Saturday 11 October 2008

PANGERAN DAN UPIK ABU

PANGERAN DAN UPIK ABU

Tak terdefinisi rasa
Tak mampu kuberi nama
Hanya geliat indah di jiwa
Juga damai menelangkup raga

Tak kunafikan kelu
Tak terpungkiri ragu
Kau begitu jauh
Beda sulit menjadi satu

Kulabuhkan janjiku pada gemerlap bintang
Kubiarkan alurku pada aliran sungai kearifan
Dewasa kubutuhkan, siap terluka kutumbuhkan
Aku memilih arungi biduk retak bersama biarpun akan terkoyak

Sandaran kekuatan ada padaNYa
Sang Pencipta yang menciptakan cinta
Biarkan Dia berkehendak
Kita hanya sepasang hati lemah yang mencoba rangkai cerita
Apakah bertakbir atau berucap hamdalah


Aku punya sepenggal kisah perjalanan hidup dua manusia. Dibalik begitu banyak persamaan, juga dihalangi jurang perbedaan yang luas dan dalam. Organisasi, India, puisi. Pemikiran, jalan hidup, kebiasaan, kasta, harta. Ah, bahkan cinta yang mereka miliki pun tak mampu menyatukan semuanya. Atau, cinta mereka memang hanya sebatas debar-debar indah, tanpa mampu hadapi tantangan terjal kehidupan. Biarkan kisah mereka menjadi sejarah yang berhikmah........
###
Udara siang begitu menyengat. Seragam putih biruku dibanjiri peluh. Beda sekali dengan hawa desa, gumamku. Akhir pekan ini, aku mengunjungi keluargaku yang memang hidup jauh terpisah. Hanya aku sendiri yang tinggal bersama tante. Aku kangen ibu. Apalagi mereka baru pindah rumah. Berkumpul dengan keluarga dalam suasana berbeda buatku senang. Jika sehari-hari aku berteman dengan hutan, sawah, dan kicau burung maka di sini aku bisa melihat TV, listrik, aspal. Sesampai di rumah, ibu menyambutku hangat. Melepaskan lelah lalu bersosialisasi dengan tetangga yang ternyata masih keluarga jauh. Saat itu aku melihatnya. Sejenak hatiku berdesir tapi segera kuabaikan. Ah, Upik. Jangan jatuh cinta. Cinta hanya akan melukaimu. Waktu berlanjut dan aku semakin sering melihatnya dari jauh. Dia tidak pernah mengajakku ngobrol. Ah, Upik. Sadarlah. Kamu hanya gadis kampung. Meski jadi bunga desa, kamu tidak selevel dengannya. Dia bagai pangeran. Tampan, kaya, bangsawan, baik hati lagi. Apalagi, keberadaanmu tidak dianggapnya. Dia hanya berteman dengan Kak Naya. Biarkan dia hanya sekedar pangeran impian yang kisahnya tinggal di kotak kaca. Tak tersentuh tapi tetap terjaga...

Setahun Kemudian

Aku ingin masuk SMU dimana tak seorangpun mengenalku, atau minimal tidak tahu latar belakangku. Aku ingin hijrah, aku mau berubah. Aku jenuh dengan hidup tak bermakna, hati yang kosong. Aku berniat memakai jilbab. Aku tidak peduli resiko kehilangan penggemar, popularitas, bahkan teman-teman yang tidak terima metamorfosisku. Aku memilih SMU Utama dan Sang Pangeran sekolah di sana. Hari pertama MOS (Masa Orientasi Siswa), dia membentak siswi baru di sampingku. Seketika amarahku membuncah. Temanku itu tidak punya kesalahan berarti. Tapi mungkin memang kayak gini kalau MOS, pikirku. Tapi dia belagu. Mentang-mentang senior jadi seenaknya pada yunior. Aku paling tidak bisa melihat ketidakadilan. Melawan juga tidak mungkin. Kekagumanku menghilang. Tak akan kuanggap penting lagi dirinya. Kutenangkan temanku. Ada tanggung jawab moral sebagai orang yang mengenalnya untuk klarifikasi ini. Sesampai di rumah, aku menceritakan kejadian itu sambil meneteskan air mata kejengkelan dan ketidakberdayaan. Mereka hanya tertawa. Dasar hitler!!! Hitler cakep sih. Tapi bodo`. I don`t care about you, more!!! Termasuk saat saat adik bungsunya menjodoh-jodohkan. Gak akan, makasih deh... Dia sih tetap baik, jujur kuakui. Bahkan pada saat ibuku meninggal, dia datang melayat meski harus mabuk kendaraan yang parah.

