Friday 10 May 2013

Cerita Cinta Pertama Selain Dia

Bagi blogger, membaca (buku) dan menulis merupakan kata kerja yang sarat cinta. Masing-masing personal pasti memiliki alasan dan cerita tersendiri tentang dua dunia yang saling bersinergi tersebut. Saya juga demikian. Tulisan kedua yang saya ikut sertakan dalam lomba 8 minggu ngeblog bersama blogger Angingmammiri, pekan kelima.

Saya senang membaca. Kakak dan adik-adik saya juga senang membaca. Sejak kecil, buku menjadi kawan karib kami, khususnya buku fiksi.  Mulai dari majalah Bobo, Aneka, Anita sampai serial Wiro Sableng, Pendekar Rajawali Sakti, Lupus dan novel Fr*ddy S. Nb: Novel terakhir tidak direkomendasikan.

Saya juga senang membaca buku paket Bahasa Indonesia untuk kelas berapa saja. Saya mencari cerita pendek, dongeng, fabel, percakapan, pantun, maupun puisi untuk dibaca. Kecintaan terhadap buku berlanjut meski genre-nya berbeda seiring perbaikan pemahaman. Bacaan saya lebih Islami meski tak meninggalkan bacaan yang lain asalkan tidak vulgar. Kakak saya suka bacaan yang lucu, adik saya suka bacaan yang berat seperti buku tentang filsafat.

Saya mau bercerita tentang kakak. Saya kurang referensi tentang adik-adik saya. Saya dan kedua adik saya lebih sering hidup terpisah. Beda halnya dengan kakak. Kami beranjak remaja bersama. 

Kakak memiliki kesempatan istimewa bersama mammi lebih lama dibanding saya dan adik-adik. Samar di ingatan, alm. mammi (ibu) yang membuat kakak mencintai buku. Sebagai anak sulung, kakak mendapatkan prioritas untuk diperhatikan. Mulai dari kosmetik, gaya rambut, selera musik, hingga bacaan. Mammi selalu menfasilitasi kakak. Saya? Sepertinya tidak pernah. Mungkin karena saat itu kakak sudah beranjak remaja. Saya iri? Tentu saja tidak. Saya malah merasa dibebaskan menjadi diri sendiri. Toh, barang-barang kakak bisa saya gunakan. Buku dan majalahnya bisa juga saya baca.

Umumnya, orang yang suka membaca juga suka menulis. Kakak sayapun begitu. Saya harus mengakui jika saya tertulari. Standar, kami menulis diary. Kami bukan keluarga pendiam. Kami hanya tidak terbiasa blak-blakan membicarakan masalah. Terlalu banyak letupan-letupan luka sehingga rasanya tidak ingin saja menambahnya dengan permasalahan remeh temeh gadis remaja. Kami kadang diam-diam membaca diary masing-masing. Saya tahu itu tidak sopan. Tapi kami biasanya tidak marah. Saya dan kakak (mungkin) merasa punya teman berbagi tanpa perlu mengatakannya langsung.

Hasil dari membaca lalu menulis ditambah dengan kegemaran menonton dan jalan-jalan membuat imajinasi saya melanglang buana, melewati batas kampung kecil tempat saya besar. Wawasan dan pemikiran saya katanya jauh melampaui kawan-kawan saya saat itu. Kawan-kawan saya bahkan pernah berkata "Edede, kata-katanya Isma tinggi dudui... Kadang ki tidak mengerti". Saya gadis desa yang senang menjelajahi dunia meskipun belum sempat menjejakkan kaki di sana.

Saya mencoba mengulik-ulik memory otak. Apakah benar saya suka membaca dan menulis karena kakak? Saya bukan tipe orang yang mudah membeo. Saya berpikir keras malam ini. Saya pun menemukan jawaban. Hal pertama yang membuat saya jatuh cinta pada dunia buku adalah dongeng.

