Tuesday 14 May 2013

SKKB

Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu keenam. 
sumber gambar


Menjadi PNS merupakan idaman para calon mertua. Jaminan gaji dan uang pensiunan menjadi iming-iming menggiurkan. Seragam PDH yang menaikkan kasta. Apalagi bagi masyarakat desa. Jabatan PNS memberikan poin penilaian positif berpuluh-puluh kali lipat.

Jika ingin menjadi PNS, ribetnya minta ampun. Ditambah lagi saingan yang tidak sedikit jumlahnya. Urus sana urus sini. Sediakan berkas anu. Lengkapi syarat itu. Salah satunya, SKKB atau SKCK.

SKKB atau Surat Keterangan Kelakuan Baik merupakan legitimasi Kepolisian untuk menilai warga negara Indonesia pernah melakukan kejahatan hukum atau tidak. Saya pikirnya mudah mengurus syarat yang satu ini. Secara, bokap seorang anggota polisi yang memegang jabatan 03 di Polres. Gampanglah. Bisa diatur.

Kenapa saya berfikir tidak elegan dan melanggar prinsip-prinsip harga diri kemanusiawian? Kenapa saya mau melakukan praktek nepotisme yang sering saya cela? Kenapa kok mau-maunya saya memberi harga yang rendah pada diri sendiri?

 Saya melakukan itu karena syarat mendapatkan SKKB di tempat saya harus memperlihatkan telinga saat dipotret. Aturan yang tidak Pancasialis sila pertama ini ternyata masih berlaku. Diskriminasi atas pelaksanaan ibadah warga negara merupakan pelanggaran HAM. Uhhh. Padahal di beberapa kabupaten, aturan itu sudah dikompromikan untuk menghargai kebebasan beragama. Saya tidak mungkin mengabaikan aturan Ilahiyah saya jika dibandingkan dengan prinsip kemanusiawian yang harus taat aturan hukum dunia. Hukum VOC pula. Biar kacau begini, saya sedikit memiliki -isme- tersendiri.Tapi kali ini saya malas mendebat. Saya juga tidak punya bukti tertulis berupa aturan, hukum, SK, kepres, dan sebagainya yang memperbolehkan saya menggunakan foto berjilbab. Saya mendengar jika aturan itu sudah ada tapi saya memiliki keterbatasan mengaksesnya, saya tidak tahu harus mendapatkan dimana.

 Olehnya itu saya berniat menunggangi profesi bokap. Saya berpikir jika gampanglah mengurus SKKB. Toh beliau pejabat. Toh bokap saya yang menginginkan anaknya jadi PNS. Toh saya anak kesayangan. Jadi bisalah saya mendapatkan SKKB tanpa difoto dengan aurat terbuka.

Tapi saya salah. Bokap ternyata produk pegawai negeri yang berhasil dibentuk pemerintah. Beliau aparat teladan. Lebih patuh pada aturan dibanding keinginan anak kesayangan. Lebih memilih taat pemerintah dibanding keinginannya untuk mem-PNS-kan sang anak. Lebih mau menjalankan perintah atasan dibanding menjaga prinsip saya. Kata beliau tegas "Kalau tidak mau ikut aturan ya tidak bisa."

Untuk urusan ini, saya yang merasa gagal menularkan pemahaman. Tapi di sisi lain, saya senang. Senang karena terkendala menjadi PNS. Saya sempat meradang saat salah seorang anggota keluarga menganggap saya bodoh dan mengatai saya sok suci. Tapi inilah saya. Saya merasa tidak cocok dengan profesi mulia itu. Saya terlalu liar untuk menjadi pelayan negara. Biarkan saya menjadi oposisi saja yang mencintai negeri ini dengan cara yang berbeda. Saya mau berbuat banyak hal yang belum tentu orang lain mau melakukannya. Apa itu? Saya juga belum tau. Yang pasti, saya tidak akan pernah membiarkan ibu pertiwi merana sendiri, tanpa harus menjadi PNS.

Saya tahu, banyak orang yang bernasib sama dengan saya. Malah lebih parah. mereka akhirnya melunturkan idealisme demi sebuah cita-cita. Rela melakukan pengkhianatan pada keyakinan, untuk alasan apapun. Bukan berarti saya jago karena berhasil bertahan meski gagal mencapai tujuan. Saya bahkan sering melakukan kebodohan-kebodohan lain yang mungkin lebih parah. Hanya saja, saya merasa ada yang salah di negeri ini. Daun telinga menjadi begitu penting sementara nyawa begitu gampang melayang. Foto berjilbab bukan kejahatan. Kalaupun cacat telinga beresiko bagi profesi PNS, saya bisa diperiksa oleh polisi wanita. Aturan toh buatan manusia. Atasan toh bukan Tuhan.

NB: Postingan ini penuh emosi jiwa. Hehhe. Bete dengan aturan tak manusiawi yang dijunjung tinggi bokap. Sebenarnya di satu sisi sudut hati kagum sama beliau atas dedikasinya pada institusinya. Jangankan penggelembungan rekening, untuk nepotisme sama anak sendiri saja beliau ogah. Hehe.

5 comments:

Unknown said...

saya resign dari PNS ka...udah kayak orang pindah agama...dinyinyirin kayak keripik pedas level 10 -.-

KATALIS HATI said...

Saya mau ngasih jempol level 10 ah... *kereeeeen*

rahmah said...

SEMOGA ini benar-benar bisa menampar Pemerintah dan sekaligus membuka mata orang tua bahwa PNS bukan segala-galanya

Ade Anita said...

Iya bener...di daerah asalku, palembang sana, semua anak2nya tuh dikasi pilihan setelah mereka lulus sma mo daftar ikut sekolah kedinasan (dimana lulusannya kelak bisa jadi PNS) atau harus dapat universitas negeri. Akhirny hampir sebagian besar ikut sekolah kedinasan agar kelak bisa jadi PNS. Itu sebuah pretise tertinggi sepertinya

Unknown said...

salam. org sulawesiki juga ya?
tdnya sy browsing2 krn lg bete sama aturan di kampus yg foto ijazahnya hrs liatin telinga, mana kampusku kampus islam. hhhh
terus nemu blog ini:)

salut bgt.