Wednesday 10 April 2013

Mencari Rumah, Mendapat Kasih Sekitar



Aku selalu menginginkan sebuah tempat tinggal, rumah. Bagiku rumah adalah barang berharga dan mewah untuk didapatkan. Gambaran tentang keluarga harmonis yang hidup di sebuah rumah sederhana dan berhalaman luas menjadi impianku. Tulisanku tentang rumah dan sekitarku kali ini coba diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama angingmammiri, minggu pertama. Mencoba belajar menulis dan membagi isi hati.

http://pandadila.blogspot.com/2012/08/rumah-kartun.jpg
Yah, sejak tahun 1983 sampai sekarang keluargaku tak memiliki rumah dalam artian sesungguhnya. Saat menikah dan memiliki 4 anak perempuan, orang tuaku tinggal di rumah nenek dari ibu, di salah satu sudut kota Ujung Pandang (Makassar saat itu). Kala itu nama jalannya Korban 40.000 jiwa. sekarang menjadi Jl. Rappokalling Raya. 7 tahun menumpang, ayahku dipindahtugaskan ke salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan. Kami menghuni sebuah rumah. Rumah dinas. Bagiku tempat itu bukan rumah sebab setiap saat jika dipindahtugaskan lagi, kami harus meninggalkan tempat yg memang bukan milik kami. Tak ada perasaan kehilangan. Hingga sekarang berpangkat perwira, ayahku tak mampu (mau) menghadirkan sebuah rumah untuk keluarganya. Rumah dinas dan rumah istri barunya tak pernah kuanggap sebagai rumah kami, rumahku. Tak pernah ada keinginan kuat untuk pulang atau tinggal berlama-lama.

Kalimatku tentang "tak punya rumah" sempat membuat tanteku, kakak tertua ayahku, menangis memdengarnya. Menurutnya, rumah peninggalan nenek dari keluarga ayah adalah rumahku. Rumah untuk keempat ponakan perempuannya yang tak lagi memiliki ibu. Tapi tetap saja, bagiku rumah itu bukan rumahku. Disana hanyalah tempat pulang kampung saat lebaran.
Lebaran 2011

Saat mahasiswa, aku memiliki tempat tinggal sendiri yang kunamai "sarang", bukan rumah. Ramsis UNHAS, Pondok Anggrek Bulan, Pondok Annisa, Pondok Ta'arruf, dan pondokan lain yang tak kuingat namanya. Mereka semua sarangku. Aku cukup pembosan hingga memudahkanku berpindah dari sarang satu ke sarang yang lain, mungkin turunan dari kebiasaan keluargaku. Aku hanya menjadikannya tempat persinggahan jika aku tidak di kampus, tidak di rumah atau kosan teman, tidak di rumah tante, tidak camping, tidak bepergian.  Tak cukup terjalin hubungan emosional dengan petak 3x4 itu, termasuk para penghuninya, yang bisa mencegahku agar tetap bertahan lama. Mereka bukan rumahku. Aku tak bisa memilikinya, tak ada rasa kehilangan, tak ada cinta di sana.

Aku masih terus menginginkan rumah. Ketika tuntutan pekerjaan di perbatasan Makassar-Gowa mengharuskanku mencari tempat tinggal di dekat kantor agar tidak terlambat. (Jam masuknya 07.00, telat 1 menit didenda Rp.1000). Kulanjutkan petualanganku mencari tempat tinggal. Setelah hunting sana sini, dibantu oleh seorang lelaki sederhana yang baik karena mau menyayangiku, aku menemukan sarang baru. Cocok dengan kriteriaku. Dekat dengan tempat beraktifitas, air PAM lancar, aman, privacy terjaga, dan murah. Kriteria terakhir adalah kriteria utama yang sering jadi olok-olokan adikku. "Edede, Ongkeng. Tempat tinggalnya selalu kumuh". Dan seperti biasa, dia selalu benar. Murah dan kumuh selalu saja bergandengan.

Sarang baruku tak bernama. Lokasinya di belakang SD Katangka, lorong 3,  sekitar 200 meter dari Mesjid Tua Katangka. Cat putih di semua dinding sudah memudar. Kamar 1-4 berada di satu bangunan dan berhadapan dengan bangunan kedua yang terdiri atas dua lantai, 12 kamar.  Penghuninya beragam, ada yang berkeluarga maupun single ladies sepertiku.  Profesinya pun bermacam-macam. Buruh bangunan, buruh cuci, tukang bentor, siswa pelayaran, pegawai kesehatan, mahasiswi, dan guru. Kamarku awalnya di lantai 2. Memiliki tiga ruang yang bisa digunakan sebagai ruang tamu, ruang tidur, dan dapur. Sekarang aku pindah ke bawah. Dengan jumlah ruangan yang sama tapi lebih sejuk.
eeshcollect2013
Sarang kumuh ini sudah kuhuni sejak Oktober 2010. Kupecahkan rekorku berada di satu tempat lebih dari setahun. Aku merasa sarangku kali ini cukup membuatku nyaman. Aku seperti berada dalam pelukan yang mendamaikan kepenatan kerjaku. Kubuka pintu lalu menutupnya untuk mengisolasi diriku dari dunia luar di saat-saat tertentu. Membaringkan diri di kasur busa yang tak empuk, lalu menyelimuti diri dengan selimut warisan ibu, aku merasa damai. Aku bisa tidur berjam-jam hingga keesokan harinya kadang kebablasan tidak ngantor.