Aku kemudian berhijrah utuh. Belajar jadi akhwat istilahnya. Aktif organisasi, berbuat untuk tabungan amal di akhirat kelak. Berada pada komunitas yang sama mau tidak mau buatku tahu perkembangannya. Tapi rasaku benar-benar telah mengendap. Baguslah... Aku sering kerumahnya tapi bukan untuk menemui pangeran menyebalkan itu. Aku benar-benar menghindari interaksi. Toh, lagi-lagi hadirku tak dipedulikannya J (bodoh amat!!!). Dia lulus dan aku juga tidak peduli. Lalu kudengar dia pacaran dengan temanku. O..o..o sudah berani rupanya melanggar aturan rumah. Aku benar-benar ilfeel. Pacarnya itu pacar sahabatnya. Aduh, pangeran...pangeran. Entah apa yang ada di kepalamu. Kukira dirimu penganut paham kesejatian cinta. Ternyata hanya sampai segitu levelmu. Ah, Upik. Apa pedulimu. Kamu bukan siapa-siapanya. Sempat terungkap pembicaraan temanku yang lain bahwa Aku, Maya, dan Tia pernah hadir di ruang sukanya. Pangeran... tak kupunyai definisi tentangmu.

Waktu berlalu, banyak hal terjadi. Diapun akhirnya hijrah utuh. Jadi ikhwan. Subhanallah... Aku mungkin salah seorang yang paling berbahagia. Entah kenapa. Aku dan dia dipertemukan lagi dalam kampus yang sama. Sesekali namanya terlintas dalam pembicaraan keluarga besar. Bentuk perhatian sebagai saudara sepertinya. Bergabung di organda yang sama, tak sekalipun dia mengajakku ngobrol. Sebagai sesama saudara yang di rantau, kunamakan itu angkuh. Aduh, Upik. Terserah dialah. Bagaimnapun, dia tetaplah seorang pangeran. Kujalani hariku, hadirmu tetaplah biasa. Lalu sepupuku bercerita bahwa aku sering menjadi topik pembicaraan kalian. I don`t believe it. Pangeran istimewa yang menyebalkan itu tidak mungkin menjadikanku sesuatu yang penting untuk dibahas. Aku tidak akan pernah mau bermimpi. Dia intens dan semakin serius. Kubawa dalam konteks candaan.

Entah dimulai dari mana, beberapa sms menjalin interaksi. Setidaknya ada kemajuan dibanding bisu yang hadir selama ini. Membicarakan kesarjanaannya dengan keluarga mau tidak mau memantau perkembangan. Aku diundang di acara syukuran kelulusannya. Aku tidak masalah untuk datang. Bagaimanapun telah tercipta posisi tak terjangkau diantara aku dan dirinya. Jadi, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Dalam kondisi gamang karena gagal meneruskan ta`arruf dengan seseorang, komunikasi via sms itu terjalin. Aku menganggapnya sebagai pangeran ikhwan yang masih punya hubungan keluarga. Apalagi, kesamaan komunitas yang kami masuki bisa membuatnya memahamiku dalam dua sisi. Tentunya dengan batasan aturan dan tidak lebih dari sekedar belajar. Komunikasi itu berlanjut. Sampai kemudian muncul pengakuan bahwa dia menyukaiku sejak sembilan tahun lalu sampai sekarang. Aku terhenyak dan merasakan sendi-sendiku tidak berfungsi. Lunglai ragaku. Ya Allah. Ada apa dibalik ini semua. Dia, sang pangeran istimewa tapi menyebalkan yang akhirnya jadi ikhwan itu menyukai seorang Upik Abu?!. Lama kupandangi kata-kata smsnya, memastikan. Kucubit lenganku, sakit. Tiga hari waktu yang kubutuhkan untuk kembali berpijak ke bumi setelah beberapa saat mengawan. Tuhan, tolonglah. Aku sungguh-sungguh tidak mengerti. Aku juga tidak tahu akan bermuara ke mana. Siapa yang tidak menginginkannya. Seorang pangeran. Tapi haruskah seperti ini. Masih banyak tanya yang perlu jawab. Banyak keraguan yang berbuah. Mungkinkah, bagaimana bisa. Satu sisi dia adalah orang paham. Di sisi lain rasa adalah persoalan manusiawi apalagi terpendam dan terjaga selama sembilan tahun. Ah, rasanya buyarkan kebencian akan cinta. Hadirnya sadarkan jika aku masih berarti. Tapi aku ingin menjaganya dalam koridor kebenaran. Aku tidak ingin menjerumuskannya. Jika tegas sikapku tidak ingin ada pengungkapan rasa berlebihan, itu karena aku ingin hubungan ini fitrah. Manusiawi tetapi tetap pada aturanNya. Lambat laun, kedekatan itu terjalin. Kupikir, orientasi kita sama seriusnya. Menikah. Kuingin ini di bawa ke keluarga agar bukan hanya nafsu kami yang bicara. Keluargaku tidak masalah, hanya mengingatkan jika perbedaan kondisi keluarga akan sulit diadaptasikan. Akupun mulai menganalisis. Seberapa kemungkinan dunia Pangeran dan Upik Abu dikompromikan dan dipertautkan. Berat!!! Tapi karena kurasakan kesungguhannya, kulihat begitu besar rasanya, dia rela jika akan tinggal di rumah pohon nantinya, akupun rela jalani rintangan itu. Belum ada pembicaraan teknis, masih mengambang, dan belum terucap namaku di keluarganya sebagai calon bagian dari mereka. Hubungan ini ternyata tak bernama. Teman, tapi saling menginginkan. Saudara, tapi bermain rasa. Ta`arruf, tidak punya target. Sering ingin kupertanyakan ketidaksyari`ian tapi dia tidak mau menjawab. Ikwan, kau lebih paham... Aku menginginkan tidak seperti ini. Aku mau kita lebih serius dan punya tahap pencapaian yang berindikator. Belum saatnya, menurutnya. Akan ada waktunya dan biarkan hubungan ini mengalir hingga temukan muaranya.

