Tema event ngeblog pekan ketiga ini menggugat beragam emosi di hati saya. Perempuan inspiratif... huaaaaa... Mungkin akan sedikit mengorek luka lama. Juga bingung memilih perempuan yang mana. Begitu banyak perempuan yang menginspirasi kehidupan saya. Kali ini, saya memilih tiga. Tulisan yang saya beri judul "Tiga Perempuan yang Kuanggap Ibu" ini diikutkan dalam 8-minggu ngeblog bersama anging mammiri pada minggu ketiga.
I.
Namanya Harmah Indah. Sosok perempuan cantik, aktif, jago
masak, loyal, ramah, dan begitu mengabdi pada keluarga. Beliau istri seorang
aparat. Kekaguman saya tak terbendung lalu mengidolakannya. Beliau sosok
perempuan lengkap. Memiliki empat anak perempuan yang sehat, cantik, dan
berprestasi di sekolah. Sering mengajak mereka nonton film atau berpetualangan
menjelajahi tempat-tempat baru. Menjalani peran sebagai ibu rumah tangga yang
sukses. Mengerjakan pekerjaan rumah sendirian. Bersosialisasi baik dengan tetangga. Aktif menjalani peran
sebagai ketua ranting bayangkari. Mengikuti lomba tennis meja, lomba memasak,
lomba mengaji hingga mewakili kabupaten di event-event wilayah.
Bukan hanya saya yang mengidolakannya. Ada teman saya yang bahkan
menuntut ibunya agar seperti beliau. Ibu teman saya tak jago masak.
Saya membutuhkan waktu yang lama untuk menyadari bahwa beliau
menyembunyikan bara dalam hidup. Mungkin itulah hebatnya karena
dia perempuan. Rela menjadi tumbal demi kebahagian orang-orang di
sekitarnya.
Saya mencoba mencerna, apa alasan logis beliau menyembunyikan rasa
sakit dan bertahan di atas penderitaan. Semua alasan yang menjadikan
saya kagum padanya memudar hingga menghilang digerogoti penyakit tak terdeteksi
medis. Beliau menjadi tak secantik dan sesehat sebelumnya. Tak bisa lagi aktif
di organisasi, jalan-jalan di batasi, hanya urusan rumah yang difokuskan dengan
kondisi sakit menahun yang diderita.
1 April, penyakit itu merenggut nyawa beliau dengan darah yang masih
membasahi kafan hingga di pemakaman. Saya menahan tangis saat itu. Saya
akhirnya tahu jika beliau sakit disebabkan pengkhianatan sang suami. Ada
perempuan lain yang mengiriminya teluh, perempuan itu sudah mengaku di hadapan
beliau. Beliau bertahan menanggung rasa sakit demi cinta kepada anak-anak
gadisnya. Beliau tidak mau, anak-anaknya terlantar dan tak terurus. Perempuan
itu berkorban. Perempuan itu yang mengizinkan rahimnya mengandung saya dua belas
bulan. Perempuan itu ibu yang saya panggil MAMMI.
II.
Namanya Sitti Tuhfa. Seorang guru agama di salah satu sekolah
menengah pertama di kota kecil saya. Tutur katanya lembut, perhatian, sholehah,
dan selalu memeluk saya jika bertemu. Beliau single parents. Memiliki 8 anak
yang taat beragama dan sukses.
Saya mengenalnya saat duduk di bangku SMA kelas 1. Saya suka
berorganisasi. Salah satu anak beliau menjadi penggerak organisasi pelajar saat
itu. Saya bergabung. Ternyata sekretariat sementara di rumah beliau. Saya pun
sering datang ke sana untuk rapat, pelatihan, diskusi, pengajian, dan berbagai
kegiatan lainnya. Saya bahkan sering menginap.
Tidak mudah buat saya merasa nyaman pada tempat baru atau orang
baru. Tapi beliau mampu membuat saya seperti menemukan sosok perempuan serupa
ibu yang sudah tiada. Saya tidak merasa segan untuk memeluknya, bermanja, atau
sekedar menatap wajahnya. Kadangkala, saya belum bisa mengatasi kerinduan pada
ibu saya.
Beliau memang menjadi ibu bersama. Mengizinkan kami menghuni
rumahnya selama apapun, sebanyak apapun kami. Mengobrak-abrik dapurnya,
menggunakan setiap ruang rumahnya, memakai barang-barangnya. Saya tidak pernah
menemukan ekspresi yang berbeda sejak pertama bertemu hingga sekarang. Beliau
selalu ramah dan welcome menerima kehadiran kami.
Saya sangat tahu, betapa berat menjadi perempuan yang tak menikah
lagi dan menjadi orang tua tunggal. Membagi konsentrasi terhadap karir dengan
urusan rumah yang dijalani tanpa sokongan seorang laki-laki (suami). Tak mudah
istiqomah/konsisten terhadap aturan-aturan Ilahiah. Dalam kesendirian itu, saya
merasa beliau tak kekurangan cinta. Jangankan untuk kedelapan anaknya, kepada
kami pun anak-anak yang ditemuinya kala kami sudah besar tetap memiliki jatah
cinta masing-masing.
"Wih, Isma. Kusayangmu sedding". Kata beliau sambil
merangkul erat saat mendengar permasalahan pelik yang pernah saya alami. Saya
menyembunyikan tangis. Saya merasa disayangi.
