Thursday 16 May 2013

I`m A Teacher ...


Sore nyaris merampungkan tugasnya ketika kulangkahkan kaki menuju rumah. Jadwal kerja yang padat cukup menguras tenaga dan otak. Tapi masih bisa kusempatkan sedikit waktu bermain bulutangkis bersama Sita dan Fadiyah. Tidak profesional tentunya. Sekedar service, memungut cock, lalu tertawa bersama. Targetku memang hanyalah memasuki dunia kanak gadis-gadis kecil berusia 9 tahun itu. Tulisan ini aku ikutkan pada event 8 minggu ngeblog bersama anging mammiri, pekan keenam.

***

Memperpendek sekat. Meminimalisir jarak. Menghadirkan cinta. Bukan mengabaikan batas. Biar bagaimanapun, usiaku jauh lebih tua dan posisiku sebagai orang tua mereka di sekolah tetap mengharuskan tata krama, sopan santun. Sedekat apapun hubunganku dengan anak-anak, aku tetap mengajarkan aturan. Aku harus memperlihatkan teladan penempatan sikap. Saat-saat serius, bercanda, marah, bermain, memeluk, menghukum. 

Bukan hal yang mudah. Mendidik ratusan anak sementara aku belum memiliki anak sendiri. Dua sisi yang aneh tapi syukurnya bisa kulakoni. Modalku hanya menyayangi mereka, membaca buku, dan sharing dengan teman-teman ataupun orang tua mereka. Aku berusaha menghadirkan hati yang utuh jika berhadapan dengan anak-anak yang unyu-unyu itu. Meski tidak terlahir dari rahimku, mereka amanah Allah yang dititipkan untuk kudidik bersama rekan guru yang lain. Waktunya pun telah ditentukan. Bukan 6 tahun karena ada yang pindah dan ada yang murid baru. Aku berusaha semaksimal mungkin melakukan yang terbaik.

Posisiku di  bagian kesiswaan membuatku tidak hanya mengurusi satu kelas saja tapi semuanya. Banyak kejadian seru, lucu, mendebarkan, membangkitkan emosi. Aku manusia biasa yang emosional. Syukurnya, sejauh ini, di depan murid-murid, emosi itu bisa kukontrol hingga tidak kebablasan. Mengontrol emosi bukan berarti bebas dari hukuman. Posisi ini juga yang membuatku menjadi eksekutor. Jika ada sikap murid yang tidak bisa diatasi oleh wali kelas, akulah yang dicari. Semua anak sudah tahu bahwa jika namaku disebut saat mereka berbuat kesalahan maka kesalahan itu fatal. 

Aku keras, iya. Pada kondisi tertentu. Pada kesalahan anak yang tidak bisa ditolerir. Memukul teman, berbohong, tidak menghormati guru. Hukuman bukan hal tabu. Rasulullah meminta orang tua untuk memukul anaknya jika di usia 10 tahun tidak melaksanakan sholat. Tentunya, hukuman di sekolah tidak dibenarkan menggunakan fisik. Jika guruku di sekolah dasar dulu boleh menjewer murid yang bandel, maka sekarang tidak boleh lagi. Secara hukum dan secara psikologis.

Aku belajar cara menghukum anak yang sejauh ini lumayan efektif melalui tayangan The Nanny Show di M*tro TV. Anak harus tahu bahwa hukuman yang diberikan bukan karena kita membencinya tapi tidak menyukai perbuatannya. Jangan menghukumnya di depan orang banyak apalagi di depan teman-temannya. Hal tersebut akan menjatuhkan harga dirinya. Toh, kesalahan hal yang manusiawi bukan?! Semua orang pasti pernah mengalaminya. Hanya saja, tidak boleh dilakukan pembiaran. Takutnya menjadi karakter yang negatif.

Syukurnya, rasa sayang anak-anak tidak berubah menjadi benci karena posisiku. Anak-anak akhwat (perempuan) sesekali masih memelukku. Anak-anak ikhwan (laki-laki) masih menyambut kedatanganku. Aku berusaha tidak menjadi eksekutor semata. Aku ingin menjadi guru, ibu, kakak, sekaligus teman. Aku ingin menjadi bagian kecil dari proses-proses pencapaian masa depan mereka. Kelak ketika mereka telah dewasa, mereka akan tetap memanggilku Ibu Guru Isma.

***

Isma kecil bercita-cita menjadi dokter. Saat orang-orang berkata kalau LBBku (latihan baris berbaris) bagus, beralihnya mau menjadi Polwan. Tapi setelah mampu menganalisa dan mulai dewasa, aku mau menjadi ibu rumah tangga dan seorang penulis. Guru tidak termasuk dalam list cita-citaku.
 
Profesi guru terlalu mulia untukku, aku merasanya begitu. Pahlawan tanpa tanda jasa, sementara aku senang dengan imbalan. Mau jasa ataupun yang lainnya. Tulus dan hidup memprihatinkan, sementara sejak kecil aku hidup nyaman jika dibandingkan dengan teman-temanku yang lain. 