Aku ingin keluar daerah. Kudapat amanah selama dua tahun. Kuterima itu dengan berbagai pertimbangan. Tak kutanyakan padanya sebab kami bukan apa-apa. Hanya kuanggapnya dekat dan kuhargai hubungan ini. Aku meminta nasehat. Dia hanya bertanya, apa yang bisa membuatmu tidak pergi. Aku tahu, dia tidak ingin aku pergi. Tapi meninggal, sakit, dan menikah juga belum terjadi. Jadi, tidak ada hal yang menghalangiku. Diapun tidak punya kekuatan. Aku tetap pergi dan dan kutau dia kecewa. Tapi tahukah kau Pangeran, aku juga kecewa. Kecewa sebab dia tidak menahanku. Kecewa sebab tak ada ucapan, tinggallah dan kita pintal mimpi kita bersama-sama. Amanah itu harus kuemban. Sesuatu yang lebih pasti. Kami semakin tak terbentuk. Dekat tapi misorientasi. Rawan. Seminggu aku tidak berpulsa. Ibukota masih kuadaptasikan. Hingga dia hadir dengan pembicaraan tentang seseorang yang mampu menggoyahkan kualitas ibadahnya. Seseorang yang hadir di tengah ramadhannya. Untuk pertama kalinya aku tertampar akan realita. Lalu aku siapa baginya? Hubungan ini memang tinggal menunggu waktu untuk meluruh. Kejujurannya luar biasa tapi dia tidak pernah tau seberapa sakit yang kurasa. Dia sadarkanku. Upik Abu tetaplah Upik Abu. Seberapa kerasnya dia berusaha menjadi puteri, mahkota tidak cocok untuknya. Mungkin memang hanya seorang itu yang memperhatikan. Tapi dia adalah pangeran. Banyak yang menginginkannya. Harusnya kau sadar pangeran. Rivalku berat dan aku tidak punya seserahan yang pantas. Mungkin ini saatnya untuk mengembalikannya menjadi pangeran di kotak kacaku. Sedihku, karena hanya sejenak kurasakan kebersamaan yang menjadi realisasi mimpiku. Kembali kupanjatkan doa pada Rabbku ”Ya Allah, jika hubungan ini baik menurutMu dan untuk kami, dekatkan kami dalam kehalalan dan jika memang hubungan ini membuat kami bermaksiat kepadaMU, maka jauhkan kami sejauh-jauhnya”. Aku perlu waktu untuk mengevaluasi semua ini, termasuk apakah bisa memutihkan peristiwa ini. Aku nyaris tidak sanggup. Tapi yang lebih tidak kusanggupi adalah kehilangannya tanpa memperjuangkan. Ini ujian dan aku ingin lulus. Semua orang berhak salah, termasuk dia. Jika kami berhasil lalui ini, berarti hubungan ini akan lebih baik. Kupilih untuk tetap melanjutkan sambil mengurai benang kusut perbedaan dan ketidakpastian. Aku bahagia. Aku punya teman dan itu dirinya. Perlahan kuperbaiki diri. Perlahan kutinggalkan kebiasaan-kebiasaan nyelenehku. Bukan untuknya tapi bagiku agar aku layak disandingkan dengannya. Ikatan rasa itu menguat dan akupun mulai menyayangi. Aku sungguh menginginkannya tapi kujaga itu direlung hatiku agar kami tidak terjebak dalam kesalahan. Semampuku.

