarnya.
###
Kabar perjodohan itu tak lagi terdengar. Yang ada, tiga tawaran teman dari berbagai latar belakang berniat menjajaki. Tapi, perempuan itu masih menunggu tindak lanjut dari keinginan Sang Tetua. Dia tidak berani mengambil keputusan. Diberanikan dirinya bertanya kejelasan. Dia diminta untuk menunggu.

Proses taarruf yang  canggung terlaksana. Sekedar menceritakan latar belakang. Tersentuh masalah adat di akhir pembicaraan. Silakan lanjut jika bersedia. Jika tak sanggup, silakan mundur.

Hari H telah diputuskan. Sanak saudara di kampung halaman sudah menyebarkan berita bahagia. Tapi alangkah kagetnya perempuan itu saat dipertemukan dengan sang calon. Dia diminta untuk menggenapkan sepertiga uang panai'. 

Logikanya buyar. Enggan. Haruskah dia melakukannya? Sebagian besar hatinya merasa ada yang salah. Tpi di sisi lain, dia tak ingin mempermalukan keluarga. Dicari-carinya pembenaran. Setelah didesak, dia mengalah. Dipositifkan niatnya. Bukankah besar pahala seseorang memudahkan perjalanan ibadah seorang pemuda yang ingin menggenapkan separuh diennya.

Dikuat-kuatkan hatinya. Disembunyikan lukannya yang masih basah. Pun ketika dia harus mengurus persiapan pernikahannya sendirian. Pun ketika dia menjadi pelampiasan kemarahan lelaki yang bahkan belum diakrabinya hanya karena persoalan sepele. Dia menganggap, ini ujiannya. Dia harus rela menebus kesalahan masa lalu. Dia harus mengurbankan cintanya dan bersiap menghadapi tak terprediksinya kehidupan berumah tangga.

Tapi  dia tetaplah perempuan yang sama. Perempuan yang memintal dendam karena perbuatan tak manusiawi ayahnya terhadap ibunya. Perempuan yang menyembunyikan rapuh pada paksa ketegaran. Perempuan yang ingin berbahagia dengn cara sederhana. Perempuan yang berpayah-payah menjadi kuat dan mandiri.

Dia masih perempuan yang sama. Perempuan yang meradang ketika ketakadilan terjadi. Ketika disalahkan atas berlangsungnya pernikahan. Ketika harga diri dilumat di hadapan rekan kerja. Ketika kalimat caci dan kasar melahirkan perlawanan. Ketika...

Dia tak sanggup. Dia memilih gagal dibandingkan bertahan pada waktu demi waktu yang nyaris membuatnya gila. Dia memilih untuk pergi. Seberapa sering pun lelaki itu mengajaknya kembali. 

Tidak, dia tidak sekuat itu. Beberapa kali dia memikirkan muara yang bisa mereka tempati bersama. Dia selalu minta di sujud tertatihnya. Jika memang mereka berjodoh, tunjukanllah jalan. 

Setiap terpinta doa, jawaban selalu mengejutkan. Menemukan fakta jika lelakinya sama sekali tak berubah. Perempuan murahan masih disandangnya. Menemukan fakta jika lelakinya bersama dengan beberapa wanita, bahkan dengan temannya sekalipun. Menemukan fakta jika, talak tiga itu terucap dengan amarah karena kesalahahaman dan emosional belaka yang akhirnya disesali. 

Hingga, semuanya harus diselesaikan. Tak ada lagi daya di mata agama. Tak ada lagi yang bisa dicegah. Pun ketika perempuan itu yang diminta untuk mengurus proses perpisahan, dia menolak tegas. Hidup lelaki yang pernah menjadi lelakinya terlalu nyaman jika segalanya harus dia yang menuntaskan. 

Gaung pesta pernikahan selanjutnya telah terdengar. Dia menyiapkan mental. Dia menunggu statusnya dibersihkan. Dia membasuh lukanya sendirian. Dikuat-kuatkan lagi hatinya. Hidup yang diwarisi dari ibunya dengan berpayah-payah, tak akan dia hancurkan hanya karena seseorang yang sama sekali tak menganggapnya berharga. 

###

Hei, perempuan yang memiliki lelaki yang pernah menjadi lelakiku. Berbahagialah. Karena aku sudah lupa kapan terakhir aku bahagia karenanya. Bahkan jika setiap hari berada pada ruang yang sama, ada tiadanya tak lagi berasa.

1 comment:

Unknown said...

Subhanallah...ini bukan akhir dri segalanya,