Saturday 18 May 2013

Terselip Duka di Bahagiaku Menjadi Sarjana

Tulisan ini saya ikutkan dalam tantangan 8 minggu ngeblog bersama angingmammiri, pekan keenam.
 
Aku dihinggapi perasaan melankolis. Bising mesin perahu membungkam tawa sejak tadi. Ini perjalanan pertama menyeberangi pulau sejak kematian salah seorang sahabat. Dia mati tenggelam bersama seorang junior di sebuah pulau kecil dekat Pantai Losari.  Dia mati bersama mimpinya menyandang gelar sarjana.

Kematiannya menghantarkanku pada duka yang berkepanjangan. Duka yang menyendatkan skripsiku kala itu. Aku didera kebekuan hasrat untuk segera mengenakan toga. 

Kematian selalu membalurkan aroma hitam di jiwa. Apalagi kematian yang membawa pergi semangat. Semangat untuk memberi kebahagiaan kecil pada perjuangan seorang ayah single parent yang menguliahkan keempat anak gadisnya. Salah satu anak gadis yang  tidak setangguh kelihatannya harus berjuang menghalau rasa sedih. Sedih atas tak tertunainya janji sahabat untuk meninggalkan kampus merah bersama-sama.

Tangisku tak terbendung saat dosen pembimbing utama menanyakan kevakumanku setahun menyelesaikan skripsi. Aku tak bisa menahan air mata yang berloncatan turun. Aku tau sedang mempermalukan diri sendiri di depan audience Seminar Hasilku. Tapi rekaman adegan demi adegan kebersamaanku dengan dia yang mati di laut itu terpampang nyata. Aku tidak berhasil menghalaunya. Syukur, nilaiku -A-. Nilai untuknya juga.

***

Pagi beranjak Dhuha ketika kudapat kabar dia tenggelam. Tenggelam? Kapan dia ke pulau? Biasanya, dia selalu memberitahuku jika dia mau bepergian. Apalagi jika ada kegiatan kampus. Ternyata kepergiannya ke pulau untuk prosesi penerimaan anggota baru Canopy, UKM pecinta alam di jurusanku.
Aku bergegas ke rumah sakit tempat dia dievakuasi. Paling dia akan diopname. Aku mempersiapkan diri untuk menginap, menemaninya. Orang tuanya tinggal di kampung.

Tubuh kaku berselimut kafan yang menyambutku. Aku tak bisa menangis saat itu. Aku merasa dia sedang bercanda. Bagaimana bisa seorang yang paling jago berenang begitu mudah menyerah pada kematian hanya gara-gara tenggelam?! Aku baru bisa menerima kenyataan jika dia benar-benar tidak hidup lagi setelah tanah-tanah menimbuni tubuhnya dan dia tidak melawan.

Kehilanganku tak seberapa dibandingkan kehilangan yang dirasakan ayah, bunda, dan kakak-kakaknya. Terlahir sebagai anak bungsu dan satu-satunya yang mampu kuliah membuatnya memikul amanah kebahagiaan keluarga. Harta benda dipertaruhkan untuk menutupi biaya yang tidak murah. Rumah dan kebun dijual untuk rencana S2. Orang tua dikampung bahkan berencana hijrah ke kota Makassar untuk tinggal bersama sang anak bungsu.

Tapi maut meminta nyawa sahabatku sebelum memberinya kesempatan memintal bahagia keluarganya di gedung baruga tempat wisudawan berkumpul. Uang hasil penjualan harta benda teronggok, terabai, oleh hancurnya harapan keluarga. Kenyataan pahit yang harus ditawakkalkan.
 
***

Kotak kaca aquarium yang jadi media penelitiannya mulai menghitam. Teronggok lusuh ditinggal pemilik. Tak ada yang berani membuangnya. Termasuk bahan-bahan yang dihadirkan dari Kalimantan. Kami seolah bermain-main dengan kenangan. Menyembunyikan duka lewat cerita yang hambar. Mengabaikan kehilangan dengan tawa tercekat. Laboratorium Mikrobiologi, BEM, Koridor MIPA , tempat yang tak lagi menyenangkan.
 
