Monday 13 May 2013

#2 Pekan keenam: Dua Sisi, Ayah.


Pernah mencintai dan membenci seseorang sekaligus? Pernah mengutuk tapi memujanya? Pasti ada yang pernah, sedang, atau akan merasakannya. Aku pun demikian. Sebagai orang yang dididik untuk don't look book from the cover, kuterbiasa melihat orang lain dari dua sisi berbeda. Jika mereka jahat, pasti ada baiknya. Jika mereka baik, jangan terlalu percaya, apalagi jika dia lelaki. Sisi-sisi ini perlu dilihat agar jika jatuh tidak terlalu sakit dan jika terbang tidak melambung jauh. Tulisan ini saya ikutsertakan pada event 8 minggu ngeblog bersama angingmammiri.org, pekan keenam.

Kusadari, mencintai dan membenci adalah dua sisi ekstrim tapi jaraknya setipis kulit ari. Perasaan memang bisa dibolak-balik. Hari ini cinta, besok benci. Hari ini rindu, besok menjauh.Begitulah siklus hidup. 

Ketika membaca tema tantangan pekan ini, hal pertama uang terlintas di benakku adalah aku mau menulis tentangnya. Padahal sejak dulu, aku paling tidak suka menjadikannya objek tulisan. Inspirasiku dibungkam rasa benci yang tak terlampiaskan karena aku juga mencintainya. Aku merasa, dua sisi paling ekstrim di hidupku terjadi atas ulahnya.

Aku memujanya sejak kecil. Menginginkan sosoknyalah yang bereinkarnasi menjadi lelaki selanjutnya yang menjadi partner hari-hariku. Sosok yang kekar, terpandang, pejabat daerah, lengkap dengan seragam dan senjatanya. Tidak gampang marah, royal, lucu, dan demokratis. Sangat mencintai perempuannya bahkan pernah rela jika harus terusir dari keluarga.

 Aku bangga. Bangga namaku disebut bergandengan dengan namanya. Bangga jika duduk diboncengannya. Bangga berjalan di sampingnya. Bangga jika disebut anak kesayangannya. Bangga jika dibanggakan olehnya.

Aku mengaguminya. Ketika aku sakit dialah yang mencuci semua pakaian kotor. Ketika dia tak membutuhkan aturan tata krama dan pelayanan paripurna. Ketika korupsi menjadi wajar di lembaganya, dia memilih jujur. Kejujuran dan pengabdian pada negara yang membuat dia tak mampu memberikanku rumah. Ketika aku dimarahi oleh orang lain dialah yang datang memasang badan.

Kagum, bangga, dan sayang itu harus kubayar mahal. Dia tidak pernah datang menghadiri undangan dari sekolahku. Tak pernah ada penghargaan atas prestasi akademik dan ekstrakurikulerku. Dia bahkan tak menghadiri acara wisudaku, moment bersejarah sebagai pembuktian keberhasilannya sebagai single parent.

Aku tidak suka saat dia bermusuhan dengan nenek tersayangku dan melarang perempuannya bertemu dengan sang ibu. Aku tidak suka dia menghunus parang dan menyeretku pulang saat aku diam-diam bertemu dengan nenek. Aku tidak suka dia memisahkan cinta ibu dan anak. Aku tidak suka.

Aku berang saat dia menyakiti perempuannya dengan kehadiran perempuan-perempuan lain. Ketika dia tidak peduli dengan batuk menahun sang istri. Ketika dia... menjadi penyebab tak langsung muntah darah perempuannya yang berujung pada kematian.

Aku kecewa. Kecewa saat dia menolak lelaki yang kubawa ke depannya. Kecewa karena menganggapnya picik memandang ketaksempurnaan. Kecewa ketika dia memilih harga dirinya yang tinggi dibanding kebahagiaan anak gadis kesayangannya. Aku kecewa...

Aku tahu, dia sangat menyayangi dan percaya padaku. Dengan rasa sayang dan percayanya bahkan dalam beberapa bulan kami tak pernah berkomunikasi. Dulu lebih intens. Sekali sebulan smsan untuk mengkonfirmasi uang bulanan yang dia kirim.

Dia ayahku. Sosok yang mendonorkan separuh sisinya untukku. Aku berusaha memaafkan kekurangan dan menghargai sisi baiknya. Perlu waktu. Bertahun-tahun. Aku bahkan pernah melakukan perang terbuka selama dua tahun. Tapi akhirnya aku sadar. Toh, aku juga bukan anak yang baik. Ah, aku mungkin (tidak) mencintai dan (tidak) membencinya. Aku hanya perlu berdo'a untuknya. Aku hanya perlu menerima. 


10 comments:

bisotisme.com said...

semua adalah proses :)
baca-baca dulu ah

KATALIS HATI said...

Sepakat... Asalkan tetap mau belajar n memperbaiki diri...
Makasi dah mau baca-baca... :D.

Aty Elias said...

apapun i2 beliau tetap ayahta, mungkin ada sesuatu yang beliau simpan sehingga bisa semarah itu,tetap sayangi beliau yagh, jgn sampai pudar :D

Ade Anita said...

Biar bagaimanapun, dia ayahmu. Sebagai anak kita wajib berbakti selama bkti itu tidk melanggar dari ketentuan agama kita

Anonymous said...

Hemm... penerimaan butuh proses, begitu juga menyembuhkan luka hati butuh proses. Walau bagaimanapun orangtua tetaplah manusia yang menyimpan sisi baik dan buruk. semoga silaturahim kembali terjalin dengan baik ya Kak...

KATALIS HATI said...

InsyaAllah gak akan pudar... :)

KATALIS HATI said...

Spakat mba... Tp bukan brarti kita diam jk ada yg keluar jalur kan mba... Trima kasih dah mengingatkan...:)

KATALIS HATI said...

tetap terjalin kok... Meski gak senormal keluarga lainnya. Saya tetap anak kesayangan n beliau tetap ayah yang hebat... (tentu di balik kekurangan kami masing2)

Mugniar said...

Lagi2 merinding membacanya. Benar2 dua sisi yang bertolak belakang. Memang berat dan butuh waktu, tapi setidaknya dirimu berusaha (alhamdulillah). Tetaplah berusaha sampai kapan pun ^__^

KATALIS HATI said...

Sembunyi di pelukan bunda niar....