Sore nyaris merampungkan tugasnya ketika kulangkahkan kaki menuju rumah. Jadwal kerja yang padat cukup menguras tenaga dan otak. Tapi masih bisa kusempatkan sedikit waktu bermain bulutangkis bersama Sita dan Fadiyah. Tidak profesional tentunya. Sekedar service, memungut cock, lalu tertawa bersama. Targetku memang hanyalah memasuki dunia kanak gadis-gadis kecil berusia 9 tahun itu. Tulisan ini aku ikutkan pada event 8 minggu ngeblog bersama anging mammiri, pekan keenam.
***
Memperpendek sekat. Meminimalisir jarak. Menghadirkan cinta. Bukan
mengabaikan batas. Biar bagaimanapun, usiaku jauh lebih tua dan posisiku
sebagai orang tua mereka di sekolah tetap mengharuskan tata krama, sopan
santun. Sedekat apapun hubunganku dengan anak-anak, aku tetap mengajarkan
aturan. Aku harus memperlihatkan teladan penempatan sikap. Saat-saat serius, bercanda,
marah, bermain, memeluk, menghukum.
Bukan hal yang mudah. Mendidik ratusan anak sementara aku belum
memiliki anak sendiri. Dua sisi yang aneh tapi syukurnya bisa kulakoni. Modalku hanya menyayangi mereka, membaca buku, dan
sharing dengan teman-teman ataupun orang tua mereka. Aku berusaha menghadirkan
hati yang utuh jika berhadapan dengan anak-anak yang unyu-unyu itu. Meski tidak
terlahir dari rahimku, mereka amanah Allah yang dititipkan untuk kudidik
bersama rekan guru yang lain. Waktunya pun telah ditentukan. Bukan 6 tahun
karena ada yang pindah dan ada yang murid baru. Aku berusaha semaksimal mungkin
melakukan yang terbaik.
Posisiku di bagian
kesiswaan membuatku tidak hanya mengurusi satu kelas saja tapi semuanya. Banyak
kejadian seru, lucu, mendebarkan, membangkitkan emosi. Aku manusia biasa yang
emosional. Syukurnya, sejauh ini, di depan murid-murid, emosi itu bisa
kukontrol hingga tidak kebablasan. Mengontrol emosi bukan berarti bebas dari
hukuman. Posisi ini juga yang membuatku menjadi eksekutor. Jika ada sikap murid
yang tidak bisa diatasi oleh wali kelas, akulah yang dicari. Semua anak sudah
tahu bahwa jika namaku disebut saat mereka berbuat kesalahan maka kesalahan itu
fatal.
Aku keras, iya. Pada kondisi tertentu. Pada kesalahan anak yang
tidak bisa ditolerir. Memukul teman, berbohong, tidak menghormati guru. Hukuman
bukan hal tabu. Rasulullah meminta orang tua untuk memukul anaknya jika di usia
10 tahun tidak melaksanakan sholat. Tentunya, hukuman di sekolah tidak
dibenarkan menggunakan fisik. Jika guruku di sekolah dasar dulu boleh menjewer
murid yang bandel, maka sekarang tidak boleh lagi. Secara hukum dan secara
psikologis.
Aku belajar cara menghukum anak yang sejauh ini lumayan efektif
melalui tayangan The Nanny Show di M*tro TV. Anak harus tahu bahwa hukuman yang
diberikan bukan karena kita membencinya tapi tidak menyukai perbuatannya.
Jangan menghukumnya di depan orang banyak apalagi di depan teman-temannya. Hal
tersebut akan menjatuhkan harga dirinya. Toh, kesalahan hal yang manusiawi
bukan?! Semua orang pasti pernah mengalaminya. Hanya saja, tidak boleh
dilakukan pembiaran. Takutnya menjadi karakter yang negatif.
Syukurnya, rasa sayang anak-anak tidak berubah menjadi benci
karena posisiku. Anak-anak akhwat (perempuan) sesekali masih memelukku.
Anak-anak ikhwan (laki-laki) masih menyambut kedatanganku. Aku berusaha tidak
menjadi eksekutor semata. Aku ingin menjadi guru, ibu, kakak, sekaligus teman.
Aku ingin menjadi bagian kecil dari proses-proses pencapaian masa depan mereka.
Kelak ketika mereka telah dewasa, mereka akan tetap memanggilku Ibu Guru Isma.
***
Isma kecil bercita-cita menjadi dokter. Saat orang-orang berkata
kalau LBBku (latihan baris berbaris) bagus, beralihnya mau menjadi Polwan. Tapi
setelah mampu menganalisa dan mulai dewasa, aku mau menjadi ibu rumah tangga
dan seorang penulis. Guru tidak termasuk dalam list cita-citaku.
Profesi guru terlalu mulia untukku, aku merasanya begitu. Pahlawan
tanpa tanda jasa, sementara aku senang dengan imbalan. Mau jasa ataupun yang
lainnya. Tulus dan hidup memprihatinkan, sementara sejak kecil aku hidup nyaman
jika dibandingkan dengan teman-temanku yang lain.