Yah, dongeng. Dua dongeng yang sering diceritakan ummi (nenek) sebelum tidur malam saya. Dongeng yang khusus diceritakan kepada saya, cucu kesayangan. :). Kakak dan adik-adik tidak berkesempatan mendapat jatah. Cerita tentang Maling Kundang serta cerita tentang Nenek Tua dan Ikan Gabus. Dua cerita itu yang bergantian diulang-ulang. Saat itu, rasanya saya memiliki bioskop terluas di dunia, tanpa sekat. Ketika ummi bercerita, bermunculanlah adegan demi adegan di kepala saya. Saya dipicu untuk membayangkan keseluruhan cerita dari awal sampai akhir menurut keinginan saya. Warna baju Malin, bentuk kapalnya, cantik istrinya, sedih ibunya juga renta si nenek tua, reot rumahnya, jumlah ikan gabus dan masih banyak lagi.

Dongenglah ternyata yang menghantarkan saya untuk semangat mencari bacaan. Saya tau cerita dongeng di dunia tidak hanya dua. Saya membutuhkan lebih banyak kisah. Saya tertantang untuk mengimajinasikan berbagai hal. Saya termotivasi untuk melahap bahan bacaan kakak maupun pinjaman dari perpustakaan. Saya memintal hikmah kehidupan yang tak sempat diajarkan alm. mammi. Saya menemukan kesenangan menjelajahi dunia kata. Kesenangan ini membawa dilema. Saya akhirnya kurang suka menonton film yang diangkat dari buku yang pernah saya baca. Rasanya, peran sutradara terenggut dari tangan saya.

Seorang penulis terkenal di Makassar yang saya suka gaya bertuturnya, Ka Aan, di sebuah talkshow, mengemukakan jika dirinya juga karib dengan dongeng. Hal yang membuat beliau tertantang untuk berimajinasi. Kemampuan imajinasi saya belum ada apa-apanya dibanding beliau. Tapi setidaknya, saya memiliki kawan yang merasakan kecintaan pada dunia membaca dan menulis lewat hantaran dongeng masa kecil.

Dongeng dari ummi menjadi cinta pertama yang menemani saya berpetualang ke cinta-cinta selanjutnya. Suport mammi menjadi tatakan anak tangga untuk merasakan cinta itu. Keberadaan kakak, adik-adik juga, menjadi kawan saya bertumbuh meski menemukan cinta yang berbeda-beda.

Tapi dalam perjalanan waktu, saya agak mengabaikan keberadaan cinta pertama yang berjasa. Saya tidak kanak-kanak lagi. Saya sudah lama tidak membaca atau membacakan dongeng. Padahal, ada amanah besar di depan saya untuk anak-anak saya kelak. Apalagi, profesi saya sekarang menitipkan 361 anak  untuk saya didik bersama teman-teman yang lain. Mampukah saya menjadikan mereka lebih kaya imajinasi agar tidak menjadi generasi pembeo dan minim kreativitas? Ah, saya harus melakukannya. Itu adalah utang. Saya mesti  terpacu untuk menghantarkan mereka menikmati dongeng kehidupan mereka sendiri. Bisa jadi mereka tak memiliki nenek yang jago mendongeng, ibu yang menganggap buku sama penting dengan makan siang, atau kakak yang senang membaca dan menulis. Saya akan mencoba...

4 comments:

Unknown said...

pantesan...sudah bisa menebak dengan baik alur cerita dongeng yg saya bikin kemarin.
teruslah mengasah dan belajar ya,biar kelak jago mendongeng.

KATALIS HATI said...

Iya ya bun... Sy jg baru nyadar ... Hehe

Mugniar said...

Pasti bisa karena sudah pernah bahkan biasa berimajinasi. Insya Allah bisa :)
Kalau saya malah tidak suka fiksi, sukanya menulis yang nyata2 saja. Dan saya tidak mulai dari kecil. Saya baru suka menulis akhir2 ini saja setelah tidak muda lagi :)

KATALIS HATI said...

Bunda Niar menulis stlh tak muda lagi tapi karyanya Subhanallah...bgmna kalo dari kecil yakkk??? Trima kasih atas supportnya...