Saturday 13 April 2013

Tulisan yang dipindahkan dari catatan fesbuk (MAMMI)

1 April Lagi
 Seperti mengulang waktu, aku tak bisa mencegahnya
Mengenangmu dalam kesuraman sudut kamar
Memeluk lutut, mencoba menyembunyikan basah luka jiwa
Hati dan mataku kembali bersahabat dengan sakit
Ibu, aku mengusik lagi
Aku rindu menyelusupkan tangis di pelukmu.

*010400-010413*

1 April 2012
Kali ini tak ada linangan air mata...semoga bentuk keikhlasan. Sudah begitu lama, tapi hal yang tak dapat kusangkal bahwa aku tak bisa kehilangan kenangan. Maafkan Imma Mam... belum bisa menjadi anak yg baik. Imma, Nenni, Penni, Miya... selalu mencinta meski dengan cara berbeda. Kini ada Wiwi, Aling, Naya... tetap saja tanpamu ada yg berbeda. Pappi kita sudah menua. Dalam kekurangankelebihannya, sering kulihat dimatanya menyiratkan rindu untukmu. Mam... Miss u...


1 April 2011
Mam... kali ini tak ada airmata
anak gadismu tak lagi mengurung diri di kamar gelap sambil membekap mulut yang terisak
rasa besar hati, ikhlas, atau rela...
atau hatiku sedang linglung sebab telah ada yang menawarkan dekapnya untuk bersandar?
entahlah...
yang aku tau, adegan per adegan kepergianmu masih tergambar jelas
hati ini masih getas
benci akan cinta yang menyebabkan darah di kafanmu tak menjadi bias
tapi sungguh... aku selalu ingin memeluk dan mencium wajah cantikmu.

Keep Rest in peace mam. i love u...