Bagaimana bisa aku mengadakan selebrasi sementara makamnya masih basah?. Bagaimana caranya aku bersenang-senang menyandang status S.Si (sarjana sains) sementara mimpi sahabat yang membersamaiku KKTS (KKN versi MIPA UH), menemani penelitianku, menunggu skripsiku, memotivasi kelulusanku, terkubur dalam liang lahat?!. Aku berjalan menuju podium tempat rektor menggunakan kakinya. Aku mendekap erat ijazah formalitas yang juga miliknya, aku mendedikasikan simbolis pencapaian mahasiswa untuknya. Untuk sahabat yang sangat mencintai almamater, sangat mencintai kawan-kawannya, sangat mencintai keluarga, sangat mencintai ilmu.

Biasanya, dia yang mengajakku, cenderung memaksa, untuk selalu terlibat di kegiatan kemahasiswaan. Tidak mengabaikan adik-adik di lembaga. Selalu menularkan pengalaman berorganisasi. Ah, dia sahabat yang tak pernah mengabaikanku. Dia yang peduli. Dia yang menghadirkan sedih dan bahagia secara bersamaan, bahkan hingga saat ini.
 
***
 
Aku mengenangnya sambil memandangi
 kerlip-kerlip kecil lampu kota Makassar di dermaga Pulau Barranglompo. Mengenang dengan hati yang bahagia atas dedikasinya. Bahagia yang berlomba dengan getas kerinduan.

***

Note: Tulisanku tentangnya di 2008

11 comments:

Unknown said...

Ikut bersedih ya... Bisa membayangkan ketika sahabat baik kita meninggal ketika wisuda sdh di depan mata. Apalagi orangtuanya...Semoga kuat dan menerimanya...

KATALIS HATI said...

Iya Bun... Meninggal d acara kampus, sdh mau sarjana, satu2x yg kuliah d dusunx...

Shaela Mayasari blog said...

Saya pernah dengar cerita ini Mbak, semasa masih di kuliah dulu..Wuihh Keren Mbak tulisannya, mengaduk-aduk perasaan beneran

i R A said...

Wuih...jadi ga bisa berkata-kata btw tulisannya keren

Anonymous said...

Berusaha dengan susah payah menyelesaikan kata demi kata hingga huruf terakhir. Mata sudah tak mau diajak berkompromi, berkaca-kaca siap meneteskan bulir demi bulir air mata. Kisah haru yang dituturkan dengan cara yang indah...
Semoga khusnul khatimah, dan mendapat tempat yang layak di sisi-Nya, diampuni segala dosanya, dan diterima semua amal baiknya.
Allah tak melihat hasil akhir, apakah ia berhasil mewujudkan mimpi dan mengukir kebahagiaan di wajah orang tua dan keluarganya, namun Insya Allah Ia melihat proses panjang yang dilaluinya yang pastinya penuh perjuangan dan semoga menambah timbangan amal kebajikannya selama di dunia.

KATALIS HATI said...

Iya... Sempat diberitakan di media massa juga...
nulisnya sambil nyesek jg...

KATALIS HATI said...

Terima kasih ka Ira...

KATALIS HATI said...

Kematian, seperti perpisahan lainnya, selalu mendatangkan kesedihan... Terima kasih tetap membaca tulisan ini, terima kasih atas do'anya juga.

Artha Amalia said...

sabar Mbak. mari doakan sahabat Mbak tersebut. Ia pasti turut senang melihat Mbak pakai toga dan menyandang gelar sarjana.

terus semangat ngeblog yaaa ...

salam manis,
Arga Litha

KATALIS HATI said...

InsyaAllah...
Yuuuup... Smoga tetap semangat ngeblog...

Ahmad Asbar said...

terharu