Ketika kuliah, aku lulus di Fakultas MIPA UNHAS, Jurusan Biologi. Sains murni. Sama sekali tidak ada mata kuliah kependidikannya. Alumninya kelak akan menjadi peneliti, laboran, dosen. Meski tak sedikit yang menjadi pegawai bank atau profesi lain yang tidak sesuai dengan bidang ilmu. Aku salah seorang alumni yang memilih jalur berbeda.

Gelar sarjana sains tidak diakomodir menjadi guru negeri. Tapi munculnya sekolah-sekolah swasta membuka peluang buatku untuk berkiprah disana meskipun dengan pengetahuan yang minim. Bukan sebagai pelarian sarjana muda yang tak jua dapat kerja. Bukan pula hanya untuk mengisi waktu. Aku menyadari menjadi guru bukan profesi yang sembarangan. Baik buruk seorang anak akan diamanahkan di tanganku.

Awalnya aku ditawari oleh seorang kawan. Saat sekolah kami berkecimpung di organisasi yang sama. Organisasi pelajar tertua di Indonesia. Sejak SMA kelas satu aku memang aktif di organisasi tersebut. Permasalahan serta solusi pendidikan, kepelajaran, keindonesiaan, dan keIslaman kami selami. Tidak terbatas teori tapi juga praktek yang terorganisir. Kami tidak asing di dunia pendidikan. membuat training dan menjadi instruktur. Hanya saja aku belum pernah bersentuhan dengan kurikukum (RPP, silabus, prota, prosem, kkm, dll).

Kompetensi yang harus kusiapkan saat wawancara untuk menjadi tenaga pengajar adalah makalah tentang pendidikan Islam terpadu, kelancaran membaca Al Qur'an, kecintaan pada anak-anak, loyalitas dengan jam kerja yang panjang bahkan lembur tanpa dibayar, kreativitas yang tinggi, dan mau belajar. Aku lulus dan diizinkan magang untuk mempelajari kurikulum, perangkat pembelajaran, dan segala hal yang berhubungan dengan kompetensi keguruan. Asing tapi lumayan mudah dipelajari. Kendala pasti ada. Tapi belajar terus dilakukan hingga akhir hayat, bukan. Aku juga memiliki keinginan kuat untuk belajar formal lagi. Aku merasa banyak ilmu yang harus kujelajahi. Ilmuku terasa amat minim.

Sudah tiga tahun lebih lima bulan kujalani profesi ini. Aku nyaris jatuh cinta tiap hari. Pada anak-anak, pada gedung sekolah, pada program-program sekolah, pada kelas-kelas yang kumasuki, pada kedekatan rekan sejawat, pada sapa ramah pegawai, pada kepercayaan pengurus yayasan, pada kegiatan peningkatan ruhiyah, pada semuanya. Aku yang pembosan ini berhasil dibetahkan. 

***

Deru bentor (becak motor) membawaku meninggalkan gedung hijau tempatku berjuang mencerdaskan anak bangsa tiap hari. Sesampai di sarang (rumah), segera kurebahkan badan di kasur busa yang tak begitu empuk sambil menunggu adzan magrib berkumandang. Aku seorang berijazah non-pendidikan tapi berprofesi sebagai guru. Sebagai proyek akhirat sekaligus sumber penghasilan. Aku guru yang berusaha selalu mencintai anak-anak, lewat penghargaan ataupun hukuman, kedekatan ataupun ketegasan. Semoga...

3 comments:

Mugniar said...

Ooh masya Allah Isma, saya jatuh cinta padamu membaca tulisan ini. Saya suka jatuh cinta sama guru yang betul2 sadar akan profesinya, bukan semata orang yang sedang MENCARI UANG melalui profesinya. Subhanallah.

Tetaplah seperti itu sampai maut menjemputmu ya. Insya Allah hanya Allah yang bisa membalasnya. Salutku, Isma.

Mugniar said...

Ooh masya Allah Isma, saya jatuh cinta padamu membaca tulisan ini. Saya suka jatuh cinta sama guru yang betul2 sadar akan profesinya, bukan semata orang yang sedang MENCARI UANG melalui profesinya. Subhanallah.

Tetaplah seperti itu sampai maut menjemputmu ya. Insya Allah hanya Allah yang bisa membalasnya. Salutku, Isma.

KATALIS HATI said...

Aduh, hati saya bermekaran dijatuh cintai oleh bunda Niar...
Menjadi guru adalah jalan cinta yang dihadiahkan Allah untuk sy bun... Saya disembuhkan dari penyakit sepi, saya punya tempat memulangkan keletihan hidup di wajah polos anak-anak, saya merasa berharga karena disayang mereka, saya dimotivasi untuk selalu lebih baik tiap hari, saya... Ah... Terlalu banyak hal yang mesti saya ungkapkan... Doakan Isma ttp istiqomah bun...