1 April 2010
-1
Matahari nyaris mencapai teriknya saat tiba-tiba panggilan datang untukku. Kucari kesalahan, hari ini aku baik-baik saja. Mereka menatapku iba. Aku masih tak mengerti. TAk ada hukuman, aku malah diminta untuk pergi tanpa membawa tas dan buku-buku. Kucari jawaban dalam wajah sang utusan. Kutau dia menyembunyikan sesuatu di balik laju motornya yang kencang. Aku meraba tapi pikiranku tetap buta.
Dalam angkot yang sesak, kupikirkan kemungkinan terburuk. Firasat membuat mataku menangis. Tapi mengetahui apa yang terjadi, belum kudapati. Orang-orang menatapku heran. Tubuhku ringan melewati jarak tiga kecamatan. Kota yang kutuju tempat keluargaku tinggal didepan mata. Airmataku semakin deras mengalir. TAk mungkin kondisi biasa membuat pappi harus memanggilku sejauh itu, di waktu belajar pula. Pasti ada hal besar yang terjadi. Aku berdzikir...Ya Allah, aku butuh dikuatkan.
Atap rumah tempat mereka diizinkan sudah dapat kulihat. Tpi sepanjang jalan lengang. Surprise partykah? Ah, hari ini bukan saat istimewa. LAgipula tak ada tradisi perayaan dalam keluargaku. Aku mempercepat langkah. Kudapati sepupuku yang mengalami dindrom down berteriak jelas "Tta Onte.. adaki kk Imma.... Kk Imma... meninggalki Puang Indang". Meninggal...Mammiku??? Mati? Wafat? GAk ada? Aku merasa tanah yang kupijak berputar keras. Tulangku Hilang. darahku membeku... Sesaat aku kehilangan kesadaran. Tuhan, doaku kau kabulkan tapi rasanya aku tak sanggup.
Tubuh lunglaiku dipapah, Ibu tetangga memelukku erat sambil terisak. Aku tak bergeming. Mulutku terkatup rapat. Air mataku mengalir diam. Ternyata sudah sampai waktunya...
Angin mengeringkan basah wajahku. Kuhela nafas dalam-dalam. Aku harus bisa menegarkan hatiku. Ini jalan terbaik yang dipilihkan Tuhan. Perempuan luarbiasa itu sudah sangat tersiksa dengan hidupnya. Di alam sana dia akan lebih tenang. Orang-orang menatapku cemas. Mereka takut aku sebegitu terpukulnya lalu tak menerima kenyataan. Aku hanya menggeleng. Aku tegar, kataku tanpa suara.
Aku berlari saat mobil pickup yang membawa kami menuju desa tempat jasad mammiku akan dimakamkan nyaris berhenti. Mereka tak sanggup memegang berontak tanganku. Aku menaiki tangga tanpa peduli sekelilingku. Aku ingin melihat wajah cantik yang kemarin memaksakuku untuk menginap bersamanya tapi aku tak bisa. Aku ingin memeluk tubuh mengurus yang kemarin kupeluk dengan cinta. Aku ingin mencium tangan yang kemarin menggilir meotong kuku-kuku kami. Aku ingin...
Tapi yang kulakukan hanya membuka kafan penutup wajahnya lalu mencium keningnya sambil berbisik lirih di dalam hati "Kuikhlaskan hatiku melepasmu ibu...". Aku terduduk lelah. Hatiku tak berasa. Kudengar sedu sedan dari kakak, adik-adikku,pappiku, orang-orang disekelilingku. Semuanya sedih. Keseka airmata. Kutarik nafasku yang sesak. Akan ada kehidupan anak manusia yang akan berubah. Penyanggahnya telah patah. Masa remaja harus dilalui masing-masing. Sendiri adalah kata yang menakutkan bagi anak-anak yang dimanja, bahkan masih disuapi makannya. Aku takut. Air mataku juga mewakili kematian keluarga ini.
Saat tubuh kurusnya akan dimandikan. Nafasku sesak. Tangisku pecah dengan mulut yang tersumpal bantal. Tegar, menyakitkanku. Tapi lagi-lagi aku harus kuat. Siapa yang akan menguatkan mereka jika bukan aku. Kubasuh kaki kakunya. Kuhantarkan pemakamannya, yang kafannya masih basah oleh darah. Aku bersimpuh berdoa diatas tanah merah yang basah. Aku berdoa semoga dosanya diampuni dan amal ibadahnya diterima. Lunglai kakiku melangkah pulang. Besok, akan ada hari yang tak akan pernah sama lagi. Besok, ada tawa untuk menyembunyikan duka. Ada tegar untuk membentengii sepi. Ada beragam aktifitas untuk menyelubungi airmata.
Dan memang benar... sejak saat itu... kubangun istana maya. Yang ada, aku hanya berjuang untuk tetap hidup dan tidak menyerah pada kematian sebelum saat yang ditentukan tiba.
Maafkan Imma mammi, masih menyapa mengganggu di lelap tidurmu. Love u so much. Miss u so much. Need u so much.
Imma masih menangis Mam...maaf. Imma rindu mammi...

-2
Pernah, kujatuhkan air matanya karena amarah suaminya disebabkan olehku. Tak pernah, sekalipun amarah terlontar padaku, sebesar apapun kesalahanku. Hanya menatapku hangat, membelaiku perlahan, tersenyum lembut. Pengertian, penguatan, kepercayaan, cinta... hanya dia yang mampu memberiku seluas tak berbatas. Menyita surat cinta monyet di dompet merah jambuku tanpa omelan, mengkhawatirkan keselamatanku berjalan dibelantara hutan saat pergi dan pulang dari sekolah, menyampaikan kerinduan yang sangat dalam ketidakmampuan membawaku hidup serta bersamanya, menjadikanku selalu merasa berharga dan diperlakukan sesuai keistimewaanku, melakukan pembelaan atas kekhilafan kanak remajaku. Akh,... bagaimana mungkin duniaku tak hancur lebur saat semuanya akan menjadi kenangan saja. Isma terburai menjadi kepingan puzzle rapuh tak berbentuk yang terbungkus dalam ego-Isme ketegaran. Aku kehilangan. Dan aku tau, bukan hanya aku yang merasa terpuruk saat sendiri mengenangnya dalam pesta doa dan airmata.