Ketika kuliah, aku lulus di Fakultas MIPA UNHAS, Jurusan Biologi.
Sains murni. Sama sekali tidak ada mata kuliah kependidikannya. Alumninya kelak
akan menjadi peneliti, laboran, dosen. Meski tak sedikit yang menjadi pegawai
bank atau profesi lain yang tidak sesuai dengan bidang ilmu. Aku salah seorang
alumni yang memilih jalur berbeda.
Gelar sarjana sains tidak diakomodir menjadi guru negeri. Tapi
munculnya sekolah-sekolah swasta membuka peluang buatku untuk berkiprah disana
meskipun dengan pengetahuan yang minim. Bukan sebagai pelarian sarjana muda
yang tak jua dapat kerja. Bukan pula hanya untuk mengisi waktu. Aku menyadari
menjadi guru bukan profesi yang sembarangan. Baik buruk seorang anak akan
diamanahkan di tanganku.
Awalnya aku ditawari oleh seorang kawan. Saat sekolah kami berkecimpung di organisasi yang sama. Organisasi pelajar tertua di Indonesia.
Sejak SMA kelas satu aku memang aktif di organisasi tersebut. Permasalahan serta
solusi pendidikan, kepelajaran, keindonesiaan, dan keIslaman kami selami. Tidak
terbatas teori tapi juga praktek yang terorganisir. Kami tidak asing di dunia
pendidikan. membuat training dan menjadi instruktur. Hanya saja aku belum pernah bersentuhan dengan kurikukum (RPP,
silabus, prota, prosem, kkm, dll).
Kompetensi yang harus kusiapkan saat wawancara untuk menjadi tenaga pengajar adalah makalah
tentang pendidikan Islam terpadu, kelancaran membaca Al Qur'an, kecintaan pada
anak-anak, loyalitas dengan jam kerja yang panjang bahkan lembur tanpa dibayar,
kreativitas yang tinggi, dan mau belajar. Aku lulus dan diizinkan magang untuk
mempelajari kurikulum, perangkat pembelajaran, dan segala hal yang berhubungan
dengan kompetensi keguruan. Asing tapi lumayan mudah dipelajari. Kendala pasti
ada. Tapi belajar terus dilakukan hingga akhir hayat, bukan. Aku juga memiliki
keinginan kuat untuk belajar formal lagi. Aku merasa banyak ilmu yang harus
kujelajahi. Ilmuku terasa amat minim.
Sudah tiga tahun lebih lima bulan kujalani profesi ini. Aku nyaris
jatuh cinta tiap hari. Pada anak-anak, pada gedung sekolah, pada program-program
sekolah, pada kelas-kelas yang kumasuki, pada kedekatan rekan sejawat, pada
sapa ramah pegawai, pada kepercayaan pengurus yayasan, pada kegiatan
peningkatan ruhiyah, pada semuanya. Aku yang pembosan ini berhasil dibetahkan.
***
Deru bentor (becak motor) membawaku meninggalkan gedung hijau tempatku berjuang mencerdaskan anak bangsa tiap hari. Sesampai di sarang (rumah), segera kurebahkan badan di kasur busa yang tak begitu empuk sambil menunggu adzan magrib berkumandang. Aku seorang berijazah non-pendidikan tapi berprofesi sebagai guru. Sebagai proyek akhirat sekaligus sumber penghasilan. Aku guru yang berusaha selalu mencintai anak-anak, lewat penghargaan ataupun hukuman, kedekatan ataupun ketegasan. Semoga...
3 comments:
Ooh masya Allah Isma, saya jatuh cinta padamu membaca tulisan ini. Saya suka jatuh cinta sama guru yang betul2 sadar akan profesinya, bukan semata orang yang sedang MENCARI UANG melalui profesinya. Subhanallah.
Tetaplah seperti itu sampai maut menjemputmu ya. Insya Allah hanya Allah yang bisa membalasnya. Salutku, Isma.
Ooh masya Allah Isma, saya jatuh cinta padamu membaca tulisan ini. Saya suka jatuh cinta sama guru yang betul2 sadar akan profesinya, bukan semata orang yang sedang MENCARI UANG melalui profesinya. Subhanallah.
Tetaplah seperti itu sampai maut menjemputmu ya. Insya Allah hanya Allah yang bisa membalasnya. Salutku, Isma.
Aduh, hati saya bermekaran dijatuh cintai oleh bunda Niar...
Menjadi guru adalah jalan cinta yang dihadiahkan Allah untuk sy bun... Saya disembuhkan dari penyakit sepi, saya punya tempat memulangkan keletihan hidup di wajah polos anak-anak, saya merasa berharga karena disayang mereka, saya dimotivasi untuk selalu lebih baik tiap hari, saya... Ah... Terlalu banyak hal yang mesti saya ungkapkan... Doakan Isma ttp istiqomah bun...
Post a Comment