Saat ini, beliau tinggal bertiga dengan seorang cucu berusia 4
tahun dan seorang gadis kerabat. Semua anaknya tinggal berjauhan, lintas
propinsi, lintas pulau. Kadangkala, beliau mengisi waktu dengan mengunjungi mereka secara bergiliran. Di
usia yang kian menua, beliau masih menunjukkan sosok perempuan yang saya kagumi. Beliau perempuan hebat. Beliau perempuan kuat. Beliau ibu dari
sahabat saya, kami memanggilnya UMMI.
III.
Namanya Hania Maemunah. Sosok perempuan sabar sejagat raya.
Cantik, jago masak, jago menjahit. Berat badan saya naik 5 kg gara-gara masakan
beliau. Memiliki tujuh anak kandung, satu diantaranya memiliki keterbelakangan
mental. Beliau menginspirasi saya tentang ketulusan mencintai dan ketangguhan
seorang ibu.
Saya mengenal beliau atas perantara seseorang di ruang dan waktu
yang baru. Sembilan tahun setelah MAMMI meninggal dan enam tahun setelah saya
meninggalkan kota kecil tempat UMMI bermukim.
Sebagai orang yang canggung
pada orang-orang dan suasana baru (lagi-lagi, saya tidak berubah), beliau
membuat saya merasa nyaman dan serasa berada di rumah. Yah, rumah dan keluarga
lengkap yang tidak saya miliki. Berada di dekat beliau membuat saya merasa tak
sendirian lagi di muka bumi. (Kadang saya lebay dengan perasaan kesepian).
Beliau menganggap saya anak sendiri. Menjadikan suaminya, ayah saya.
Anak-anaknya, menjadi kakak dan adik-adik saya. Mendengarkan cerita yang kadang
enggan saya bagi dengan orang lain. Mengasuh saya jika sakit. Mengajarkan saya
memasak. Mengikutkan saya di acara keluarga. Membela saya jika ada yang
berpandangan negatif. Ah...
Saya juga butuh waktu lama untuk memahami beliau. Sepertinya saya
manusia kurang peka atau takut menduga-duga. Saya kurang begitu percaya
feeling, setidaknya harus ada fakta. Saya lebih dari sekedar terhenyak saat
mendengar cerita dari anak gadisnya tentang masa-masa sulit yang dilalui beliau
dan anak-anaknya. Perlu keikhlasan luar biasa saat harus menerima kehadiran
rumah lain untuk sang ayah. Butuh ketabahan seluas samudera saat meja makan
hanya terhidang nasi dan sambal saja. Butuh kesabaran semesta saat ikut
membesarkan satu persatu anak-anak lain yang bukan dari rahimnya. Perlu selaksa
cinta untuk tetap memcinta sang suami, mencintai diri, dan mencintai orang lain
atas luka hati perempuan yang dikhianati.
Pun, ketika jarak menjadi alasan ketidakintensan saya mengunjungi
beliau menjadi penghalang. Saya tidak bisa membendung kerinduan akan sosoknya.
Saya tidak bisa mencegah ketakutan jika selama ini menyakiti hatinya. Saya lalu
mengunjungi beliau. Bersimpuh di sampingnya, kembali bercerita. Beliau berkata
"Apapun yang terjadi, kita' (kata ganti kamu yang lebih sopan) tetap
anakku. Saya tidak akan berubah Nak!". Saya menyembunyikan tangis agar
beliau tak bersedih. Saya merasa diberi seribu sayap bidadari.
Jika memiliki kesempatan, saya tetap rajin berkunjung. Melihatnya
di depan mesin jahit yang juga menjadi mesin penggerak ekonomi keluarga. Sesekali
menikmati masakannya atau hanya sekedar meminjam mukenanya. Beliau orang tua
dari seorang lelaki sederhana yang diam-diam masih saya cinta. Saya memanggil
beliau, IBU.
Saya sungguh beruntung mendapatkan cinta yang begitu banyak. Saya
sepatutnya lebih banyak bersyukur dari pada mengeluh. Postingan ini hanya
perwakilan dari cinta kasih seorang ibu. Sesungguhnya, semua ibu hebat di dunia
ini adalah sumber inspirasi saya, seorang dhoif yang masih "takut"
menjadi istri dan ibu.
7 comments:
Tidak semua orang bisa langsung merasa akrab dan menganggap orang lain adalah ekluarga terdekatnya. Tiga perempuan yang anda ceritakan, kemudian dianggap menjadi ibu ada lah contoh orang yang mudah menerima keberadaan org lain. Salut dengan anda,, dan salam hormat untuk tiga perempuan lain.
inspiratif sekali, Mbak.. mereka adalah perempuan-perempuan hebat yang patut kita teladani :)
kk Shaela Mayasari... terima kasih... salam hormat juga untuk qt...
Mbak Diah... makasi...
inspiratif..,
tapi jangan takut jadi ibu, jika ingin merenggut kemuliaan, hehehe..,
Namun bukan berarti tak ada pengetahuan yang diterapkan untuk menjadi soerang ibu.
salut...
salam
kk Haerul... makasi... mau belajar ini...hehe
Betul2 wanita2 yang menginspirasi yah,,
salam saya yah,,,
jangan lupa mampir dimari yah hehehe
Ya Allah, teluh?
masih ada ya di zaman kini, jahat sekali pelakunyaaa >.<
terima kasih telah berbagi kisah, menginspirasi :)
Post a Comment