Aku pernah melakukan program les untuk anak-anak tetanggaku. Les mengaji, matematika, dan bahasa inggris kami lakukan di ruangan yang kujadikan ruang tamu. Sebenarnya aku bukanlah orang yang jago untuk materi-materi tersebut. Tapi permintaan dari orang tua mereka tak bisa kutolak. Aku menamakannya Rainbow School. Proyek sosialku. Lagipula, aku sudah cukup gerah dengan bahasa mereka sehari-hari. Aku harus berkontribusi. Harus ada yang memberitahu anak-anak itu jika kata umpatan yang sering dilontarkan orang tua mereka tak patut ditiru.  Perilaku keseharian mereka yang mengedepankan tangan daripada sopan santun itu tidak wajar.  Aku hanya ingin, mereka merasakan belajar itu menyenangkan tanpa cubitan di paha seperti yang mereka dapatkan di sekolah. Rainbow School hanya bertahan 3 bulan. Kesibukan baruku sebagai wakil pimpinan sangat menyita waktu dan energiku. Lapipula, partnerku yang mengajar bahasa Inggris jatuh cinta padaku. Padahal dia sudah memiliki rumah berisi istri dan seorang anak balita.

Tetangga-tetanggaku, tetangga kamar (sarang) maupun tetangga pondokan tak bernama ini juga sangat ramah. Mereka termasuk yang memasukkan anaknya di Rainbow school. Saat bertemu, tak terlepas sapa atau hanya sekedar senyum. Juga tukang bentor yang selalu menungguku di ujung lorong. Menanti kedatanganku dengan waktu acak, tak tentu. Tempat ini kumuh, tapi hati penghuninya tidak, yakinku.

Tempat tinggalku juga memiliki seorang stabilisator. Namanya Ka Marlin. Orangnya blak-blakan tapi baik dan perhatian. Dia kerapkali menyelamatkan jemuranku saat hujan turun, melipatnya dengan rapi, lalu menyuruh anak perempuannya membawa pakaian-pakaian itu ke kamarku. Dia menjadi petugas yang menagih uang sewa bulanan. mengumpulkan sumbangan untuk perbaikan sarana atau untuk fee petugas pembersih selokan. Memastikan tidak ada air kran yang mengalir percuma. Meredam ributnya siswa-siswa pelayaran di saat jam istirahat. Mengakrabkanku dengan anak-anaknya yang selalu menyapaku dengan lucunya “Ka Icmaaa”. Meski kami berbeda keyakinan dan dia kerap bermain kartu menggunakan taruhan (syukurlah sekarang sudah tidak), aku menemukan rasa kekeluargaan pada diri Ka Marlin dan keluarganya. Aku menamakannya sahabat jiwa.

Kali ini, aku ingin mengakhirkan pencarianku. Aku ingin menamai sarang tak bernama ini dengan "rumah". Aku menemukan beberapa syarat yang telah dia penuhi, meski tak sempurna. Memang tak ada namaku di akta kepemilikannya. Tapi aku selalu ingin pulang. Pulang dari hiruk pikuk hidup yang kadang menghantamku. Pulang untuk menemukan cinta, cinta yang dititipkan Tuhan agar aku menjaga sebaik-baik ciptaanNya, sosok gadis kesepian yang sedang berdiri gamang di depan cermin ruang tamu rumahku. Pulang, karena aku kini memiliki tempat tinggal yang mulai kunamakan “rumah”, bukan lagi sekedar sarang.


13 comments:

Bunga Tongeng Andi said...

Selamat atas terpilihnya Sarang terakhir sebagai rumah.

Mugniar said...

Waah jarang2 tinggal di satu tempat dalam setahun? Bisanya di' ... :)
Seru juga pengalamannya, pasti teman ta' banyak ...

FS said...

Selamat buat rekor.x hhh
Sedih ato terharu yah. Namanx!!!

Kata... Orang irlandia dulu.. Rumah adalah ibarat jiwa seseorang.

Walaupun rumah gak mentok dngn pengartian umum.x..

Selamat jg buat rumah.x yg sekarang.
:-)

KATALIS HATI said...

qaqa Bunga... terima kasih... petualangan tak pernah berakhir...heheh

qaqa Mugniar... banyak teman kk dan sy lumayan pelupa

qaqa Ferdy, sy kyk org Irlandia dulu deh...

Catcilku said...

Wah, seru ceritanya tentang rumah. Salam kenal

Pia said...

Dalem dagh B-)

KATALIS HATI said...

kk Catcil (gak tau namax siapa..heheh) Sy baru belajar nulis kk. Mohon bimbingannya. Salam kenal balik.

kk Pia... hehhe...susah dibedakan nulis cerita atau curhat ya kk? :)

Artha Amalia said...

memang sedih kalau 'tak punya rumah'. saya juga serasa begitu setelah 'keluar' dari rumah. syukurlah kemudian menemukan rumah baru. asal hati senang dan selalu bersyukur, 'rumah' selalu ada dan dihuni orang2 yang kita sayang juga menyayangi kita ^^

semangat Kakak!

Dwi Ananta said...

Selamat ya telah menemuka rumah ^^ Gadis Kecilku sebentara masih mencari "rumah"-nya

Nanie said...

sama kayak saya, saya jarang betah bertahan di satu kost, teman2 sampe menjuluki nomaden saking seringnya saya pindah2 :)) salam kenal ya, saya suka tulisannya :D

KATALIS HATI said...

ade Arga Litha...makasiiii

kk dweedy ananta... salam untuk gadis kecilnya. salam kenal...

kk Nanie...salam kenal... mohon bimbingannya. saya sangat senang diajak belajar menulis. :)

Vanisa Desfriani said...

terharu ..

berandadunia said...

perjuangan yang luar biasa. semoga rumah sekarang menjadi rumah yang nyaman dan tenang untuk mengukir kisah-kisah bersejarah.. salam kenal..
BerandaDunia