-3
Perempuan itu... cantik, aktif, ramah, sederhana, menyayangi siapa saja, jago masak, gaul, suka berpetualang, dicintai orang-orang... tapi menyimpan luka didalam jiwanya, membuahkn sakit menahun, batuk tak terdeteksi, muntah darah tiga kali, menguruskan tubuhnya hingga tinggal tulang, merenggut nafasnya.
Perempuan itu... memiliki selaksa cinta yang pernah kupertanyaan, tak kumengerti, lalu kubenci. Memilih mengabaikan kasih ibu untuk seorang lelaki, menelan pil pahit kehidupan demi mata bening keempat anak gadis yang disayanginya, dibanggakannya.
perempuan itu... tak membutuhkan perhiasan emas apalagi berlian mutiara. tak memperhatikan gemerlap baju pesta. tak menuntut sjengkal tanah untuk rumah yang keong pun bahkan memilikinya. rela berpindah-pindah menggotong barang-barang yang tak banyak. Dia berkata dengan tersenyum "Asalkan anak-anakku bisa makan enak"
Perempuan itu... memperjuangkan cintanya. tak henti menuai kasih ibu yang ditinggalkannya. menelan amarah saat menghadapi teman sejenis yang juga menginginkan kasih suaminya melalui jalan hitam. "ambillah jika kau menginginkannya, tapi jangan sakiti ragaku" ujarnya tegar.
Perempuan itu... perempuan istimewa yang tiada duanya. Perempuan yang menjadi guru, teladan, idola. Perempuan yang membuat orang-orang meneteskan air mata saat mengenangnya. Perempuan yang mengatakan pada semua orang "jika mau melihatku waktu muda...lihatlah Imma".
Perempuan itu... Mammiku, yang menyongsong kematian dengan memuntahkan darah hitam CINTA.

-4
rasaku tawar...samarkan berontak yang kerap terlontar. Nanar menatap pekat, redam sakit yang telah mengakar. Tak pernah ada yang salah...hanya ketidakmampuan menelaah. semua Kejadian atas restu Tuhan. memanusiawikan jika pertanyaan "mengapa" selalu ada.
Biarkan kurayakan pesta airmata, kawan karib yang tak mengenal kata meninggalkan. mendekap retakan jiwa. menyusun puzzle dengan jemari tergetar
Aku sungguh mencintainya, meski kuberdoa agar nyawanya segera diambil
Aku mencintainya melebihi aku mencintai nyawaku, meski kutakmampu menyeka darah yang merenggut hidupnya, membasahi kafannya.
Kematiannya adalah kematian ruh keluarga anehku, kematian kebahagiaanku, kematianku secara diam-diam, perlahan.
10 tahun, 120 bulan, 3600 hari, 86400 jam, 5184000 menit, 311040000 detik... tak lekang dibenakku, di hatiku
Kehilangan atas kepemilikan sang Pemilik Tunggal, kumerapuh dalam kelu. kubertahan dalam kesepian, kudongakkan kepala dalam doa. AKU...tak pernah ada yang sama. Meringkuk dalam kubangan tangis, melega dalam uluran tangan, berontak dalam ketidakmampuan melawan, berlari dalam topan kekaguman ataupun cibiran, tersungkur dalam sujud yang tak tersempurnakan.
Sungguh, aku tak tau dimana muaraku. Yang aku tau, sejak kehilangangmu, tak mampuku berpijak tegar jika Dia tak bersamaku.

1 April 2009
bunda kita akan bahagia di sana dengan doa-doa kita...

hidup ini,
tertatih ini,
sendiri ini, 
Perih.............

Damai itu,
indah itu,
cinta itu,
Dirimu............

Sembilan tahun,
tak pernah ada yang menggantikan tempatmu
Mammiku sayang,
anakmu hanya mampu kirimkan doa rindu


No comments: