Wednesday 24 April 2013

Tiga Perempuan yang Kuanggap Ibu...


Tema event ngeblog pekan ketiga ini menggugat beragam emosi di hati saya. Perempuan inspiratif... huaaaaa... Mungkin akan sedikit mengorek luka lama. Juga bingung memilih perempuan yang mana. Begitu banyak perempuan yang menginspirasi kehidupan saya.  Kali ini, saya memilih tiga. Tulisan yang saya beri judul "Tiga Perempuan yang Kuanggap Ibu" ini diikutkan dalam 8-minggu ngeblog bersama anging mammiri pada minggu ketiga.

I.

Namanya Harmah Indah. Sosok perempuan cantik, aktif, jago masak, loyal, ramah, dan begitu mengabdi pada keluarga. Beliau istri seorang aparat. Kekaguman saya tak terbendung lalu mengidolakannya. Beliau sosok perempuan lengkap. Memiliki empat anak perempuan yang sehat, cantik, dan berprestasi di sekolah. Sering mengajak mereka nonton film atau berpetualangan menjelajahi tempat-tempat baru. Menjalani peran sebagai ibu rumah tangga yang sukses. Mengerjakan pekerjaan rumah sendirian. Bersosialisasi  baik dengan tetangga. Aktif menjalani peran sebagai ketua ranting bayangkari. Mengikuti lomba tennis meja, lomba memasak, lomba mengaji hingga mewakili kabupaten di event-event wilayah. 

Bukan hanya saya yang mengidolakannya. Ada teman saya yang bahkan menuntut ibunya agar seperti beliau. Ibu teman saya tak jago masak.

Saya membutuhkan waktu yang lama untuk menyadari bahwa beliau menyembunyikan bara dalam hidup. Mungkin itulah hebatnya karena dia perempuan. Rela menjadi tumbal demi kebahagian orang-orang di sekitarnya. 

Saya mencoba mencerna, apa alasan logis beliau menyembunyikan rasa sakit dan bertahan di atas penderitaan. Semua alasan yang menjadikan saya kagum padanya memudar hingga menghilang digerogoti penyakit tak terdeteksi medis. Beliau menjadi tak secantik dan sesehat sebelumnya. Tak bisa lagi aktif di organisasi, jalan-jalan di batasi, hanya urusan rumah yang difokuskan dengan kondisi sakit menahun yang diderita.

1 April, penyakit itu merenggut nyawa beliau dengan darah yang masih membasahi kafan hingga di pemakaman. Saya menahan tangis saat itu. Saya akhirnya tahu jika beliau sakit disebabkan pengkhianatan sang suami. Ada perempuan lain yang mengiriminya teluh, perempuan itu sudah mengaku di hadapan beliau. Beliau bertahan menanggung rasa sakit demi cinta kepada anak-anak gadisnya. Beliau tidak mau, anak-anaknya terlantar dan tak terurus. Perempuan itu berkorban. Perempuan itu yang mengizinkan rahimnya mengandung saya dua belas bulan. Perempuan itu ibu yang saya panggil MAMMI.


II. 
Namanya Sitti Tuhfa. Seorang guru agama di salah satu sekolah menengah pertama di kota kecil saya. Tutur katanya lembut, perhatian, sholehah, dan selalu memeluk saya jika bertemu. Beliau single parents. Memiliki 8 anak yang taat beragama dan sukses. 

Saya mengenalnya saat duduk di bangku SMA kelas 1. Saya suka berorganisasi. Salah satu anak beliau menjadi penggerak organisasi pelajar saat itu. Saya bergabung. Ternyata sekretariat sementara di rumah beliau. Saya pun sering datang ke sana untuk rapat, pelatihan, diskusi, pengajian, dan berbagai kegiatan lainnya. Saya bahkan sering menginap.

Tidak mudah buat saya merasa nyaman pada tempat baru atau orang baru. Tapi beliau mampu membuat saya seperti menemukan sosok perempuan serupa ibu yang sudah tiada. Saya tidak merasa segan untuk memeluknya, bermanja, atau sekedar menatap wajahnya. Kadangkala, saya belum bisa mengatasi kerinduan pada ibu saya. 

Beliau memang menjadi ibu bersama. Mengizinkan kami menghuni rumahnya selama apapun, sebanyak apapun kami. Mengobrak-abrik dapurnya, menggunakan setiap ruang rumahnya, memakai barang-barangnya. Saya tidak pernah menemukan ekspresi yang berbeda sejak pertama bertemu hingga sekarang. Beliau selalu ramah dan welcome menerima kehadiran kami.

Saya sangat tahu, betapa berat menjadi perempuan yang tak menikah lagi dan menjadi orang tua tunggal. Membagi konsentrasi terhadap karir dengan urusan rumah yang dijalani tanpa sokongan seorang laki-laki (suami). Tak mudah istiqomah/konsisten terhadap aturan-aturan Ilahiah. Dalam kesendirian itu, saya merasa beliau tak kekurangan cinta. Jangankan untuk kedelapan anaknya, kepada kami pun anak-anak yang ditemuinya kala kami sudah besar tetap memiliki jatah cinta masing-masing.

"Wih, Isma. Kusayangmu sedding". Kata beliau sambil merangkul erat saat mendengar permasalahan pelik yang pernah saya alami. Saya menyembunyikan tangis. Saya merasa disayangi. 

Saat ini, beliau tinggal bertiga dengan seorang cucu berusia 4 tahun dan seorang gadis kerabat. Semua anaknya tinggal berjauhan, lintas propinsi, lintas pulau. Kadangkala, beliau mengisi waktu dengan mengunjungi mereka secara bergiliran.  Di usia yang kian menua, beliau masih menunjukkan sosok perempuan yang  saya kagumi. Beliau perempuan hebat. Beliau perempuan kuat. Beliau ibu dari sahabat saya, kami memanggilnya UMMI.

III. 
Namanya Hania Maemunah. Sosok perempuan sabar sejagat raya. Cantik, jago masak, jago menjahit. Berat badan saya naik 5 kg gara-gara masakan beliau. Memiliki tujuh anak kandung, satu diantaranya memiliki keterbelakangan mental. Beliau menginspirasi saya tentang ketulusan mencintai dan ketangguhan seorang ibu.

Saya mengenal beliau atas perantara seseorang di ruang dan waktu yang baru. Sembilan tahun setelah MAMMI meninggal dan enam tahun setelah saya meninggalkan kota kecil tempat UMMI bermukim.

 Sebagai orang yang canggung pada orang-orang dan suasana baru (lagi-lagi, saya tidak berubah), beliau membuat saya merasa nyaman dan serasa berada di rumah. Yah, rumah dan keluarga lengkap yang tidak saya miliki. Berada di dekat beliau membuat saya merasa tak sendirian lagi di muka bumi. (Kadang saya lebay dengan perasaan kesepian). Beliau menganggap saya anak sendiri. Menjadikan suaminya, ayah saya. Anak-anaknya, menjadi kakak dan adik-adik saya. Mendengarkan cerita yang kadang enggan saya bagi dengan orang lain. Mengasuh saya jika sakit. Mengajarkan saya memasak. Mengikutkan saya di acara keluarga. Membela saya jika ada yang berpandangan negatif. Ah...

Saya juga butuh waktu lama untuk memahami beliau. Sepertinya saya manusia kurang peka atau takut menduga-duga. Saya kurang begitu percaya feeling, setidaknya harus ada fakta. Saya lebih dari sekedar terhenyak saat mendengar cerita dari anak gadisnya tentang masa-masa sulit yang dilalui beliau dan anak-anaknya. Perlu keikhlasan luar biasa saat harus menerima kehadiran rumah lain untuk sang ayah. Butuh ketabahan seluas samudera saat meja makan hanya terhidang nasi dan sambal saja. Butuh kesabaran semesta saat ikut membesarkan satu persatu anak-anak lain yang bukan dari rahimnya. Perlu selaksa cinta untuk tetap memcinta sang suami, mencintai diri, dan mencintai orang lain atas luka hati perempuan yang dikhianati.

Pun, ketika jarak menjadi alasan ketidakintensan saya mengunjungi beliau menjadi penghalang. Saya tidak bisa membendung kerinduan akan sosoknya. Saya tidak bisa mencegah ketakutan jika selama ini menyakiti hatinya. Saya lalu mengunjungi beliau. Bersimpuh di sampingnya, kembali bercerita. Beliau berkata "Apapun yang terjadi, kita' (kata ganti kamu yang lebih sopan) tetap anakku. Saya tidak akan berubah Nak!". Saya menyembunyikan tangis agar beliau tak bersedih. Saya merasa diberi seribu sayap bidadari.

Jika memiliki kesempatan, saya tetap rajin berkunjung. Melihatnya di depan mesin jahit yang juga menjadi mesin penggerak ekonomi keluarga. Sesekali menikmati masakannya atau hanya sekedar meminjam mukenanya. Beliau orang tua dari seorang lelaki sederhana yang diam-diam masih saya cinta. Saya memanggil beliau, IBU.


Saya sungguh beruntung mendapatkan cinta yang begitu banyak. Saya sepatutnya lebih banyak bersyukur dari pada mengeluh. Postingan ini hanya perwakilan dari cinta kasih seorang ibu. Sesungguhnya, semua ibu hebat di dunia ini adalah sumber inspirasi saya, seorang dhoif yang masih "takut" menjadi istri dan ibu.













7 comments:

Shaela Mayasari blog said...

Tidak semua orang bisa langsung merasa akrab dan menganggap orang lain adalah ekluarga terdekatnya. Tiga perempuan yang anda ceritakan, kemudian dianggap menjadi ibu ada lah contoh orang yang mudah menerima keberadaan org lain. Salut dengan anda,, dan salam hormat untuk tiga perempuan lain.

Diah Kusumastuti said...

inspiratif sekali, Mbak.. mereka adalah perempuan-perempuan hebat yang patut kita teladani :)

KATALIS HATI said...

kk Shaela Mayasari... terima kasih... salam hormat juga untuk qt...

Mbak Diah... makasi...

haerul said...

inspiratif..,
tapi jangan takut jadi ibu, jika ingin merenggut kemuliaan, hehehe..,
Namun bukan berarti tak ada pengetahuan yang diterapkan untuk menjadi soerang ibu.

salut...
salam

KATALIS HATI said...

kk Haerul... makasi... mau belajar ini...hehe

Unknown said...

Betul2 wanita2 yang menginspirasi yah,,
salam saya yah,,,
jangan lupa mampir dimari yah hehehe

Artha Amalia said...

Ya Allah, teluh?
masih ada ya di zaman kini, jahat sekali pelakunyaaa >.<

terima kasih telah berbagi kisah, menginspirasi :)