Monday 15 April 2013

Menulislah Isma


Salah satu terapi kejiwaan adalah dengan menulis. Yah, pada saat masalah menghantam jiwa dan stres mulai melanda, maka dibutuhkan pengendali agar tidak menjadi gila atau minimal tidak merugikan hari-hari kita. Pada kondisi tersebut, kerapkali kita merasa bahwa berbicara dengan orang lain bukanlah solusi terbaik. Hanya kita yang memahami masalah yang kita hadapi. Berbicara dengan teman, sahabat, orang tua, atau dengan yang lainnya bisa jadi menuai respon yang kita tidak inginkan, bahkan terkesan menyalahkan. Akan menambah masalah dan menyebabkan keterpurukan yang dalam. Makanya, menulislah.

Tinta dan kertas tak pernah berkhianat. Mereka setia dan tidak cerewet. Kita bisa menuliskan apa saja, semau kita. Perasaan yang bercampur aduk, kemarahan, kesepian, kekecewaan, kerinduan, bahkan perasaan yang kita tidak mengerti sama sekali. Tulisan-tulisan kita tidak akan berbalik menyalahkan atau memberi nasehat yang kita tidak ingin dengar. Mereka siap menampung uneg-uneg kita dan tidak menceritakan kembali kepada yang lain kecuali kita teledor menyimpannya.

Saya intens menulis (diary) sejak SMP kelas 1. Memang sih, selain matematika, saat SD saya paling suka pelajaran Bahasa Indonesia jika diminta untuk menuliskan pengalaman pribadi setelah liburan. Saya selalu menyelesaikan pertama kali dan mendapat nilai bagus. :). Tapi untuk rutin menulis, ya saat SMP. Ketika pubertas sudah menghampiri maka sulit untuk menceritakannya ke orang lain. Didekati kakak kelas, suka sama ini, tidak suka sama ini...rasanya malu saja jika semua orang tahu. Alhasil, jadilah diary warna warni beraroma wangi yang menjadi curhatan hati di malam hari :). Seringpula saya mengasah kemampuan menulis dengan membalas surat cinta beberapa lelaki. Perlu keahlian khusus untuk menulis kalimat penolakan bernada halus agar mereka tidak tersinggung. Saya tidak mau pacaran. Apalagi masih SMP. :(.

 Saya juga sudah mulai menulis puisi yang dikonsumsi pribadi. Apalagi sejak ibu meninggal dunia. Hanya kata-kata yang mampu saya jadikan tempat berbagi. Menulis menjadi sarana pelarian duka cita. Saya tidak boleh mengumbar kesedihan sebab keluarga akan turut bersedih dalam waktu yang lama. Saya harus kuat, dimata mereka. Maka pada kata dan puisilah saya melampaiskan tangis.

Kebiasaan dan kesenangan menulis berlanjut saat di SMA. Bukan lagi sekedar pelampiasan masalah. Menulis kini bukan hanya terbatas pada diary. Saya dan kelima teman bergabung dalam komunitas KIR (Kelompik Ilmiah Remaja) yang dibimbing oleh Pak Muhannis,  guru bahasa Jerman kala itu dan seorang budayawan. Kami dibimbing untuk menulis karya tulis ilmiah populer. Beberapa kali kami mengikuti lomba menulis antar kabupaten. Saya tidak pernah menjadi pemenang pertama :).  

Juara bukan prioritas atau mungkin keahlian saya. Saya cukup bangga menjadi bagian dari komunitas kepenulisan yang peduli pada bakat pelajar sekaligus perhatian terhadap budaya lokal. Menulis dan jalan-jalan, dua hal yang menjadi possion saya. Untuk observasi atau sekedar dekat dengan budaya lokal,kami pernah mengunjungi kampung adat Karampuang. Kami juga pernah nginap di sebuah kampung terpencil di kec. Sinjai Tengah yang memiliki kepercayaan unik tentang leluhur mereka. Kami juga pernah menjelajahi pesisir Bulukumba, mengunjungi Kajang, dan menginap di pantai Ara lalu mendatangi sebuah gua yang dijadikan tempat penyimpanan  makam kayu oleh orang-orang di zaman dahulu. (Spertinya saya harus menulis khusus tentang perjalanan saya). Biaya perjalanan kami diambil dari uang hadiah hasil lomba yang disisihkan.

Saya dan teman-teman lumayan terpicu dan berpacu untuk menulis karena sering diikutkan  dalam perlombaan. Saya pernah membuat tulisan dengan tema Dampak TV Bagi Pelajar, Sistem Pertanian Tradisional di Kab. Sinjai, dan Asal Usul Nama Desa Pattalassang. Tulisan terakhir berhasil memjadi juara 2 dan dibukukan bersama pemenang yang lain oleh sebuah yayasan dari Jepang. Sangat bangga kala itu karena akhirnya punya karya dan punya buku meski proyek bersama. Sayangnya, buku jatah saya hilang. Teman-teman saya juga sudah tidak memilikinya. Satu-satunya bukti tersimpan di perpustakaan daerah Sinjai :(.

Selepas SMA, saya kehilangan komunitas. Tapi diary tetap setia menemani. Kembalilah saya menulis untuk diri sendiri. Saat saya jatuh cinta pada senior dan di pemahaman agama saya kala itu dilarang untuk memgungkapkannya kecuali dalam pernikahan, diarylah yang jadi pelarian. Saat kegelisahan tentang dunia kahasiswaan mengganggu isi kepala, diarylah yang menjadi tempat pelampiasan (karena saya tidak suka ikut demonstrasi). Kadang menulis puisi lalu dikirim ke radio kampus dengan memggunakan nama samaran.

 Sering mencoba cari komunitas baru untuk menambah ilmu tapi belum menemukan yang cocok di hati. Lalu saya mencoba menggerakkan teman-teman untuk sama-sama menulis dan menerbitkannya dalam buletin. Alhamdulillah, terbit satu edisi. Selebihnya hanya bergelayut pada ide dan obsesi. Sampai sekarang, buletin edisi selanjutnya belum juga terbit. Menulis untuk konsumsi publik ternyata tak semudah kelihatannya, meski tak mustahil pula.

Menulis, yah... Menulislah. Karena waktu akan pergi dan tulisanlah yang merekam jejaknya. Lucu saja rasanya jika kembali membaca tulisan yang dulu. Mengingatkan kejadian yang terlupakan, menjadi bukti valid peristiwa masa lalu. Membaca kembali curahan hati atau beberapa karya seringkali menyembuhkan luka kesendirian yang kerap muncul.

"Ikatlah ilmu dengan tulisan" kata-kata bijak yang pernah saya dengar. Al Qur'an pada masa khalifah Usman juga akhirnya diputuskan untuk dituliskan demi menjaga keberlangsungan pengetahuan. Maka, menulislah Isma... :). Setelah membaca tentunya. Ikatlah makna-makna yang kau temui disekitarmu pada kata. Orang lain belum tentu menemukannya atau bisa jadi mereka pada sudut pandang yang berbeda. Menulislah dan berbagilah pada dunia. :).


2 comments:

winditeguh said...

siiip, menulislah terus karena dengan menulis kita akan abadi

KATALIS HATI said...

asiiiik... mari mengabadi lewat kata
-makasi dukungannya-