Ramadhan berlalu. Ada dua dunia yang mesti berjalan ke satu arah. Aku terpuruk karena masalah klasik. Ayah. Dia yang terdekat dihari-hariku saat ini. Aku membutuhkan kehadirannya. Aku ingin dikuatkan. Aku ingin dianggap (dan ternyata aku terlalu menuntut). Bukan dirinya yang datang tapi aku yang terjebak untuk menyambangi tempatnya. Kurasakan kekecewaan. Prinsipku tentang filosofi sperma dan ovum jadi terbantahkan. Pangeran, Upik Abu juga seorang perempuan. Bukan pangeran berkuda putih yang datang di gubug gadis kampung tapi upik abu yang datang di istana sambil tundukkan kepala. Di sana, Upik Abu sadar telah sendirian di tengah pembicaraan para bangsawan. Sesekali tentang kelakuan tidak normal ayahku. Tuhan, Upik ingin berlari pulang. Tapi harus Upik jalani sebagai tes mental. Langkahku tertahan. Pangeran tidak ada untuk memberi kekuatan. Ah, aku tidak mau menuntutnya. Akan kukembalikan dia pada singgasana nyamannya. Rasa sayangku tidak bisa melihatnya resah hanya karenaku. Aku ingin membicarakannya baik-baik. Kupinta untuk bertemu dan gubugku kupikir tempat yang paling tepat saat ini untuk bercerita panjang lebar. Dia datang. Tergesa. Di malam hari. Aku terharu, sedih tepatnya. Ah, pangeran. Dia harus menempuh jarak sejauh itu di tengah gulita hutan. Aku tersanjung tetapi miris. Aku takut terjadi apa-apa dengannya di lingkungan yang tidak biasa baginya. Tak ada pembahasan tentang kegundahannku yang telah terbahasa. Aku merasa diabaikan, lelah dengan semuanya dan dia tidak mengulurkan tangannya membantuku berdiri. Aku dianggapnya mendramatisir. Aku emosional dan kupinta untuk mengakhiri semuanya. Dia terluka dan aku merasakan sakit yang sangat. Aku meminta maaf dan menyesal, tapi dia bilang sudah tidak bisa lagi. Dia takut melukaiku lagi. Aku sering mengeluh dengan hubungan ini. Selepas pembicaraan itu, tangisku pecah. Rabb, aku masih menginginkannya. Begitu besarnyakah salahku atau ini jawaban dari doaku? Kami membahasnya lagi. Tetapi tetap sama. Dia tidak bisa menjemputku kembali. Padahal aku ingin kami berevaluasi. Meluruskan kesalahan dan melanjutkan perjuangan yang belum dimulai. Kululuhkan keangkuhanku, tetapi tetap tidak bisa. Aku terhempas. Upik Abu, sadarlah. Pangeran tidak menginginkanmu lagi. Kutanya lagi, kesalahanku prinsipil atau ini akumulasi pemikirannya? Dua-duanya dan tetap tidak bisa dikompromikan. Ketidakpastian dan kerikil yang kami abaikan berbicara jua. Hahh, sudahlah kalau begitu. Kukumpulkan kepingan hati. Live must go on. Kembali kukumpulkan angkuhku. Benteng itu kubangun. Selamat tinggal Pangeran. Sepenggal kisah kami biarkan jadi sejarah. Maaf, sulit bagiku untuk memberi kesempatan kedua kelak. Semoga dia mendapatkan puteri sepadan untuknya dunia akhirat. Cinta itu belum merealita. Sembilan tahun itu terjawab dalam tiga bulan. Syukran dan afwan jiddan. Allahu Akbar!!!
###

Aku terbangun. Cuma mimpi... Kisah Pangeran dan Upik Abu berakhir...

Pendar sinar lampu jadi samar oleh tetes air. Losari begitu sepi. Gulita laut gambarkan kekelaman. Aku masih menunggu kau datang. Segera merengkuhku agar salahku menguap. Kau tersenyum sambil berkata ”seterlukanya aku, lebih kupilih untuk terus bersamamu. Cintaku punya berjuta pintu maaf”. Tapi malam kian melarut dan tak ada jua hadirmu. Ponselku berdering ”aku tidak bisa lanjutkan ini”. Sejenak kurasakan jiwaku terbang. Ah, cintamu hanya sebatas itu.

Rappokalling Raya I
11 Oktober 2008

No comments: